Mengubah mentalitas bangsa, yang telah puluhan tahun terbiasa dengan keseragaman, tidaklah mudah. Itu seperti melatih kembali otot-otot yang telah lama lumpuh, harus bermula dari awal lagi. Tapi tidak ada istilah terlambat untuk memulai sesuatu, juga tidak ada kata terlambat untuk menata kembali mentalitas bangsa yang telah lumpuh ini. Yang paling mendasar dan paling sederhana adalah usaha penataan yang lebih moralis ketimbang politis, karena moral adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang, seorang koruptor sekalipun. Masalahnya adalah sinkronitas antara tuntutan moral dengan sikap yang sering bertolak belakang, entah dengan alasan khilaf, takut, kepepet, atau bahkan hobi.
Tindakan moralis yang terefleksi dalam sikap lebih nyata dan sangat berpengaruh, baik pada pelakunya maupun pada masyarakat banyak. Sekilas, kita ingat kembali pada mantan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad yang menghimbau para anggota kabinet untuk berubah pose dalam foto resmi kenegaraan, dari tangan tertelungkup di depan dan tersenyum ceria menjadi tegak lurus dengan atau tanpa senyum, karena toh sama sopannya. Selintas, himbauan tersebut terdengar sangat sederhana, what’s the difference does it make? Akan tetapi pengaruhnya akan sangat terasa pada perkembangan kehidupan demokrasi bangsa ini. Secara tidak langsung, masyarakat akan dapat melihat iktikad untuk berubah menjadi lebih baik pada wakil mereka tersebut.
Keseragaman yang telah bertahun-tahun kita lihat dan kita rasakan seolah sudah meresap ke dalam darah kita, sehingga kita takut untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Mumpung angin reformasi masih bertiup, mulailah kita menata diri dan mental kita, salah satunya adalah dengan menerima kenyataan bahwa sesuatu yang berbeda itu tidaklah buruk sehingga harus dihabisi.
Masih segar dalam ingatan saya, bagaimana mencekamnya atmosfer sosial politik negeri ini dalam pemilu yang sudah-sudah, begitu terkotak-kotaknya kehidupan bangsa kita akibat tiga warna tersebut. Diakui atau tidak, ada sedikit atau banyak rasa gentar ketika sekelompok "hijau" berpapasan dengan kelompok "kuning" yang kebetulan waktu kampanyenya bersamaan. Juga, bagaimana pegawai negeri melepas seragamnya sepulang kantor karena daerah rumahnya adalah daerah "merah". Yang lebih menyakitkan lagi adalah seorang "hijau" yang tidak bisa membuat kartu kuning untuk melamar pekerjaan hanya karena tidak mendapat surat pengantar dari ketua RT-nya yang kebetulan "kuning".
Saya sangat berharap banyak, semoga gelombang reformasi menyentuh hal-hal kecil seperti itu sehingga dalam pemilu mendatang tidak ada lagi yang takut, yang melepas baju, dan yang terhambat karena warna. Sekali lagi, bangsa kita harus mulai menerima bahwa berbeda bukan hal yang salah. Salah satu hal yang paling mendasar untuk menerimanya, saya pikir, adalah dengan menghapuskan warna dalam politik praktis bangsa ini sehingga yang kuning, hijau, atau merah dapat mulai berjalan bergandengan menuju tempat kampanye yang sama, tanpa mempunyai perasaan dia bukan kuning sehingga dia musuh kita, atau sebaliknya.
JOS SUNARJA
Jalan Sitimunigar 24, Gang Adikacih
Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini