Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyoal Kegunaan DPA

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBAGA negara yang satu ini seperti angin: terasa ada, tapi tak jelas sosoknya. Ia juga mirip pohon kering: hidup segan, mati enggan. Citra DPA yang terkesan low profile ini sempat dipertanyakan karena di bawah kepemimpinan A.A. Baramuli, DPA—atau tepatnya Baramuli sendiri—sangat aktif dan acap bertindak melampaui wewenang yang dimiliki sebuah badan penasihat. Hal ini berbeda dengan citra dan kinerja DPA semasa Orde Baru. Pada masa itu, ke-45 anggota DPA cenderung pasif.

Mengapa mereka begitu? Hal ini mungkin erat kaitannya dengan penunjukan anggota DPA sendiri, yang lebih merupakan balas jasa bagi sejumlah pejabat tinggi yang sudah pensiun. Maka, jadilah DPA terminal bagi bekas orang-orang penting yang ingin tetap dianggap penting. Atau ingin tetap bisa berperan, seperti yang nyata-nyata terlihat ketika A.A. Baramuli memegang tampuk kekuasaan DPA, sementara B.J. Habibie memimpin lembaga kepresidenan.

Berbeda dari para pendahulunya, Baramuli berbicara vokal tentang penggantian pejabat tertentu, padahal hal itu berada di luar wewenangnya. Kebiasaan mencampuri urusan lembaga negara lainnya membuat bekas ketua DPA itu dicurigai terlibat kolusi. Bahkan ada indikasi kuat, Baramuli terlibat skandal Bank Bali.

Itu sebabnya, banyak pihak berpendapat, sebaiknya DPA dibubarkan saja. Ahli hukum tata negara di Jakarta, Harun Alrasid, telah berkali-kali mengutarakannya. "Tanpa DPA, pemerintah bisa terus berjalan. Bahkan jadi efisien," ujar Harun. Di Amerika dan Australia, DPA juga tak ada.

Bila presiden membutuhkan penasihat, menurut Harun, tinggal mengangkat pejabat ad hoc. Hal itu sudah dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid, lewat penasihatnya di bidang ekonomi, politik, hukum, dan militer. Tak kurang menarik adalah upaya Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang menyiapkan amandemen UUD 1945 tahap kedua, termasuk Pasal 16 tentang DPA. Dari situ terungkap, tak semua anggota BP MPR menyetujui penghapusan DPA.

Ketua DPA Achmad Tirtosudiro termasuk yang tak berharap DPA dibubarkan. Sebab, "DPA merupakan salah satu pendukung penting bagi terciptanya good governance," ucapnya. Tinggal masalah fungsi dan mutu anggotanya saja yang ditingkatkan. Tapi, kalau perlu, anggota DPA yang sekarang juga bisa diganti, seperti pernah dikemukakan oleh Presiden Abdurrahman. Dia lalu memberi contoh bagaimana DPA memberi usul dan nasihat, di antaranya soal pemisahan kepolisian dari TNI dan Timor Timur (pada masa Habibie). Atau memberi masukan pada Gus Dur tentang masalah Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irianjaya.

Bagir Manan, ahli hukum tata negara di Bandung, berpendapat, dengan ditingkatkannya fungsi DPA dan mutu aggotanya, lembaga itu bisa membantu agar berbagai keputusan presiden digariskan secara komprehensif. Hal itu berlaku di Belanda dan Prancis, ataupun di Indonesia, ketika DPA diketuai oleh Wilopo.

Jadi, DPA dihapuskan atau dipertahankan? Ternyata, nasib lembaga penasihat itu baru bisa ditentukan lewat sidang MPR pada 18 Agustus 2000. Berarti, ada waktu enam bulan bagi DPA untuk merumuskan kembali jangkauan tugas dan lingkup kerjanya, seraya meningkatkan kredibilitasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus