Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>KASUS MONITOR</font><br />Ibarat Gigi Goyang

Undang-Undang Penodaan Agama telah memakan sejumlah korban. Inilah di antaranya.

8 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAJAK pendapat itu memang menggelitik banyak orang. Pertanyaannya sederhana: siapa tokoh yang Anda kagumi dan apa alasannya? Arswendo Atmowiloto, yang saat itu memimpin Monitor, sama sekali tak menyangka jajak pendapat yang dimuat di tabloidnya itu bakal mengirim dirinya ke bui.

Saat itu, setelah menyeleksi 33 ribu kartu pos yang masuk, Monitor pun, dalam edisi 15 Oktober 1990, menayangkan hasil jajak pendapat tersebut. Hasilnya ternyata membuat sejumlah kalangan umat Islam marah. Nabi Muhammad SAW berada di urutan sebelas, jauh di bawah Presiden Soeharto dan Soekarno yang berada di urutan pertama dan kedua. Adapun Arswendo sendiri—yang ternyata juga banyak dipilih—menduduki urutan kesepuluh, setingkat di bawah Nabi. ”Karena itu polling, ya jawabannya seenaknya saja,” kata Arswendo, 61 tahun, kepada Tempo dua pekan lalu.

Kendati telah meminta maaf lewat tabloidnya, harian Kompas, hingga TVRI, toh semua itu tak bisa menyelamatkan dirinya. Ia berurusan dengan polisi dengan tuduhan melakukan penodaan agama Islam. Belakangan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum seniman ini lima tahun penjara. Hakim menyatakan ia terbukti melanggar Pasal 156-a Undang-Undang Penodaan Agama, pasal yang memberikan ancaman hukuman setinggi-tingginya lima tahun bagi mereka yang menodai agama di Indonesia.

Jauh sebelumnya, undang-undang ini juga menjerat Hans Bague Jassin. Sastrawan inilah korban pertama dari beleid tersebut. Ketika itu majalah Sastra yang dipimpinnya, dalam edisi 8 Agustus 1968, memuat cerita pendek berjudul ”Langit Makin Mendung”. Penulisnya, demikian tertera di sana: Ki Pandji Kusmin.

”Langit Makin Mendung” menuai kecaman karena dianggap menghina agama Islam. Tak hanya melarang peredaran majalah yang memuat cerpennya, kejaksaan ketika itu menyisir toko buku dan agen yang menjual majalah tersebut. H.B. Jassin, sebagai Pemimpin Redaksi Sastra, divonis hukuman satu tahun penjara. Namun Jassin tetap tak mau mengungkap siapa sebenarnya Ki Pandji Kusmin itu.

Di era reformasi, Undang-Undang Penodaan Agama ini juga sudah dipakai menjerat sejumlah orang. Di antaranya Syamsuriati alias Lia Eden dan pemimpin Al-Qiyadah al-Islamiyah, Ahmad Mosadeq. Lia Eden, pemimpin sekte Komunitas Eden, dua kali dihukum karena dianggap menodai dan mengancam kerukunan umat beragama. Pertama, pada 2006, dia dihukum dua tahun penjara, dan kedua, pada 2009, dikenai dua setengah tahun karena meminta pemerintah menghapus agama. Adapun Ahmad Mosadeq, yang mengaku nabi dengan gelar Al-Masih al-Maw’ud, pada 2008 dihukum empat tahun penjara.

Menurut Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Yoseph Adi Prasetyo, Undang-Undang Penodaan Agama mestinya memang dicabut dan diganti Undang-Undang Kebebasan Beragama. ”Karena negara tidak boleh menghakimi keyakinan,” kata Yoseph.

Menurut Yoseph, jika seseorang menjalankan sesuatu yang diyakininya dan tidak mengganggu masyarakat, dia tidak boleh diganggu. ”Menjalankan ibadah menurut keyakinan merupakan hak asasi yang tidak boleh dikurangi,” katanya. Kecuali, ujarnya, jika ajaran tersebut mengganggu ketertiban umum dan membuat onar.

Di mata Arswendo, definisi penodaan agama itu sendiri tidak jelas. Dia berharap Mahkamah Konstitusi kelak memperjelas yang disebut penodaan agama itu. Wendo—demikian pengarang ini biasa disapa—menganalogikan Pasal 156-a Undang-Undang Penodaan Agama ini seperti gigi yang sudah goyang. ”Bisa dicabut atau juga dirawat tapi dengan penjelasan.”

Rini Kustiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus