Bustanil turun tangan, dan Bukopin berhenti mengerang. Ia berjanji, bank ini akan sehat kembali dalam waktu empat tahun. BUKAN karena ingin menirukan almarhum pelawak Gepeng, maka para bankir berkata, "Untung, ada Bustanil." Celetukan yang pernah populer sekitar lima tahun yang lalu kini muncul sebagai pemeo yang serupa, tapi tak persis sama. Dengan mengulangi pemeo itu, para bankir mungkin ingin meyakinkan sesama mereka bahwa krisis gawat yang menimpa Bukopin, ternyata, bisa diatasi dalam cara yang tidak terduga-duga dan begitu mudahnya. Kenyataan memang menunjukkan bahwa tanpa Pak Bus yang Menteri Koperasi, Bukonin -- satu-satunya bank korerasi di Indonesia -- mungkin masih tetap "koma". Dengan infus dana yang bertubi-tubi -- dimulai oleh Liem Sioe Liong -- Bank Bukopin, yang sejak tiga minggu lalu megap-megap, akhirnya terlepas dari bahaya kolaps. Padahal, kredit macet yang menggerogoti bank tersebut berjumlah tak kurang dari Rp 185 milyar. Selain Salim Group yang menyuntikkan Rp 15 milyar, berbagai organisasi koperasi ikut terpanggil untuk menyelamatkan Bukopin. Hal itu dilakukan "tanpa diminta", seperti dituturkan Bustanil menjelang Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin, pekan lalu. Adapun Liem Sioe Liong menawarkan dana berupa deposito dengan bunga super-rendah (6%) yang kalau perlu, katanya, bisa ditambah lagi. "Saya tidak tahu, apakah bantuan ini dari Salim Group, atau dari pribadi Liem sendiri," tutur Bustanil, seraya mengacung-acungkan jempolnya berulang-ulang. Yang pasti, deposito yang disetorkan Liem tersebut berjangka tiga sampai lima tahun. Tergantung kebutuhanlah. Selain Liem, bantuan berbunga 6% juga datang dari gerakan koperasi Rp 20 milyar, dan Asosiasi Penyalur Gula dan Tepung Terigu Indonesia (Apegti) Rp 10 milyar. Primkopti (Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesla) juga tak mau ketinggalan. Bedanya, kelompok ini menyetorkan Rp 6 milyar bukan sebagai pinjaman ataupun deposito, tapi sebagai penyertaan modal di Bukolin. Namun, ini belum cukup, apalagi kalau dibandingkan dengan jumlah piutang ragu-ragu yang diperkirakan tidak akan tertagih. Menurut perhitungan, dari jumlah yang Rp 185 milyar tersebut, Rp 81 milyar termasuk kredit yang "agak mustahil" dilunasi. Rinciannya: Rp 66 milyar macet di nasabah nonkoperasi, sisanya (Rp 15 milyar) di sektor koperasi. Itulah sebabnya hingga akhir pekan lalu, Bus -- demikian panggilan akrab Bustanil -- masih sibuk mencari bantuan ke sana-kemari. Sebuah sumber menyebutkan, jumlah bantuan superlunak itu kini telah bertambah Rp 5 milyar, yang kabarnya diperoleh dari Grup Astra. Kendati bertambah Rp 5 milyar (sehingga menjadi Rp 56 milyar), jumlah itu belum memadai. Dalam Rapat Anggota Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Sabtu lalu, Bus mengimbau beberapa koperasi untuk ikut mengulurkan bantuan. Sampai berita ini diturunkan, belum bisa diketahui, koperasi mana lagi yang akan urun dana untuk menolong Bukopin. Dalam urusan mengumpulkan dana penyelamat ini, Bus tidak hanya menggunakan jurus meminta, tapi juga jurus memaksa. Terutama kepada nasabah-nasabah yang telah menyebabkan Bukopin kelimpungan. "Kami akan segera menyita beberapa barang jaminan, khususnya dari nasabah swasta," ujarnya seusai RAT GKSI. Mungkin, salah satu jaminan yang akan disita berasal dari milik Haji Kumbo. Sebab, menurut Bus, tak lama lagi Bukopin akan menerima pembayaran dari Kumbo Rp 37 milyar, yang merupakan hasil penjualan salah satu gedungnya di kawasan Krekot, Pasar Baru, Jakarta. Disesalkan juga oleh Ketua Bulog ini bahwa tidak semua kredit yang disalurkan Bukopin memiliki jaminan yang cukup. Lalu ia kembali mengingatkan bahwa sebagian besar dari kemacetan itu merupakan warisan dari pengurus Bukopin yang lama. Benarkah? Pertanyaan ini selalu mengiang-ngiang di telinga Aberson Marle Sihaloho, Wakil Ketua Komisi APBN DPR RI. Soalnya, ketika terjadi penggantian direksi pada tahun 1989, Aberson mendapat informasi bahwa kredit macet di Bukopin hanya Rp 45 milyar. "Lalu kenapa dalam waktu dua tahun, yang macet malah membengkak menjadi Rp 185 milyar," katanya kepada Bambang Aji dari TEMPO. Lebih dari itu, Aberson menggugat, mengapa kesalahan itu ditimpakan pada direksi yang lama. "Ini kan tidak adil," gebrak Aberson lagi. Tak hanya sampai di situ gugatan tokoh DPR itu. Dengan alasan bahwa kredit Rp 45 milyar itu semula tidak benar-benar macet, Aberson berpendapat, sudah selayaknya bila Bukopin mengungkapkan swasta nonkoperasi mana saja yang menjadi biangnya. Sejauh tidak ada penjelasan yang lengkap -- terutama mengenai membengkaknya kredit macet dari Rp 45 ke Rp 185 milyar. Sampai di sini, mungkin pertanyaannya hanya bisa dijawab oleh Muchtar Mandala, selaku Dirut Bukopin, atau oleh Menteri Bustanil sendiri, barangkali. Terlepas dari siapa yang paling bertanggung jawab, Bukopin tampaknya akan bisa bangkit kembali. "Insya Allah dalam waktu empat tahun bank ini akan kembali sehat," begitu janji Bustanil. Adapun caranya, selain menggencarkan pencarian dana-dana murah, plus menekan nasabah-nasabah "nakal", manajemen Bukopin kini tengah melakukan efisiensi besar-besaran. Tak jelas caranya. Tapi Bustanil menjanjikan, biaya dana untuk kredit macet, yang tahun lalu besarnya Rp 39 milyar, tahun ini akan ditekan menjadi tinggal Rp 21 milyar saja. Target ini agaknya tak terlalu sulit dicapai. Dari bantuan superlunak yang berbunga 6% itu, akan bisa diraih sekitar Rp 10,6 milyar. Jumlah ini diperoleh, jika dana Rp 56 milyar itu didepositokan dengan bunga 25% lalu dikurangi bunga yang 6%. Ya, untung ada Pak Bus. Kalau tidak, siapa sanggup mencari dana semurah itu? Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini