Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bila petugas main tembak

Mahdi, warga cipamokolan, bandung, tewas tertembak oknum polisi jayadi. berawal dari penjualan tanah antara kakak dedi dan paman mahdi. penembakan tsb menyulut kemarahan warga. rumah dedi hancur.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang oknum polisi menembak seorang warga. Akibatnya, massa mengamuk dengan merusak rumah orang dan membakar motor polisi. TAK ada perang, tapi "jam malam" berlaku di Parakan Saat, Kelurahan Cipamokolan, Kodya Bandung. Sejak Rabu dua pekan lalu, dari pukul 21.00 hingga pagi, semua orang yang lewat di situ ditanyai identitasnya. "Kami harus curiga. Lebih-lebih yang punya potongan seperti polisi," kata seorang warga. Polisi? Kepada instansi itulah warga setempat marah besar, akibat tertembak matinya seorang warga di situ, Mahdi, 39 tahun. Pada Senin malam, 22 April, Mahdi ditembak seorang oknum polisi, Sersan Satu Pol. Jayadi, dari jarak sekitar dua meter. Padahal korban bukan buron. Bahkan di kampungnya Mahdi dikenal sebagai guru mengaji anak-anak. Penembakan itu segera menyulut kemarahan warga. Sebuah rumah tingkat serta isinya milik Dedi, yang dianggap sebagai biang kejadian itu, dihancurkan massa. Antena parabola, yang bertengger di rumah itu, tinggal bangkainya. Taksiran sementara, Dedi menderita rugi sekitar Rp 50 juta. Kerusuhan itu bermula dari jual beli tanah antara kakak Dedi, Naryo, dan paman Mahdi, Sulaeman, pada 1987. Belakangan Naryo, melalui Dedi, memaksa Sulaeman agar menjual kembali tanah itu kepadanya dengan harga seperti ketika dibeli. Sulaeman menolak. Dedi tak mau tahu, dan tanpa izin menumpuk lima ribu batu bata miliknya di atas tanah itu. Selain itu, pagar berduri sepanjang 70 meter yang mengelilingi tanah tersebut dirusaknya. Mahdi, yang diserahi pamannya mengawasi tanah itu, mengangkati kembali batu bata ke halaman Dedi. Kejadian pada 26 Januari lalu itu berakhir dengan adu mulut dan saling pukul antara Mahdi dan Dedi. Buntutnya, Dedi mengadu ke Polsekta Rancasari, sedang Mahdi mengadu ke koramil setempat. Karena pengaduan itu tiga kali, Mahdi harus menghadap Jayadi di kantor polisi. Jayadi, yang berkeras hendak membawa perkara itu ke pengadilan, mengambil sidik jari dan foto Mahdi. Entah kenapa, pada bulan Puasa lalu, Jayadi dan Mahdi sepakat menutup kasus ini dengan uang Rp 100 ribu. Namun, belakangan, Jayadi marah lantaran hanya menerima Rp 40 ribu. "Mana mungkin dengan uang Rp 40 ribu. Buat ke jaksa saja nggak cukup," kata Jayadi kepada Mahdi, seperti diceritakan sepupu Mahdi, Kanda. Pada Minggu malam, 21 April, Jayadi kembali mendatangi Mahdi. Yang dicari tak ditemukan walau seprei dan kasur di rumah Mahdi sudah diacak-acak. Begitu juga di rumah Kanda. Mahdi memang sedang ke Tasikmalaya. "Mahdi pasti buron. Akan saya cari. Di mana pun ia lari, akan saya tangkap," kata Jayadi di hadapan Kanda. Esoknya, sekitar pukul 20.00, Jayadi dan Sersan Satu Waluyo kembali. Sampai di rumah Mahdi, Waluyo mengetuk pintu depan, sedang Jayadi berjaga di pintu belakang. "Mahdi, keluar kamu," teriak Waluyo. Mahdi, yang habis berzikir dan masih memegangi tasbih, membuka pintu belakang, sedang istrinya membuka pintu depan. Begitu pintu belakang terbuka, Jayadi melepas tembakan dua kali. Dor! Dor! Pelor menembus dada kiri dan kanan korban. Darah membasahi dadanya. Istri dan keempat anak korban hanya bisa menjerit. Dengan sempoyongan, Mahdi berjalan ke rumah Kanda, yang hanya berjarak 20 meter. "Tolong, saya ditembak," katanya kepada Kanda. Malam itu juga, Mahdi tewas sebelum sampai di rumah sakit. Kematian Mahdi ini yang membuat warga marah. Namun, Jayadi dan Waluyo telah menghilang. Ratusan warga tanpa dikomando bergerak ke rumah Dedi. Rumah itu berikut perabotnya dihancurkan massa. Bahkan, sepeda motor kedua oknum polisi tadi, yang mereka titipkan di rumah Dedi dibakar massa. Untunglah, Dedi, istri, dan kedua anaknya sudah diamankan petugas. Puluhan petugas Kepolisian dan Skogar malam itu turun mengamankan situasi. Baru pada tengah malam suasana mereda. Esoknya, Mahdi dimakamkan. Sementara itu, Dedi lewat pengacaranya menggugat masyarakat setempat, terutama keluarga Sulaeman, sebesar Rp 300 juta. Sementara itu, Jayadi dan Waluyo kini ditahan di Polwiltabes, dan akan dialihkan ke Pom ABRI. Dalam pemeriksaan, kabarnya, Jayadi mengatakan bahwa ia tak sempat melepas tembakan peringatan karena Mahdi bercelurit. Benarkah begitu? "Akan kami selesaikan kasus ini secara tuntas," kata Kapolwiltabes Bandung, Kolonel K. Ratta. WY dan Ahmad Taufik (Biro Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus