Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artinya, mereka tidak perlu dilibatkan dalam proses rekonsiliasi nasional, sebuah upaya "rujuk nasional" yang sampai saat ini masih diusahakan. Sikap yang sama ditujukan kepada para mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sementara itu, kelompok separatis seperti Aceh Merdeka dan Tim-Tim, kelompok Islam "ekstrem", Partai Rakyat Demokratik, dan ABRI mendapat porsi maaf yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang pertama.
Memaafkan memang bukan kata kunci untuk mengukur apakah guyub politik ini perlu atau bisa diwujudkan. Namun, ia bisa memperjelas, "siap-siapa" saja yang masih bisa "ditolerir" perbuatan masa lalunya dan siapa yang tidak. Sebab sebagian besar responden menganggap rekonsiliasi nasional diperlukan agar pembangunan bisa diteruskan.
Tapi ada responden yang menganggap rekonsiliasi tidak perlu. Bagi kelompok ini, harus ada pemisahan yang tegas antara orang yang "bersih" dan yang "tidak bersih". Karena negara harus dikelola oleh si "bersih", kosekuensinya jangan terkontaminasi oleh si "tidak bersih". Ada pula alasan lain: rekonsiliasi hanya akan membuat si "jahat" terbebas dari jerat hukum, hanya karena semua pihak perlu bergandeng tangan.
Sebaliknya, mereka yang sepakat rekonsiliasi tampaknya membaca realitas politik pascareformasi ini dengan sikap yang kekinian. Menurut kelompok ini, rekonsiliasi mendesak dilakukan agar krisis ekonomi segera bisa ditangani. Dengan terjadinya perdamaian, semua pihak diharap bisa berkonsentrasi mengatasi kemelut krisis moneter yang belum pulih ini.
Lalu, dapatkah momen sidang umum atau sidang istimewa dipakai sebagai "tumpangan" terwujudnya rekonsiliasi? Mayoritas responden tidak memilih kedua event itu untuk mewujudkan rekonsiliasi.
Sebab, menurut responden, hajat tersebut harus sudah dilakukan sebelum sidang istimewa. Logikanya, rekonsiliasi yang berarti merapatnya barisan antaranggota masyarakat bisa memuluskan terlaksananya sidang istimewa, sidang umum, serta pemilihan umum. Jika tiang-tiang rekonsiliasi telah terpancang, tentu tidak sulit membangun "rumah" Indonesia yang lebih kukuh. Untuk mengurusi silaturahmi nasional itu, responden cenderung memilih badan independen sebagai pelaksana.
Tapi sinyal ke arah kerukunan bersama itu sekarang ini masih jauh panggang dari api. Baru bau asapnya yang terasa.
Arif Zulkifli
INFO GRAFIS Apakah rekonsiliasi merupakan syarat mutlak pembangunan? Ya | : | 81% | Tidak | : | 13% | Ragu-ragu | : | 6%
| Alasan rekonsiliasi penting*
Negara perlu ketenangan untuk menyelesaikan masalah ekonomi | : | 93% |
Perbedaan politik adalah hal wajar sehingga kita harus saling memaafkan | : | 31% |
Sebagai bangsa, kita harus bisa melupakan masa lalu | : | 22%
| Alasan rekonsiliasi tidak penting*
Negara harus dikelola oleh orang-orang yang bersih | : | 82% |
Kesalahan politik harus diusut sampai kapan pun | : | 64% |
"Penjahat" politik harus dihukum sehingga rekonsiliasi | : | 36%
| Pelaksana rekonsiliasi nasional*
Tokoh masyarakat | : | 63% |
Mahasiswa | : | 56% |
Pemerintah | : | 54% |
Partai politik | : | 54% |
LSM | : | 30% |
ABRI | : | 26%
| Demi rekonsiliasi, apakah kelompok-kelompok ini harus dimaafkan? | Ya | Tidak | Ragu-ragu |
PKI | 2% | 90% | 8% |
Konglomerat kroni Soeharto | 10% | 73% | 17% |
Pejabat Orde Baru yang menyalahgunakan kekuasaannya | 13% | 73% | 14% |
Soeharto dan keluarga | 16% | 58% | 26% |
Kelompok separatis | 22% | 48% | 30% |
Kelompok Islam "ekstrem" | 26% | 43% | 32% |
Partai Rakyat Demokratik | 40% | 30% | 30%
| |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo