Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Siapa memperdaya siapa

Memasuki minggu ke-2, deppen memerintahkan rcti menghentikan siaran percobaannya ke seluruh indonesia lewat palapa.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memasuki minggu ke-2, siaran langsung RCTI lewat Palapa dilarang. Lalu, RCTI mempertanyakan hak siaran luber dari pemancar asing. PEMILIK antena parabola, khususnya di Bali dan Yogya, dewasa ini terpaksa menelan rasa kecewa. Mengapa? Setelah sempat menikmati acara-acara mengasyikkan dari RCTI selama 10 hari, tiba-tiba saja pelbagai serial itu lenyap bagaikan ditelan bumi. Terpaksalah mereka kembali ke pemancar lama: TV3 Malaysia, Muangthai, Filipina, plus CNN dari Amerika. Apa yang terjadi? Ternyata, acara "tambahan" RCTI tersebut disiarkan tanpa izin. Maka, sejak pekan lalu, Departemen Penerangan memerintahkan agar RCTI menghentikan siaran percobaannya ke seluruh Indonesia. Keputusan ini mengundang pro-kontra dari masyarakat penonton pemilik parabola. "Saya heran, kenapa siaran TV asing bebas ditonton, kok siaran dari negeri sendiri malah tidak boleh," kata D.J. Sulistio, pemilik parabola di Yogyakarta, yang sebelumnya gemar menyetel siaran TV3 dari Malaysia. Yang lebih kecewa adalah pemirsa yang membeli antena parabola karena ingin menonton siaran RCTI. Soalnya, banyak pedagang seperti di Bali -- yang beriklan bahwa antena yang mereka jual bisa menangkap siaran RCTI. "Sungguh, saya membeli parabola karena iming-iming itu," kata seorang pemirsa di pulau wisata yang telanjur mengeluarkan Rp 1,3 juta untuk sebuah antena. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Sejak Dirjen RTF mengeluarkan surat peringatannya tanggal 22 April, si pemilik parabola tak lagi bisa menikmati RCTI. Lalu apa yang melatarbelakangi munculnya persoalan ini? Keputusan Departemen Penerangan, sebenarnya, tidak perlu dipersoalkan. Keputusan itu sesuai sekali dengan bunyi rekomendasi yang diberikan instansi tersebut kepada RCTI akhir tahun lalu. Di situ jelas disebutkan bahwa penggunaan Palapa oleh RCTI semata-mata hanya untuk mengirim program siaran dari satu studio ke studio lainnya. Istilahnya point to point. Di atas semuanya, rekomendasi yang diberikan Deppen menyebutkan bahwa pengiriman program itu tidak boleh tertangkap oleh umum. Yang dimaksud umum tentulah pemilik parabola. Peringatan tersebut dengan cepat dipatuhi oleh manajemen RCTI. Hanya saja, dalam surat balasannya per 24 April, manajemen RCTI mempertanyakan siaran-siaran TV asing yang sama-sama menggunakan Palapa, tapi boleh bersiaran langsung. Untuk menjawab pertanyaan RCTI, Deppen hanya membutuhkan waktu dua hari. Tepatnya pada 26 April, Dirjen RTF menjawab bahwa siaran TV seperti yang dilancarkan TV3 Malaysia, dan tertangkap di Indonesia, semata-mata hanya bersifat "luberan". Artinya, TV3 dan rekan-rekannya tidak dengan sengaja. Kendati "tidak sengaja", TV Malaysia berhasil memetik keuntungan dari siarannya itu. Buktinya, sampai saat ini, paling tidak sudah ada lima produsen besar yang memasang iklan di TV3. Mereka adalah Gudang Garam, Djarum, Mustika Ratu, JF Sulphur Soap, dan Sampoerna. Dari iklan yang disponsori pabrik-pabrik kretek saja, tahun lalu TV3 berhasil memperoleh pendapatan tak kurang dari 2 juta dolar Malaysia, atau sekitar Rp 1,4 milyar. "Mereka bilang -- maksudnya pemasang iklan dari Indonesia -- - sasaran utama dari iklan yang dipasang adalah pemirsa Indonesia," tutur Khairuddin Othman, asisten manajer pemasaran TV3. Ini sebuah alasan yang sangat masuk akal. Di Indonesia kini, tak kurang 300 ribu pemirsa yang memiliki antena parabola. Ini jumlah yang cukup lumayan untuk para pemasang iklan. Katakanlah sebuah TV ditonton empat pasang mata. Maka iklan luber tersebut bisa dilihat oleh tak kurang dari 1,2 juta pemirsa. Namun, terlepas dari keuntungan luberan yang dinikmati TV asing, muncul pertanyaan, apakah akan menguntungkan bagi RCTI menyewa transponder Palapa 1,2 juta dolar (sekitar Rp 2,3 milyar). Tanpa langsung menjawab inti masalah, Alex Kumara, Direktur Teknik RCTI, menjelaskan, pihaknya tetap akan menggunakan Palapa sebagai alat untuk mengirimkan paket-paket siaran dari studio ke studio. Hanya Alex menyayangkan, Palapa itu semata-mata hanya bisa digunakan sebagai alat distribusi paket acara, bukan siaran langsung. Ini berarti, transponder yang disewa menjadi tidak efektif. Padahal, jalur Palapa tersebut bisa digunakan 24 jam. "Nah, kalau hanya digunakan untuk mengirimkan paket acara, jatuhnya jadi mahal sekali," kata Alex tanpa merinci. Kalau dipakai perhitungan dagang, ternyataan itu benar sekali. Soalnya, mengapa RCTI bersedia menyewa trarsponder Palapa dengan hak pakai yang begitu terbatas? Apakah RCTI yang lugu hingga "terperdaya" dalam kontrak sewa Palapa, atau telah tak sengaja menayangkan siaran lansung dengan bantuan Palapa? Kejelasan tentang apa yang di balik "layar RCTI" tentulah hanya pihak stasiur TV swasta itu yang mengetahui. Bahwa sewa Palapa itu kemahalan, hal ini pun tak diragukan lagi. Yang mengejutkan ialah RCTI berani mengajukan usul, agar bisa bersiaran langsung melalui SKSD Palapa. Apa maksudnya? Pihak yang paling andal untuk menjawab pertanyaan tersebut hanyalah Deppen. Dan hanya Deppen jualah yang pantas bertindak arif dan bijak, tegas atau lunak. Terhadap pengiriman paket acara, ternyata, Deppen bersikap tegas. Kini tinggal ditunggu bagaimana sikap Deppen terhadap usul siaran langsung RCTI. Point to point atau langsung? Budi Kusumah, Ida Farida, Moebanoe Moera, dan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus