Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Profesor tak harus botak

Kriteria pengangkatan profesor yang selama ini berlaku dipertanyakan, dianggap mengikuti pola belanda. dep p & k akan mengubah kriteria itu sebagai gelar yang fungsional & dapat diraih lewat prestasi. (pdk)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPALANYA botak, dan ia linglung. Di depan kelas, tokoh ini suka kebingungan mencari kaca matanya. Padahal, benda itu jelas-jelas bertengger di hidungnya. Itulah gambaran seorang profesor yang umum dikisahkan di mana-mana. Ternyata, karikatur seperti itu memang dekat dengan kenyataan - bukan soal botak dan linglungnya, melainkan makna olok-olok itu. Di perguruan tinggi Indonesia, seorang dosen baru diangkat menjadi profesor bila sudah berpangkat IV/D, atau lektor kepala. Itu berarti, setidaknya, sang dosen sudah berusia hampir setengah abad. Sebab, untuk mencapai pangkat tersebut prosesnya lama. Tapi, bila kini kriteria pengangkatan profesor dipersoalkan, bukan untuk menghilangkan gambaran karikatural yang lucu itu. Memang ada hal yang dianggap kurang pas dalam pengangkatan profesor selama ini. Adalah Prof. Dr. Fuad Hassan sendiri yang mengatakan bahwa, "Banyak profesor yang belum menjalankan peran dan kedudukannya sebagai pengajar utama di perguruan tinggi," ketika membuka Rapat Kerja Nasional Rektor Perguruan Tinggi Negeri, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Dengan kata lain, gelar profesor selama ini lebih menjadi semacam gelar kehormatan. Padahal, profesor, atau disebut juga guru besar itu, seharusnya gelar fungsional. Para guru besar itulah yang menjadi tulang punggung mutu akademis. Salah satu tugas mereka adalah membimbing penulisan disertasi. Dengan demikian, kemampuan ilmiah mereka mestinya boleh diandalkan. Tetapi kriteria prestasi ilmiah itu justru tak diperhitungkan dalam pengangkatan profesor selama ini. "Kriteria itulah yang akan segera diubah," kata Dirjen Pendidikan Tinggi Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo. Tujuan pengubahan itu agar perguruan tinggi benar-benar memiliki guru besar yang fungsional. Untuk ini, kriteria keilmiahan akan diutamakan. Seorang dosen yang berprestasi ilmiah, atau seorang doktor dengan disertasi yang cum laude, tanpa pandang pangkat dan usia, kelak bakal bisa diangkat jadi profesor - suatu hal yang mustahil selama ini, bila yang bersangkutan belum berpangkat IV/D. "Waktu saya diangkat menjadi profesor di UGM, usia saya 41 tahun, dan itu memecahkan rekor profesor termuda. Sekarang rekor termuda dipegang oleh Mubyarto, yang diangkat pada usia 38 tahun," kata Sukadji menambahkan. Dengan perubahan itu, diharapkan juga muncul suasana bersaing dalam melahirkan prestasi ilmiah di kalangan dosen. "Karena gelar profesor nantinya merupakan penghargaan yang wajar atas prestasi akademis, mestinya hal itu memberi gairah untuk penelitian." Terus terang, kriteria pengangkatan profesor yang baru ini berkiblat ke Amerika Serikat. Ini berarti, seperti di perguruan tinggi AS, "Seorang profesor yang berhenti mengajar, gelarnya otomatis tanggal," tutur Suyudi, Rektor Universitas Indonesia, guru besar yang ikut melontarkan kritik. "Selama ini kita meniru Belanda, gelar profesor dibawa sampai mati." Keharusan mengajar itu juga ditekankan oleh Sukadji. "Saya, misalnya, masih mengajar di UGM. Pak Fuad juga masih mengajar di UI. Kalau tak lagi mengajar, seperti halnya di Amerika, Henry Kissinger itu umpamanya, ya, tak lagi memakai gelar profesor. Bekas Menlu AS itu 'kan profesor dari Universitas Harvard," kata Sukadji pula. Ada yang mengusulkan agar pihak universitas tak cuma pasif mencari guru besar. Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, Dekan Fakultas Sastra UGM, menunjuk contoh di Malaysia. Di negara tetangga itu, tutur Ibrahim, universitas yang membutuhkan profesor memasang iklan. Siapa pun dosen yang merasa mampu boleh mengajukan lamaran kepada senat universitas, dengan melampirkan karya-karya ilmiahnya. "Jadi, untuk diangkat menjadi profesor, tidak harus menunggu kakek-kakek," kata Ibrahim. Dekan UGM itu lantas menyebutkan sejumlah nama, seperti Masri Singarimbun Umar Kayam, Kuntowijoyo, yang sudah pantas menyandang profesor. Tapi, karena peraturan selama ini, tenaga dan pikiran mereka tersia-siakan. "Hasil karya mereka sudah banyak yang diperhitungkan. Coba kalau bicara soal kependudukan, pasti menyebut nama Masri. Itu 'kan namanya sudah berprestasi." Yang masih jadi pertanyaan adalah haruskah kini seorang guru besar juga seorang doktor. Bagi Ibrahim Alfian, profesor yang tidak doktor terasa aneh. Mereka itu, kata Ibrahim, bertugas membimbing calon doktor yang tengah menyusun disertasi. "Padahal, kalau bukan doktor, berarti belum pernah menulis disertasi. Bagaimana mereka membimbing penulisan disertasi?" Tak semua setuju dengan pendapat salah seorang dekan UGM itu. Sebab, kata seorang profesor yang belum doktor - yang menjadi civitas academica UGM juga, tapi tak bersedia disebut namanya - "Itu bukan persoalan besar, karena semuanya bisa dipelajari." Dengan kata lain, doktor atau bukan doktor, untuk diangkat menjadi guru besar, yang penting kriteria prestasi ilmiahnya itulah. Sementara itu, menurut Sukadji, persetujuan mengubah kriteria pengangkatan profesor sudah dicapai antara Departemen P & K (yang bersangkutan), Menpan (yang menetapkan peraturan-peraturan), dan BAKN (yang mengatur tunjangan jabatan). Adapun peraturan pelaksanaannya, itulah yang kini sedang digodok. Dan bila memang bukan pangkat atau masa kerja yang jadi kriteria juga bukan doktor atau belum doktor, akan banyak jalan menuju profesor. P.S. Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus