Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bila Massa Dicekam Teror

Teror yang tak dapat diatasi membangkitkan paranoia massa. Kalau kondisi kecurigaan ini dibiarkan terakumulasi, sangat sukar diobati.

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG bagaimana membuktikan Zainal Arifin anggota "ninja" atau bukan? Warga Malang itu telah tewas, dengan cara yang mengenaskan. Pertengahan Oktober lalu, Zainal ditebas kepalanya oleh warga Desa Wonokerto, Malang, tanpa ampun. Ia diyakini warga sebagai anggota "ninja" yang membunuh para "dukun santet". Penggalan kepala Zainal, dengan darah yang bercucuran, diacung-acungkan, diarak, dan dibawa dengan konvoi sepeda motor oleh massa berkeliling kota kecamatan.

Zainal diperlakukan seperti itu karena ia sudah dicap sebagai "ninja". Kata "ninja" kini menjadi senjata ampuh yang mematikan. Korbannya bisa siapa saja, tak terkecuali aparat keamanan. Di Bangkalan, Madura, misalnya, tiga polisi Surabaya tewas dikeroyok massa hanya gara-gara diteriaki "ninja". Ketika itu, dua pekan lalu, para polisi ini sedang mengawal hasil buruannya, seorang tersangka pencuri sepeda motor. Tak kurang akal untuk lolos, si tersangka berteriak, "Ada ninja!" Kontan warga berdatangan dan mengepung tim reserse itu. Kartu pengenal dan surat tugas yang disodorkan polisi tak digubris. Tembakan peringatan ke atas dari polisi itu malah membuat warga makin kalap.

Mengapa orang jadi begitu beringas? Menurut Kepala Dinas Psikologi Angkatan Darat, Brigadir Jenderal (TNI) Sjahlan Idris, masyarakat kini tengah terjangkit paranoia massa. Kasus "dukun santet" dan "ninja" memang tak luput dari perhatiannya sebagai psikolog. Bahkan Dinas Psikologi Angkatan Darat pun, kata Sjahlan, dari jauh juga ikut mengamati perkembangan peristiwa ini.

Sjahlan melihat "penyakit" paranoia massa atau sikap curiga berlebihan itu berbeda-beda bobotnya di tiap daerah. Ada yang baru sampai taraf pseudoparanoia, yang artinya sikap curiga masyarakat terhadap sekelompok orang atau peristiwa yang masih pada taraf wajar. Pada tingkat yang lebih parah, paranoia illumination, penyakit masih bisa disembuhkan. "Kalau keamanan di wilayahnya terjamin, tak akan timbul kasus pembantaian," ujar psikolog lulusan Universitas Padjadjaran ini. Tapi, kalau kondisi kecurigaan itu terus terakumulasi, bisa meningkat sampai ke tingkatan paling serius dan sukar diobati, paranoia suspiciousness. "Pada kondisi ini, masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan orang lain meskipun sumber penyebabnya sudah jelas-jelas ditemukan," ujarnya.

Penyakit kecurigaan berlebihan ini, kata Sjahlan, gampang mewabah di daerah yang latar belakang status sosial ekonomi dan kondisi emosi masyarakatnya belum matang. Jika rasa aman--salah satu kebutuhan dasar manusia--terancam, dengan gampang masyarakat tergiring melakukan tindakan brutal, bahkan sadis.

Dalam ilmu sosial, gejala penyakit seperti ini bisa disebut sebagai anomie alias ketiadaan norma. "Orang tak bisa mempercayai dan tidak ada lagi yang bisa dipercaya," kata guru besar sosiologi dari Universitas Indonesia, Sardjono Jatiman. Anomie, menurut Sardjono, bisa muncul pada masyarakat mana saja.

Ketika kemudian terjadi teror yang benar-benar mencekam, yang muncul adalah mekanisme pertahanan diri kolektif. Bentuk pertahanan diri ini tidak saja semata untuk bertahan, tapi juga menyerang. "Masyarakat akhirnya dengan mudah menghakimi siapa yang dianggap salah," kata kriminolog Mulyana W. Kusumah.

Parahnya lagi, aparat keamanan seakan lemes tak berdaya. Menurut Mulyana, aparat tak mampu memetakan masalah dan membuat perkiraan awal dari pelaku yang tertangkap. Padahal paranoia massa, jika dibiarkan terus, akan membuat masyarakat menyerap komunikasi kekerasan secara intens. Dan akhirnya muncul pembenaran bahwa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan pula.

Lalu bagaimana mencegah agar paranoia massa tak makin parah? Sardjono punya resep kunci: harus ada informasi yang jelas siapa pelakunya. Masalahnya, justru itu yang belum diterima masyarakat hingga kini. Apakah ini berarti korban akan dibiarkan terus berjatuhan?

Hendriko L. Wiremmer (Jakarta), Upik Supriyatun (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus