Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT dari Mahkamah Konstitusi itu membuat terkejut Andrea Hirata. Dikirim pada 10 Februari silam, isi surat tersebut meminta pengarang novel Laskar Pelangi ini bersedia jadi saksi ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Penodaan Agama. Dalam amplop cokelat yang diterimanya, ada pula ringkasan kenapa undang-undang itu diminta diuji.
Tak sekadar lewat surat resmi, Mahkamah bahkan merasa perlu menghubungi Andrea lewat telepon. Sang penelepon, anggota staf Mahkamah Konstitusi, meminta karyawan PT Telkom itu mempelajari permohonan tersebut sebelum memutuskan menerima atawa menolak permintaan Mahkamah.
Kendati mengaku terkejut atas undangan itu, toh Andrea tak berani melayani tantangan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dua pekan lalu, setelah menimbang-nimbang berhari-hari, novelis berambut keriting ini memutuskan menolak permintaan Mahkamah. Penolakan disampaikannya lewat surat. ”Ini topik berat, saya bukan ahlinya,” kata Andrea kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Ide mengundang Andrea datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md. Kepada delapan majelis hakim konstitusi lainnya, Mahfud menyatakan ada baiknya mereka mendengar pendapat Andrea perihal kebebasan beragama. Para hakim setuju. Meski Andrea tak memiliki darah kiai, Mahfud percaya dia dapat menjelaskan kebebasan beragama, seperti yang diceritakannya dalam Laskar Pelangi. Tapi, dengan penolakan Andrea itu, harapan Mahfud mendengar ”suara” Andrea tak tercapai.
Menurut Akil Mochtar, salah satu hakim konstitusi, Mahkamah ingin mendapat gambaran menyeluruh mengenai penodaan agama dari berbagai kalangan. Karena itulah, berbagai tokoh dari berbagai kalangan mereka undang. Ada sekitar 30 ahli yang sudah menyatakan bersedia, termasuk budayawan Emha Ainun Nadjib dan Garin Nugroho.
Mahkamah, ujar Akil, juga meminta para penghayat kepercayaan memberikan pendapat mengenai undang-undang tersebut. ”Ini memang pertama kalinya dalam sejarah penghayat diminta urun rembuk,” kata Sekretaris Jenderal Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, Sudirman.
Permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama—demikian nama undang-undang tersebut—masuk ke Mahkamah pada 28 Oktober tahun lalu. Diajukan sebelas pemohon, mereka antara lain Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipasif untuk Transisi Keadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Adapun pengaju perorangannya antara lain Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, Maman Imanul Haq, dan Abdurrahman Wahid.
Diwakili tak kurang dari 50 pengacara yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama, mereka meminta empat pasal dalam undang-undang itu dihapuskan. Pasal-pasal tersebut dinilai melanggar kebebasan memeluk agama dan keyakinan sebagaimana dijamin konstitusi.
Menurut Uli Parulian Sihombing, salah seorang kuasa hukum pemohon, substansi undang-undang yang disahkan pada zaman Presiden Soekarno itu melarang penafsiran tentang suatu agama dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Atas dasar ini, Presiden, dengan pertimbangan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, dapat melarang dan membubarkan aliran yang dianggap menyimpang tersebut. ”Padahal yang bisa menentukan menyimpang atau tidak itu kalangan internal agama, bukan negara,” kata Uli.
Undang-undang ini juga mengatur ancaman pidana penjara lima tahun bagi penoda agama. Mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto, misalnya, pernah masuk bui lantaran dijerat dengan undang-undang ini. Kesalahan Arswendo, dianggap menghina Nabi Muhammad karena jajak pendapat tabloidnya menempatkan Muhammad pada urutan kesebelas dari sejumlah tokoh yang dikagumi.
Permohonan uji materi ini, ujar Uli Parulian, dipicu insiden di Monumen Nasional pada 1 Juni 2008. Saat itu anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang hendak menggelar pawai diserang sekelompok orang yang sebagian besar berjubah putih. Maman Imanul Haq, salah satu pemohon, menjadi korban penyerangan itu. Adapun Uli menolak jika disebut-sebut kelompok Ahmadiyah ada di balik permohonan pencabutan undang-undang itu. ”Ini tidak ada hubungannya dengan Ahmadiyah.”
SEJAK sidang pertama pada pertengahan November tahun lalu, sudah lebih dari selusin ahli dan saksi hadir memberikan keterangan. Wakil lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, Parisada Hindu Darma Indonesia, selalu hadir di ruang sidang. Sidang ini juga meriah karena kehadiran puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) yang rajin mengambil posisi duduk di balkon. Karena komentar-komentar mereka dinilai kerap mengganggu, dalam beberapa sidang, Uli meminta hakim menegur para anggota FPI.
Pro dan kontra tentang perlunya Undang-Undang Penodaan Agama ini muncul dengan sengit di persidangan. Rohaniwan dan guru besar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Frans Magnis-Suseno, misalnya, menyatakan negara tidak memiliki kompetensi menilai suatu ajaran atau praktek keagamaan menyimpang. ”Istilah menyimpang juga tidak tepat, yang benar berbeda,” kata Frans Magnis. Berbeda keyakinan, ujar Frans Magnis, juga bukan berarti menodai suatu agama.
Adapun Sekretaris Komisi Hubungan Antar-Agama Konferensi Wali Gereja Indonesia Romo Benny Susetyo, menegaskan bahwa undang-undang ini seharusnya dicabut karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Hal yang sama dinyatakan pakar hukum pidana yang juga Ketua Komisi Hukum Nasional, J.E. Sahetapy. ”Undang-undang ini seharusnya masuk keranjang sampah,” katanya.
Rabu pekan lalu, di persidangan, pakar pidana Andi Hamzah menunjuk sanksi dalam undang-undang tersebut terlalu berat. ”Seharusnya maksimal satu tahun penjara,” kata Andi.
Pendapat berbeda muncul dari Ketua Umum Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi. Hasyim memandang Undang-Undang Penodaan Agama ini tetap diperlukan. ”Kalau dicabut malah mengganggu kerukunan umat beragama dan merugikan minoritas,” katanya.
Hasyim lantas menunjuk munculnya gerakan penghujatan agama pada 1965. Saat itu, ujarnya, ada sebuah grup kesenian ludruk yang menampilkan cerita yang menghina agama. ”Lakonnya Gusti Allah mantu. Jadi Tuhan itu mantu, lho kalau begini, siapa besannya?” ujarnya. Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Dakwah Islamiyah juga menolak undang-undang ini dihapus.
Menurut Amin Suma, dekan Fakultas Syariah Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta, Undang-Undang Penodaan Agama sebenarnya sama sekali tidak menghalangi kebebasan beragama. Pasal-pasalnya, ujar Amin, hanya mengatur penyalahgunaan dan penodaan agama. Pakar pidana Indriyanto Seno Adji juga berpendapat delik pidana penodaan agama tetap diperlukan. ”Ini untuk menjaga ketertiban umum,” kata Indrianto.
Sudah berjalan tiga bulan, bisa dibilang persidangan undang-undang ini kini tengah meluncur ke titik akhir. Menurut Akil Mochtar, setelah lima kali sidang pleno lagi, hakim akan memutus perkara ini. Akil mengakui persidangan perkara ini terhitung berat. Sembilan hakim konstitusi, ujarnya, meletakkan kehati-hatian sebagai prioritas utama mereka memutus perkara ini.
Sutarto
Empat Pasal Itu
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang dan/atau Penodaan Agama adalah undang-undang yang ringkas. Isinya hanya empat pasal. Ini beberapa di antaranya.
Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pasal 2
ayat 1 Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
ayat 2 Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan, Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 3
Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi, atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 156-a:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo