Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>PIMPINAN KPK</font><br />Dicabut Tak Langsung Lengser

DPR menolak penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pimpinan KPK menjadi undang-undang. Tidak otomatis melengserkan Tumpak Hatorangan.

8 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada suara protes yang meluncur pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu itu. Hari itu, para wakil rakyat sepakat menolak pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi undang-undang. Sehari sebelumnya, dari hasil voting di tingkat Komisi Hukum, sebagian besar fraksi sudah menyatakan menolak rancangan tersebut. Dari sembilan fraksi, hanya Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang menerima perpu itu.

Fraksi Partai Golkar, misalnya, menyatakan penerbitan perpu itu bertentangan dengan undang-undang. Alasannya, mekanisme pengisian kekosongan di KPK telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yakni presiden mengusulkan nama dan Dewan yang memilih. Adapun Fraksi Partai Hanura menilai perpu tersebut tidak memiliki konteks pijakan konstitusionalnya.

”Sejak aktifnya Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah kembali, secara yuridis dasar pertimbangan pemerintah menetapkan perpu tidak ada lagi,” ujar anggota Fraksi Hanura, Sarifuddin Sudding. Perpu ini memang diterbitkan untuk mengisi tiga kursi pemimpin KPK yang saat itu dinonatifkan karena tersangkut perkara. Antasari menjadi tersangka pembunuhan, sedangkan Bibit dan Chandra menjadi tersangka kasus penyalahgunaan wewenang.

Di mata Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, perpu itu telah memotong kewenangan Dewan memilih calon pemimpin KPK. Adapun Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menilai perpu itu berpotensi menimbulkan penyimpangan karena otoritas lembaga kepresidenan dominan menentukan pelaksana tugas pemimpin KPK.

Partai Demokrat berpendapat lain. Menurut Demokrat, penerbitan perpu itu tak melampaui kewenangan presiden. Perpu tersebut dimaksudkan agar agenda pemberantasan korupsi tetap berjalan. Penerbitan perpu juga bukan berarti presiden mengintervensi kewenangan KPK. Seirama dengan Demokrat, Fraksi PKB menilai penerbitan perpu itu dilakukan karena ada kegentingan yang memaksa terkait dengan kekosongan pemimpin KPK. ”Jika terjadi kekosongan, bisa mengganggu kinerja KPK,” kata anggota Fraksi PKB, Otong Abdurrahman.

Penolakan ini otomatis membuat pemerintah menyiapkan sejumlah langkah. Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, pihaknya akan segera menyiapkan pembentukan panitia seleksi untuk memilih pemimpin KPK. Mempertimbangkan biaya, seleksi akan dilakukan untuk lima pemimpin KPK sekaligus. ”Tapi, yang masuk satu dulu, yang lain menunggu pimpinan KPK selesai masa tugas,” kata Patrialis.

Penolakan perpu ini, di sisi lain, juga memunculkan perdebatan soal posisi Pejabat Sementara Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Anggota Komisi Hukum dari PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan, misalnya, menegaskan, dengan ditolaknya perpu, otomatis harus berhenti dari jabatan sementaranya itu. Menurut dia, begitu Dewan mengirim hasil paripurna yang biasanya dilakukan sehari setelah sidang paripurna, maka Presiden sudah bisa memproses keputusan presiden tentang pemberhentiannya.

Patrialis Akbar tak sependapat dengan Trimedya. Menurut Patrialis, Tumpak masih bisa melaksanakan tugasnya sampai ada pencabutan resmi lewat undang-undang. ”Inilah pendapat pemerintah,” ujarnya. Ketua Komisi Hukum DPR Benny Kabur Harman pun sependapat dengan Patrialis. Menurut dia, dengan tidak diterimanya perpu tersebut, tidak otomatis keputusan yang dulu dibatalkan. Alasan Benny, keputusan itu diambil sebelum perpu ini dibatalkan.

Anggota staf khusus presiden bidang hukum, Denny Indrayana, juga berpendapat Tumpak tidak otomatis berhenti dengan ditolaknya perpu itu. ”Kalau setiap perbuatan hukum dicabut karena perpunya dicabut, ya bahaya.” Apalagi, kata Denny, keputusan presiden perihal pengangkatan Tumpak belum dicabut.

Sama dengan Denny, pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk, menilai Tumpak Hatorangan memang tak serta-merta turun dari posisinya sebagai pelaksana tugas KPK dengan adanya penolakan DPR. ”Baru berhenti setelah ada pengesahan undang-undang pencabutan perpunya.”

Kepada wartawan, Tumpak menyatakan dirinya tak mempersoalkan penolakan DPR itu. Bekas jaksa ini menegaskan dirinya siap mundur kapan pun. Hanya, sesuai dengan aturan, kata dia, harus terlebih dulu terbit undang-undang yang mencabut perpu tersebut. ”Selepas itu baru keputusan presiden tentang pengangkatan pelaksana tugas sementara dicabut,” katanya.

Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus