Puluhan perampok bertopeng dengan bebas menggasak petani kopi di Bengkulu. Kecemburuan sosial? SUASANA mencekam menyelimuti desa-desa di kaki bukit Kaba, Kabupaten Rejanglebong, Provinsi Bengkulu. Petani tidak lagi terlihat menghampar jemuran kopi di halaman-halaman pondok mereka. Padahal, di desa-desa yang dihuni 2.000 keluarga ini pada bulan-bulan ini tengah panen kopi yang melimpah. Ribuan pondok yang tersebar di kaki bukit itu sudah lama tak lagi dihuni oleh wanita dan anak-anak. Mereka diungsikan ke kampung asalnya di Bengkulu Selatan. Lelaki yang masih tinggal tidak berani keluar rumah sehabis magrib. Setiap malam mereka waspada karena perampok bisa datang kapan saja. "Siapa saja yang berani menggedor pintu pondok lewat magrib akan kami bunuh," ujar Tarman alias Tarok, 35 tahun. Sebulan terakhir ini saja, tidak kurang dari 30 kali kawasan desa yang subur ini dijarah perampok. Harta benda digasak, penduduk dianiaya bahkan dibunuh, dan sering pondok-pondoknya pun dibakar. "Mereka benar-benar tak berperi kemanusiaan," ujar ayah tiga anak itu. Pada malam 22 April lalu, misalnya, ketika penduduk sedang tertidur pulas, tiba-tiba sekitar 20 orang perampok bertopeng ala ninja, menyerbu sebuah kampung di kaki bukit Kaba. Setelah membunuh anjing-anjing peliharaan petani yang biasa menyalak bila ada orang asing datang, mereka lalu berteriak. "Semua penduduk diminta tinggal di pondok-pondok. Bila ada yang mencoba keluar, akan kami bunuh!" teriaknya. Di sebuah pondok, Karmo, 35 tahun, bersama anaknya, Sutandi, 12 tahun, tengah tidur pulas. Ia baru bangun ketika pintu rumahnya dijebol. Tapi petani itu langsung disambut sabetan golok bertubi-tubi. Ayah tiga anak itu pun tewas terkapar, sementara Sutandi dianiaya. Setelah itu perampok menjarah harta benda Karmo dan penduduk lain. Sebelum meninggalkan kampung itu mereka berteriak, "Kami akan kembali lagi, selama kalian terus menyerobot tanah kami." Menyerobot tanah kami? Dugaan sementara perampokan itu memang berlatar belakang kecemburuan sosial antara pendatang dan penduduk asli setempat. Sekitar enam tahun lalu, kaki bukit yang subur dengan tanaman kopi ini mulai dipadati sejumlah petani pendatang dari Bengkulu Selatan. Para pendatang itu membuka lahan kebun kopi besar-besaran di daerah yang subur itu. Tanpa pupuk pun pohon kopi di sini tumbuh subur. Tak heran bila satu hektare kebun kopi bisa menghasilkan 3-4 ton sekali panen. Akibatnya, setiap tahun pendatang semakin banyak. Saat ini saja di kaki bukit itu ada sekitar 5.000 hektare kebun kopi rakyat milik para pendatang. Mereka yang semula tinggal di pondok-pondok darurat kini membangun rumah-rumah permanen. "Harus diakui, petani pendatang dari Bengkulu Selatan itu bekerja lebih giat, tentu saja hasilnya pun lebih baik," ujar Kepala Desa Batubandung, Mahyudin. Ketika pendatang baru menggarap tanah, tidak ada seorang pun mengutik-utik status tanah. Namun, begitu panen berhasil, penduduk asli mulai mengklaim bahwa tanah garapan itu milik mereka. "Padahal, tanah ini sejak semula dibeli lewat desa," ujar seorang petani pendatang. Nah, dari sinilah awal sengketa. Mula-mula teror kecil-kecilan agar para pendatang itu tidak betah dan segera meninggalkan tanah garapan. Ketika teror itu tidak mempan, muncullah perkelahian masal dan perampokan, bahkan pembakaran pondok-pondok penduduk. Awal April lalu, seorang petani kopi Desa Batubandung, Kabupaten Rejanglebong, meninggal dalam suatu perkelahian. Seminggu kemudian tujuh pondok dibakar. "Keadaannya kini sudah mencapai titik kritis. Sewaktu-waktu bisa meledak menjadi bentrokan masal," ujar salah seorang tokoh petani pendatang, Amrison. Sampai pekan lalu, polisi belum bisa memastikan motif perampokan itu. Namun, Kapolres Rejanglebong Letnan Kolonel I Putu Suryawan menjanjikan kepada penduduk akan menangani masalah ini hingga tuntas. "Kami tidak akan tinggal diam," ujar Putu Suryawan. Hasan Syukur & Marlis Lubis (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini