UPAYA menghukum pelanggar aturan lalu lintas three in one sebenarnya sudah direncanakan matang. Seperti pada pelanggaran lalu lintas lain, polisi akan mengeluarkan tilang. Pelanggar kemudian disidang dan diwajibkan membayar denda. Namun, rencana menghukum pelanggar aturan kawasan pembatasan penumpang (KPP) itu ternyata tidak mulus. Sampai pekan lalu, belum satu pun pengemudi yang "ditilang" polisi bisa dibawa ke sidang pengadilan. Terhambatnya pemberkasan perkara itu gara-gara munculnya berbagai reaksi keras. Banyak kalangan mempertanyakan dasar hukum penindakan tersebut. Di tengah kemelut isu itu, Jumat pekan lalu, sebuah insiden terjadi. Proyek ujicoba itu hampir merenggut korban nyawa. Seorang polisi melepaskan tembakan ke arah mobil pelanggar yang dikendarai Joko Suwarno. Penumpang mobil itu hanya dua orang. Kaca pecah berantakan. Peluru melesat dan menancap di dashboard, untung tidak nyasar ke tubuh dua penumpang tadi. Polisi yang melakukan penembakan sedang diusut. Joko Suwarno mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Dari pengemudi ini, terungkap bahwa penembakan terjadi di jalan tol di depan Balai Sidang. Polisi melepaskan tembakan dari sepeda motor yang melaju di luar jalan tol. Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya Letkol. (Pol.) A. Latief Rabar menyesalkan peristiwa itu. "Kami akan menindak petugas itu sesuai dengan hukum yang berlaku," katanya. Ia menduga penembakan itu terjadi karena petugasnya emosi. Petugas itu bisa jadi juga bingung. Santernya media massa yang mempermasalahkan dasar hukum penilangan membuka peluang bagi setiap pelanggar mendebat polisi bila ditahan. Sebenarnya, Pemda tak asal-asalan membuat aturan three in one yang mulai diberlakukan sejak 20 April 1992 itu. Kemacetan lalu lintas di kawasan KPP memang sudah keterlaluan. Tidak bisa dibayangkan, misalnya, bagaimana Konperensi Tingkat Tinggi Nonblok akan bisa berlangsung di Balai Sidang, yang termasuk kawasan KPP. Seratus lebih kepala negara yang mengikuti konperensi itu bisa dipastikan bakal terlambat sidang. Survei menunjukkan, pada jam sibuk pagi hari di jalur Sudirman-Thamrin melaju sekitar 9.000 mobil per jam. Padahal, normalnya jalur itu cuma mampu menampung 5.000 mobil. Sebanyak 42% mobil pribadi yang lewat ditumpangi hanya satu atau dua orang. Hanya 10% berpenumpang tiga orang, dan 8% berpenumpang empat atau lebih. Maka, cara terbaik mengurangi kemacetan lalu lintas di Gatot Subroto, Sudirman, dan Thamrin adalah membatasi mobil berpenumpang satu dan dua orang. Kenyataannya, setelah KPP diberlakukan, kemacetan memang mencair. Untuk menguatkan kebijaksanaan yang berhasil itu, diterapkan penilangan. Sejak sanksi dilaksanakan pada 27 April, tercatat 995 pengendara terkena tilang. Sayangnya, pengaturan yang sudah berjalan mulus itu tidak disertai kecermatan dalam penyusunan landasan peraturannya. Para hakim, termasuk hakim yang harus menyidangkan pelanggar KPP, mempersoalkan landasan hukum sanksi tilangnya. Surat keputusan gubernur yang melandasi peraturan itu dinilai tidak cukup kuat. Sebab, Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Perwira Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Wahono Baoed, menegaskan kesangsian itu. Setiap pelanggaran yang dapat dikenai sanksi pidana, katanya, harusnya minimal didasari peraturan daerah (perda). Baoed khawatir, bila dasar hukumnya lemah, pelanggar KPP yang disidangkan akhirnya harus dibebaskan demi hukum. Perda yang disebut Baoed mempunyai kekuatan karena konsideran penyusunannya: undang-undang. Dalam hal aturan KPP, sumber pertimbangannya paling tidak Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Lalu Lintas. Dan yang paling penting, perda tersebut disahkan (disetujui) wakil rakyat di DPRD. Namun, Kapolda Metro Jaya, Mayjen. (Pol.) M.H. Ritonga, tetap yakin SK gubernur cukup kuat sebagai dasar penindakan. "Gubernur mempunyai wewenang mengatur kepentingan umum di wilayahnya," katanya. Kepala Satuan Penyidik Lalu Lintas, Letkol. Adjar Triadi, menambahkan dasar penindakan pelanggar KPP, Pasal 8 ayat 2 UU Lalu Lintas (Melanggar tanda larangan masuk jenis kendaraan dan pada waktu yang ditetapkan). Hakim Agung Bismar Siregar dalam pendapatnya lebih melihat tujuan KPP. Ia menilai, aturan three in one bertujuan melancarkan arus lalu lintas dan didasarkan kepentingan orang yang lebih banyak. Menyangkut keadilan, karena mobil pribadi (berisi satu dua orang) mengambil ruang jalan jauh lebih banyak daripada kendaran umum (berisi puluhan orang). "Kalau menurut saya, keadilan harus ditegakkan dan kepastian hukum bisa saja dikorbankan," kata Bismar. Pengajar Fakultas Hukum UI Winarno Yudho berpendapat, pro dan kontra soal dasar hukum KPP berakar pada dua kubu pandangan yang berbeda. "Pandangan yang legalistik formal dan nonlegalistik formal," katanya. Bismar, menurut Yudho, berpikir inovatif dan tidak legalistik formal. "Jika hakim inovatif seperti Bismar, mereka tidak akan terikat pada ketentuan legalistik formal. Jadi, tilang tetap bisa diberlakukan," ujar Yudho lagi. Sebuah sumber di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengungkapkan, untuk menyelesaikan kesimpangsiuran masalah three in one itu, pengadilan tinggi kini telah membentuk tim khusus untuk mengkaji aspekaspek yuridis KPP. "Insya Allah, pekan ini semua persoalan yang menyangkut KPP terselesaikan," katanya. Aries Margono, Ardian T. Gesuri, dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini