Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dua yang Belum Tersentuh

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra serta Hartono Tanoesoedibjo, pemilik PT Sarana Rekatama Dinamika, hingga kini masih terbebas dari perkara korupsi komisi akses Sistem Administrasi Badan Hukum. Padahal bukti dokumen menunjukkan keterlibatan dan peran penting mereka.

8 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Zulkarnaen Yunus, 57 tahun, langsung berkerut ketika bekas sekretarisnya, Aan Danu Giartono, memberikan jawaban kepada jaksa penuntut umum Jefri Makapedua, yang berbeda dengan keterangannya di berita acara pemeriksaan.

Menurut Aan kepada jaksa, ”honor” Rp 5 juta per bulan untuk Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah atas perintah Zulkarnaen yang saat itu menjabat direktur jenderal. Padahal, dalam berita acara pemeriksaan, Aan mengatakan, soal honor dan nilainya itu, dia hanya melanjutkan kebijakan Romli Atmasasmita, pendahulu Zulkarnaen.

”Ini mana yang benar? Anda harus konsisten, dong. Anda disumpah, lo,” Zulkarnaen memberondong Aan dengan emosi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Aan pun tergagap. ”Ya, melanjutkan kebijakan Pak Romli,” ucapnya.

Zulkarnaen adalah terdakwa kasus korupsi komisi akses Sistem Administrasi Badan Hukum Departemen Hukum. Dia didakwa bersama-sama dengan Yohanes Waworuntu, bekas Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika; Ali Amran Djanah, bekas Ketua Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Hukum; mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra; dan Sutarmanto, bekas pengurus koperasi.

Kasus ini berawal dari kerja sama Koperasi dengan PT Sarana untuk proyek layanan pendaftaran nama perusahaan, pendirian, dan perubahan badan hukum melalui sistem online. Layanan online yang digagas Romli ini dikenal dengan nama Sistem Administrasi Badan Hukum, yang sering disebut Sisminbakum. PT Sarana adalah penyedia jasa aplikasi sekaligus pengelola online www.sisminbakum.com itu.

Kerja sama Koperasi dan PT Sarana yang diteken 8 November 2000 untuk 10 tahun ini menetapkan pungutan Rp 1,35 juta per pendaftar. Dari uang setoran pendaftaran itu, 90 persen masuk ke PT Sarana. Adapun Koperasi hanya kebagian 10 persen. Tujuh tahun kemudian kejaksaan mencium ada korupsi pada proyek yang diresmikan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri ini.

Menurut kejaksaan, pungutan Rp 1,35 juta itu seharusnya masuk ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak. Tapi, yang terjadi, pungutan itu justru masuk kantong perusahaan dan sejumlah pejabat direktorat. Kejaksaan menaksir kerugian negara mencapai Rp 400 miliar dari proyek ini.

Yohanes telah divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia juga dikenai denda Rp 200 juta dan harus mengganti kerugian korupsi Rp 3 miliar. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman itu menjadi dua tahun tanpa denda dan keharusan mengganti kerugian korupsi.

Ali Amran, meski ditetapkan sebagai tersangka, hingga kini belum masuk pengadilan karena sakit permanen. Adapun Yusril dan Sutarmanto tidak berubah statusnya dan tetap sebagai saksi. Kasus korupsi Sisminbakum juga membawa Romli dan Syamsuddin Manan Sinaga, bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, sebagai terpidana. Pengadilan telah menghukum Romli dua tahun penjara dan Syamsuddin satu setengah tahun penjara. Di tingkat banding, hukuman Romli berkurang menjadi satu tahun.

Koperasi yang hanya menerima 10 persen dari pungutan pendaftar Sisminbakum masih harus membaginya dengan Direktorat Jenderal. Koperasi mendapat bagian 40 persen untuk kesejahteraan anggotanya, yang 60 persen untuk Direktorat. Bagian Direktorat itu, menurut Aan, diterima dalam bentuk tunai dan langsung masuk brankas yang kunci dan pengelolaannya di tangan sekretaris direktur jenderal.

Kepada majelis hakim yang diketuai Tahsin, Aan menuturkan, sekretaris bertugas membagi uang itu untuk staf hingga direktur jenderal. Pengeluaran uang itu, menurut dia, tanpa perlu perintah direktur jenderal lagi. Dia pun tidak harus membuat laporan keuangan untuk bosnya. ”Otomatis saja dikeluarkan, seperti sebelum-sebelumnya,” kata Aan.

Dalam persidangan Rabu, 24 Februari lalu, saksi Hormat Tjapah, sekretaris direktorat sesudah Aan, juga memberikan kesaksian serupa. Sebagai sekretaris, Hormat mengaku yang memegang kunci brankas, menerima dan mengeluarkan uang tanpa harus izin dulu ke pemimpinnya. ”Saya tidak membuat laporannya,” tuturnya. Setoran koperasi itu umumnya dipakai untuk biaya operasional direktorat, termasuk honor, keperluan peralatan kantor, atau bekal perjalanan dinas.

Nah, kesalahan Zulkarnaen, menurut jaksa Jefri, tidak melakukan evaluasi, tapi justru melanjutkan. Dia juga ikut menikmati komisi akses Sisminbakum setiap bulan. ”Pembagian uang itu di bawah kendali dia,” katanya. Selain terjerat kasus Sisminbakum, Zulkarnaen adalah terpidana empat tahun penjara kasus korupsi proyek pengadaan alat sidik jari otomatis atau automatic fingerprint identification system.

Menyimak keterangan Aan dan Hormat, pengacara Zulkarnaen, Sulistyowati, mengatakan keduanya paling bertanggung jawab atas pemakaian setoran Koperasi yang dinilai jaksa sebagai korupsi. ”Agak aneh kenapa mereka cuma dijadikan saksi,” ujarnya.

Doni Antares, pengacara Zulkarnaen yang lain, juga mempertanyakan kejaksaan yang tidak menetapkan Yusril sebagai tersangka. Padahal, kata dia, nama Yusril tertulis dalam dakwaan Zulkarnaen sebagai pihak yang bersama-sama melakukan tindak pidana. ”Proyek ini jalan dengan surat keputusan menteri. Kan itu keputusan dia,” katanya. Ditambah lagi, Yusril sebagai Pembina Koperasi, ikut meneken kerja sama dengan PT Sarana.

Pertanyaan serupa dilontarkan Yohanes. Kepada Tempo, bapak tiga putri ini menegaskan bahwa yang paling bertanggung jawab dalam kasus Sisminbakum adalah Yusril, Hartono Tanoesoedibjo sebagai pemilik, dan Gerard Yakobus, Komisaris Utama PT Sarana. ”Merekalah yang merancang proyek Sisminbakum ini,” ujarnya, Kamis pekan lalu.

Menurut Yohanes, dalam dakwaan terhadap dirinya, Romli, dan Syamsuddin, nama Hartono dan Yusril disebut sebagai saksi yang turut serta bersama-sama melakukan tindak pidana. ”Tapi nama Hartono hilang dalam dakwaan Zulkarnaen. Ini ada apa?” ucapnya ketika bersaksi di persidangan Zulkarnaen, Rabu, 17 Februari.

Yohanes yang kini menjalani tahanan kota menuturkan bagaimana Hartono telah menipu dan mengorbankan dirinya dalam perkara ini. Dalam akta pendirian PT Sarana Nomor 339 tanggal 30 Juni 2000, misalnya, disebutkan Yohanes sebagai direktur utama. Padahal, kata Yohanes, dirinya meneken persetujuan bekerja di PT Bhakti Investama Tbk. sebagai manajer umum, pada 25 Juli 2000. ”Persetujuan kerja ini diteken oleh saya dan Hartono,” tuturnya.

Selanjutnya, Yohanes baru ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Sarana pada 2 September 2000. ”Jadi bagaimana mungkin saya jadi direktur utama sejak 30 Juni?” katanya sembari memperlihatkan kopi surat pengangkatan dirinya sebagai Direktur Utama PT Sarana. ”Saya baru tahu ada manipulasi tanggal itu waktu diperiksa kejaksaan,” katanya.

PT Sarana, menurut Yohanes, sudah beroperasi jauh sebelum dia bergabung. Buktinya, kata dia, pada 18 Juli 2000 ada pembayaran PT Sarana untuk PT Visual Teknindo Utama senilai Rp 128 juta. Perusahaan yang dijalankan John Sarodja Saleh inilah yang mendesain pendaftaran perusahaan secara online. Pengeluaran untuk PT Visual itu dengan persetujuan Hartono.

Meski jabatannya direktur utama, Yohanes menyebut dirinya hanya boneka. Sebab, yang berkuasa dan sepenuhnya menjalankan PT Sarana adalah Hartono, termasuk pengeluaran uang, ”Sepeser pun harus dengan persetujuan dia,” kata Yohanes seraya menunjukkan kopi dokumen pengeluaran uang PT Sarana. Yohanes mempertanyakan kenapa jaksa mengabaikan bukti-bukti dokumen yang menunjukkan peran penting Hartono.

Hartono tidak bisa dimintai keterangan terkait dengan tuduhan Yohanes ini. Ketika Tempo mendatangi kantornya di lantai 5 Menara Kebon Sirih, menurut Nancy, anggota staf di PT Bhakti Investama, sang bos tidak datang. Pengacara Hartono, Marthen Pongrekun, mengatakan tak bisa memberikan keterangan. ”Saya tidak menangani dia lagi,” jawabnya. Begitu pula pengacara Hartono lainnya, Hotma Sitompul, ”Tim kami mendampingi hanya waktu penyidikan,” ucapnya.

Adapun Yusril telah berkali-kali membantah ada korupsi dalam proyek Sisminbakum. ”Silakan buktikan saja,” ujarnya (Tempo, 23 November 2008).

Menurut sumber di kejaksaan, kasus ini tidak akan sampai menjerat Yusril ataupun Hartono sekalipun bertentangan dengan hasil penyidikan. Dia menduga ini lantaran ada kedekatan keduanya dengan penguasa. Tapi Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, membantah isu itu. Kasus Sisminbakum, menurut dia, belum akan berhenti. Kejaksaan masih terus mengkaji perkembangan dan fakta baru dari pengadilan. ”Saya memang tidak bisa memastikan, tapi kasus ini terus dilanjutkan,” ujarnya kepada Erwin Daryanto dari Tempo.

Anne L. Handayani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus