Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEPAS rapat kabinet, Kamis dua pekan lalu, wajah Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto tampak ditekuk. Tawa lebar yang selama ini menjadi ciri khasnya seperti ketinggalan entah di mana. Ia dingin dan tak acuh ketika para jurnalis menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.
Saat melangkah masuk ke dalam mobil dinasnya, Tasha, seorang koresponden The Washington Post, koran ternama asal Amerika Serikat, menyodorkan sepucuk amplop putih. "Pak, surat dari Ellen," katanya menyebut nama bosnya, Ellen Nakashima, kepala perwakilan The Post di Jakarta. Jenderal Endriartono hanya melirik melalui ekor matanya, "Apa itu?" Tasha mengulangi kalimatnya tadi. Air muka Endriartono sontak memerah. Sambil bersedekap dada ia menjawab dengan nada agak tinggi, "Kembalikan, saya nggak mau terima."
Tasha tak menyerah, "Apakah Ellen bisa bertemu Bapak?" Kali ini kemarahan perwira berbintang empat itu meluap sudah. Tasha didampratnya, "Saya tidak mau. Bilang sama Ellen, saya benar-benar marah. Pemberitaan itu tidak benar. Saya sudah cek ke Kedutaan Besar Amerika, dan mereka menyatakan tidak pernah memberikan informasi seperti yang ditulis Washington Post."
Tensi tinggi sang Panglima TNI bersumber pada sebuah berita yang diturunkan The Post edisi Minggu, 3 November lalu. Ditulis Ellen Nakashima dan Allan Sippres, artikel berjudul "Indonesia Military Allegedly Talked of Targeting Mine" itu bercerita tentang insiden Timika. Ditulis di situ, sebelum penyerangan yang menewaskan dua warga Amerika Serikat dan seorang penduduk lokal pada 31 Agustus lalu, ada pertemuan tertutup antara Jenderal Endriartono dan sejumlah pejabat militer. Mengutip sebuah laporan intelijen Amerika, menurut The Post, yang dibahas ketika itu adalah sebuah rencana keji: operasi militer terhadap pertambangan Freeport untuk mendiskreditkan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Konon, percakapan gawat itu bocor karena disadap intelijen Amerika Serikat dan Australia.
Jenderal Endriartono tak sekadar marah. Merasa difitnah, ia bertekad bulat membawa kasus ini ke meja hijau. Pekan lalu dua pengacara ternama, Trimoelja D. Soerjadi dan Frans Hendrawinata, telah ditunjuknya untuk menggugat The Post membayar ganti rugi dengan besaran tak alang kepalang: US$ 1 miliar atau Rp 9 triliun lebih dengan kurs sekarang. "Isi berita itu tidak benar. Tak pernah dan tak akan pernah ada suatu pembicaraan TNI merencanakan aksi di Freeport untuk sekadar mendiskreditkan OPM. Itu merendahkan martabat TNI," katanya kepada para juru warta di Markas Besar TNI, Cilangkap, Kamis lalu.
Menurut rencana, pada minggu ini tim pengacara terlebih dahulu akan melayangkan surat peringatan, menuntut The Post meminta maaf secara terbuka. Syaratnya: harus dimuat dengan porsi yang sama seperti artikel sebelumnya. "Kami tidak mau hanya permintaan maaf kecil-kecil di halaman dalam," kata Trimoelja, pengacara senior pembela Marsinah ini. Jika somasi tak digubris, barulah mereka akan maju menggugat.
Untuk membela kepentingannya, pihak The Post telah menunjuk pengacara yang tak kalah terpandang, Todung Mulya Lubis. "Kami akan mempelajari dulu semuanya secara mendalam," kata Todung, pengacara yang pernah memenangkan majalah Time ketika digugat keluarga Soeharto.
AT, Bernarda Rurit
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo