Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah sepekan lebih ketegangan meruap di Pangkalan Angkatan Laut Tarakan, Kalimantan Timur. Pelabuhan kecil itu kini menjadi pos terdepan operasi pengamanan dari KRI Rencong, KRI Wiratno, dan KRI Nuku, bermuatan pasukan dan senjata lengkap, yang berjaga-jaga mengamankan dua titik penting di perairan Pulau Karang Unarang di Laut Sulawesi. Satu kapal lagi, KRI Karel Sasuit Tubun, kini dalam perjalanan menyusul. "Kita memang melakukan gelaran pasukan sebagai naval diplomacy," kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono di depan Komisi Bidang Politik dan Pertahanan DPR, pekan lalu.
Bagi Indonesia, inilah "batas kesabaran" dalam masalah perbatasan di Karang Unarang, yang disebut juga sebagai Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Laut yang diyakini?menurut hukum Indonesia?masih wilayah Indonesia itu ternyata konsesi dasar lautnya sudah dilego oleh perusahaan minyak Malaysia, Petronas, kepada Shell, raksasa minyak Belanda dan Inggris, 16 Februari silam.
Sebulan sebelumnya, kapal "marin laut" (sebutan untuk kapal Angkatan Laut Malaysia) diketahui melakukan pengejaran dan penembakan terhadap kapal nelayan Indonesia. Prajurit marin juga menangkap serta menyiksa karyawan PT Asiha Samudra yang memperbaiki suar di Karang Unarang atas permintaan Departemen Perhubungan.
Sejak tahun 1980, Indonesia sudah tegas menyatakan wilayah Ambalat, berdasarkan Deklarasi Djuanda tahun 1957, sebagai milik Indonesia. Dua tahun kemudian PBB melahirkan Konvensi Hukum Laut, yang mengadopsi Deklarasi Djuanda. Pada 1999, kontrak Blok Ambalat sudah diberikan Pertamina kepada ENI (Italia). Sedangkan konsesi Ambalat Timur diberikan ke UNOCAL Amerika. Tak ada protes dari Malaysia.
Belakangan, Malaysia menyebut kedua blok tersebut sebagai Blok ND6 dan ND7, sebagai wilayah lautnya yang baru. Dasarnya adalah putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ) yang memetakan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia pada tahun 2002. Kedua pulau tersebut memang ketika itu dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia.
Dari kedua pulau inilah, dan juga Peta Malaysia tahun 1979, Malaysia dirasa mereka-reka batas wilayah lautnya. Padahal Peta 1979 banyak diprotes sesama negara ASEAN, seperti Filipina, Singapura, dan Brunei, karena mencaplok wilayah negara lain. Bahkan termasuk Cina. Malaysia menggunakan basis landas kontinen hingga mencakup juga Pulau Karang Unarang. "Itu klaim unilateral Malaysia. Padahal mereka bukan negara kepulauan," kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Marty M. Natalegawa.
Berbeda dengan Malaysia, Indonesia sudah mendasarkan batas wilayahnya dengan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state). Berdasarkan konsepsi ini, yang tertuang dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS), laut adalah wilayah penghubung teritorial daratan yang berupa pulau-pulau. Batas wilayah terluar untuk negara kepulauan adalah 12 mil laut atau 22,2 km (1 mil laut = 1.852 meter) dihitung dari garis pantai pulau-pulau terluar saat air surut terendah. Batas ini kemudian saling dihubungkan dan menjadi wilayah sebuah negara kepulauan.
Menurut UNCLOS, wilayah perairan dalam batas tersebut sepenuhnya hak negara pantai. Hak tersebut meliputi kewenangan atas wilayah udara di atasnya, dasar laut (sea bed), tanah di bawah dasar laut (sub-soil), dan semua sumber daya maritim di bawahnya baik yang hidup, misalnya ikan, maupun tidak, umpamanya muatan kapal tenggelam. Yang terang, batas laut Malaysia yang mereka klaim ternyata mencapai 70 mil laut alias 129,6 km dari titik terendah Pulau Sipadan dan Ligitan. Ini artinya sudah terlalu jauh masuk ke wilayah Indonesia.
Menurut Direktur Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, mengacu pada keputusan ICJ dalam kasus Sipadan dan Ligitan di halaman 69, delimitasi batas landas kontinen tidak termasuk dalam keputusan yang memenangkan Malaysia atas klaim Pulau Sipadan dan Ligitan. "Pengakuan atas Sipadan dan Ligitan berbeda dengan pengakuan batas kontinen yang berbasis hukum laut," katanya. Malaysia dimenangkan oleh majelis ICJ berkat dalil penguasaan efektif British North Borneo atas kedua pulau tersebut.
"Tidak perlu membawa masalah ini ke situasi yang menegangkan. Malaysia dan Indonesia memiliki hubungan yang sangat akrab," kata Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar, seperti dikutip AFP pekan lalu. Menurut Albar, jalur diplomatik adalah jalan terbaik. "Tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan dengan duduk bersama menyelesaikan persoalan," ia melanjutkan. Sementara itu, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato Aminudin Ali, menolak berkomentar. "Tak ada wawancara," katanya kepada Tempo.
Jalur diplomatik sebenarnya ajakan Indonesia sejak dulu. "Kami jauh hari sudah meminta jalur penyelesaian masalah secara diplomatik," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri, Marty M. Natalegawa. Seperti yang terjadi pada September 2003, ketika Malaysia diketahui masuk dan melakukan survei di Blok ND6 dan ND7. Tapi nota keberatan diplomatik itu tak jua berjawab dari Kuala Lumpur.
Kini jawaban itu baru muncul. Agaknya Indonesia merasa memang perlu ada kapal perang bergerak.
Arif A. Kuswardono, Yophiandi, Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo