KAPTEN Anwar Beth, 50, kini dalam proses penyidangan di Mahkamah Militer Medan. Bekas Kepala Gudang Material Denma Polda Sum-Ut itu dituduh menjual enam pucuk pistol. Dan dengan senjata tersebut, pemesannya telah melakukan serangkaian perampokan dan tindakan kriminal lainnya. Anwar Beth masuk polisi pada 1956. Tapi ia memulai "bisnis jual senjata" sejak April 1985. Mulanya ketika kapten berambut tipis ini kedatangan Letda Mansyursyah, 51. Dua sahabat ini sama-sama peserta ujian Secapa Inspektur Kepolisian di Medan, 15 tahun lalu. Rekan lamanya itu minta dicarikan beberapa pistol. Kata Mansyursyah, ada bapak-bapak dari Hankam, Jakarta, perlu senjata api untuk suatu tugas di PTP dan Pemda Sum-Ut. Demi janjinya kepada pensiunan Perawatan Teknik Satpol Air Polda Sum-Ut itu, Anwar mencari pistol FN 46 yang sudah rusak tapi diperbaikinya lagi. Mansyursyah membeli pistol itu Rp 200 ribu. Si pemesan, sebenarnya, bukan menyerahkan senjata genggam itu kepada "bapak-bapak dari Hankam". Ia menjualnya kepada Zulkifli Nasution, pensiunan Pelda TNI-AL dengan harga Rp 500 ribu. Pistol itu kemudian pindah ke Bambang dan Hidayat dengan harga Rp 1,5 juta. Kedua pembeli terakhir ini mengaku berpangkat kapten dan anggota Pusat Intel Strategis Hankam. "Saya membaca surat-surat kelengkapan mereka sebagai intel, hingga saya percaya," kata Zulkifli. Padahal, begitu sumber di Polda Sum-Ut mengatakan, Bambang dan Hidayat adalah kapten gombal. Bambang, 37, bekas kopral. Ia dipecat dari Rinif Dam I/Bukit Barisan, karena desersi. Sedang "kapten" Hidayat memang preman tulen. Di tangan mereka, senjata api ini kemudian membuka sejarah baru: dipakai untuk kejahatan. Bambang dan Hidayat, dengan menyelipkan pistol di balik pinggangnya, memeras beberapa pengusaha di Medan. Tapi Bambang dan Hidayat merasa tak cukup hanya dengan satu pistol. Sebelumnya, mereka sudah mendapatkan FN 45 dari Zulkifli yang juga dibelinya dari Mansyursyah, Rp 700 ribu. Selanjutnya, Mansyursyah menjalin hubungan dagang senjata api itu langsung dengan Bambang dan Hidayat. Dengan demikian, berturut-turut, Anwar Beth telah menjual 4 pistol, yaitu 2 revolver kaliber 38 berikut 20 peluru dan 2 Vickers 9 mm, dengan 50 pelornya. Salah satu pistol yang dibeli Bambang dkk. kini disimpan di Kisaran, dan pernah digunakan untuk merampok pedagang sayur dan melayangkan jiwa Armansyah, sopir truk sayur, serta menghabisi Yunior Damanik dan adiknya, Andy Damanik, dua tahun lalu. Pembawa senjata itu, Hasan Basri, dihukum di Pengadilan Negeri Kisaran, seumur hidup. Komplotan perampok lainnya, Rusinem dan Efendy, diganjar 6 dan 7 tahun penjara. Sedangkan Hamzah divonis 18 tahun kerangkeng. Polisi Medan berhasil mengamati tingkah Bambang dan Hidayat yang belakangan hidup mewah. Anehnya, sehari-hari mereka dikawal anggota Polisi Militer. Tapi setelah cukup bukti, menjelang akhir 1985, dua truk polisi dikerahkan untuk menggerebek rumah istri muda Bambang di kompleks perumahan Pemda, Tanjung Sari, Medan. Namun, kedua "kapten" itu tak menyerah begitu saja ketika polisi menyergap mereka. Bambang dan Hidayat melawan. Dan tembak-menembak berlangsung tiga jam lebih. "Ketika itu kami tidak langsung mendekat. Bambang diduga banyak persediaan peluru," kata seorang perwira polisi. Dengan bom gas air mata, polisi akhirnya menamatkan tembak-menembak itu. Bambang dilumpuhkan dan Hidayat dihabisi nyawanya. Dari pengakuan Bambang, terbongkarlah jaringan jual beli senjata api yang digunakan untuk kejahatan itu. Anwar Beth ditahan sejak 26 September 1985. Jual beli senjata itu terbongkar ketika dua handy talky dicuri Anwar di Polda Sum-Ut. Keenam pistol itu sudah diamankan untuk bukti. Pekan-pekan ini Mahkamah Militer di Medan segera menyidangkan rantai perdagangan senjata itu. Belum tuntas tersibak kejahatan apa lagi yang pernah dikoyak senjata api yang mereka genggam selama ini, selain yang sudah disebut. A. Margana, Laporan Monaris Simangunsong (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini