Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum
Malpraktek

Berita Tempo Plus

Bercak Merah Pembawa Maut

Rumah Sakit Santo Carolus, Jakarta, dilaporkan telah melakukan tindak malpraktek. Dokter rumah sakit tersebut dituduh bertindak tak sopan dan serampangan memeriksa pasien.

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

Bercak Merah Pembawa Maut
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUH Marta Manulang terbujur kaku. Seuntai kalung salib melingkar di tangannya yang terlipat didada. Riasan wajah gadis cantik berumur 25 tahun itu tak juga bisa menutupi bengkak di seputar matanya. Itulah hari terakhir dara tersebut berada di tengah keluarga dan sahabatnya.

Marta meninggal setelah sebelumnya diopname di Rumah Sakit Santo Carolus karena radang tenggorokan. Keluarganya beranggapan kematian Marta pada 25 Februari itu tak wajar. Menurut Nurlela Tambunan, sang ibu, di akhir hayat anak bungsunya itu tak lagi mengeluh soal radang tenggorokan yang diderita. "Sekujur tubuhnya penuh bercak merah, bahkan dia sampai mengalami kelumpuhan," katanya.

Nurlela menuding dokter di rumah sakit itu telah salah merawat putrinya. Menurut sang ibu, awalnya anak bungsunya itu pergi ke rumah sakit pada 28 Desember 2004 untuk berobat radang tenggorokan. Namun, setelah beberapa hari, penyakit tersebut kambuh lagi. Maka, sejak 10 Januari silam ia menjalani perawatan di Rumah Sakit Carolus selama dua pekan. Tapi, baru tiga hari di rumah, Marta kembali masuk rumah sakit karena dirasa penyakitnya belum tuntas benar. Kali ini ia dirawat selama enam hari.

Selama di rumah sakit itu, menurut Nurlela, Marta ditangani Dokter Haris Akman. Namun, tiga hari sebelum pulang, putrinya juga ditangani Dokter Indro Sutirto, ahli penyakit tenggorokan, hidung, dan telinga (THT). Perlakuan Dokter Indro terhadap putrinya dinilai Nurlela sangat tak sopan. Indro, misalnya, pernah suatu ketika memeriksa putrinya di depan pintu kamar mandi. "Padahal Marta belum selesai mandi, sehingga ia hanya menutupi tubuhnya dengan handuk," ujar Nurlela.

Nurlela juga menyaksikan seorang perawat menyuntik lengan putrinya dengan kasar. "Dia berteriak kesakitan, tapi tak dihiraukan," katanya. Saat terakhir kali disuntik, Nurlela melihat di sekitar lengan Marta muncul bercak merah. "Menurut perawat, bercak itu tak masalah dan akan hilang sendiri," katanya. Ketika meninggalkan rumah sakit, tubuh Marta masih diwarnai bercak-bercak merah.

Empat hari berada di rumah, kondisi Marta tak kunjung membaik, bahkan kian buruk. Bercak merah makin banyak dan tubuhnya panas. Maka, pada 5 Februari, Marta diangkut lagi ke Carolus. Hari itu juga ia masuk unit gawat darurat (UGD).

Tiga hari kemudian bercak merah di tubuh Marta mulai berair. Kelopak matanya membengkak. "Dokter bilang dia bisa mengalami kebutaan," kata Tangkas, kakak Marta. Kondisi kesehatan Marta kian buruk hingga beberapa hari kemudian Marta mengalami koma, sebelum nyawanya tak tertolong lagi. Menurut Tangkas, dokter menyebut-nyebut suspected Steven-Johnson syndrome, penyakit yang muncul karena reaksi kulit terhadap obat, sebagai penyebab kematian Marta.

Kematian Marta dinilai janggal oleh Nurlela. Ia beranggapan telah terjadi malpraktek dalam proses perawatan anaknya. Karena itu, pada 25 Februari ia mengadukan Rumah Sakit Carolus ke Polda Metro Jaya. Wanita itu juga mengadukan Dokter Indro, yang dinilainya bertindak tak sopan saat memeriksa anaknya. Kamis pekan lalu polisi mulai memeriksa kasus ini. "Kami sudah menjelaskan semuanya. Semoga proses hukum akan berjalan di sini," kata Tangkas.

Pihak Rumah Sakit Carolus menolak tuduhan itu. "Kami sudah mempersiapkan hasil rekam medis dan riwayat penyakit Marta Manulang," kata kuasa hukum rumah sakit tersebut, Suhardi Somomoeljono. Direktur Medis Carolus, Bamby Sutrisno, bahkan menyatakan pihaknya akan melakukan gugatan balik. "Setelah data-data kami kumpulkan," katanya kepada Asep Yogi Junaedi dari Tempo.

Menurut Bamby, saat masuk ke Carolus, kondisi Marta sudah cukup parah. Marta, masih menurut Bamby, sebelumnya telah menderita sejumlah penyakit seperti infeksi tenggorokan, kelainan kulit, panas, dan demam tinggi yang berulang-ulang. "Jadi, kami tidak menjanjikan kesembuhan karena komplikasi makin banyak," katanya. Bamby juga menampik jika dikatakan ada dokter di Carolus yang bertindak tak sopan saat memeriksa Marta.

Bamby menyebutkan, Marta juga menderita suatu penyakit yang tak mungkin diumumkan begitu saja ke publik. "Kami wajib menjaga rahasia penyakit pasien," katanya. Soal disebut-sebutnya Marta menderita sindrom Steven Johnson juga ditangkisnya. "Itu pernyataan petugas UGD yang sifatnya masih dugaan. Keterangan awal ini bisa dicabut jika tidak benar nantinya. Ini dibenarkan dalam penanganan medis," ujarnya.

Kendati sudah ditangani polisi, tampaknya tetap tak mudah membawa kasus ini hingga ke ruang pengadilan. Menurut seorang polisi, hambatan terbesar adalah sampai saat ini di Polda Metro belum ada perangkat hukum yang bisa mendefinisikan malpraktek.

Karena itu, polisi membutuhkan bantuan saksi dari medis, seperti dokter ahli, untuk menentukan apakah kasus tersebut tergolong malpraktek atau bukan. "Masalahnya, jarang sekali dokter ahli yang mau dimintai keterangannya," ujar polisi itu. Karena ini pula, kata sumber itu, dari 22 pengaduan malpraktek yang masuk Polda Metro Jaya, hingga kini belum ada yang masuk pengadilan.

Bekas Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Kartono Muhammad, menganggap wajar jika ada pasien yang dirugikan rumah sakit dan kemudian melakukan pengaduan ke polisi. "Kasus malpraktek bisa diproses dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ini semua bergantung pada kemauan polisi, jaksa, dan hakim," tuturnya. Hanya, masalahnya, menurut dia masyarakat sudah pesimistis lantaran merasa vonis hakim akan kurang berpihak pada mereka. "Jika polisi, jaksa, dan hakim bertindak benar, mestinya mereka tak perlu takut," ujar Kartono.

Nurlis E. Meuko, Agriceli, dan Yuswardi A. Suud


Alergi yang Tak Bisa Diprediksi

SINDROM Steven-Johnson adalah penyakit yang ditemukan dua dokter anak Amerika, A.M. Steven dan S.C. Johnson, pada 1922. Penyakit ini merupakan penyakit alergi yang tak bisa diprediksi. Ciri khas mereka yang dijangkiti penyakit ini, tubuh bengkak-bengkak dan muncul banyak gelembung kecil di seluruh tubuh. Tanda-tanda ini menyebar hingga daerah anus. Ciri-ciri ini pula yang terlihat di tubuh Marta Manulang.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Alergi dan Imunologi Indonesia (Peralumni), Dokter Heru Sundaru, reaksi suntikan yang diberikan kepada pengidap penyakit ini cukup lama. "Paling cepat 30 menit," katanya. Karena itu, untuk menangani pasien sindrom Steven-Johnson, Heru meminta dokter melihat indikasi obat terhadap reaksi di tubuh pasien. "Selain itu, riwayat alergi pasien juga harus dideteksi dan sebaiknya ada tes alergi," katanya.

Menurut Dokter Nanang Sukmana, Sekretaris Umum Peralumni, penyebab terbesar alergi adalah obat-obatan, makanan, dan udara. Di Amerika, ujarnya, setiap tahun ada 1.500 orang meninggal karena alergi obat. Yang jelas, hingga sekarang kalangan kedokteran belum menemukan keterkaitan antara gen tertentu di dalam tubuh dan si Steven-Johnson syndrome ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus