Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

(Tak) Cukup Opsir Lapangan

Komandan Jenderal Kopassus masuk daftar tersangka kasus Tanjung Priok. Benny Moerdani dan Try Sutrisno dipastikan tak tersentuh.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYANGKUT kasus pelanggaran hak asasi, para jenderal biasanya punya pernyataan yang sudah kita hafal di luar kepala: itu cuma kesalahan prajurit di lapangan. Tapi Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mulai mengubah pakem. Tak seperti kebanyakan pendahulunya, kini ia berkata, ”Kalau staf salah, saya akan bilang itu adalah salah saya. Tanggung jawab seharusnya terletak pada pimpinan.” Kalimat itu ia ucapkan menyangkut nasib yang baru menimpa Mayjen Sriyanto, Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus. Rabu kemarin, di gedung parlemen, nama Sriyanto diumumkan Jaksa Agung M.A. Rachman sebagai salah satu dari 14 tersangka kasus Tanjung Priok. Selain Sriyanto, disebut tiga nama lain: Mayjen Rudolf Butar-Butar, mantan Komandan Distrik Militer Jakarta Utara; Mayjen Purnawirawan Pranowo, bekas Kepala Polisi Militer Komando Daerah Militer V Jaya; dan Kapten Sutrisno Mascung, eks Komandan Regu Artileri Pertahanan Udara Priok. Mereka bakal dijerat dengan Undang Undang tentang Hak Asasi Manusia dengan tuduhan telah menyerang kelompok sipil secara sistematis. Di mata Endriartono, Sriyanto hanyalah prajurit yang menjalankan perintah atasan dan ”bukan pada posisi pengambil keputusan.” Ketika peristiwa Priok meletup, Kapten Sriyanto menjabat sebagai Perwira Seksi II Operasi Kodim Jakarta Utara. Dan Jenderal Endriartono dipersilakan masygul. Nama Benny Moerdani dan Try Sutrisno, Panglima Angkatan Bersenjata RI dan Panglima Kodam Jaya ketika itu, telah dipastikan tak tercantum dalam daftar. Padahal, sebelumnya, hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia nyata-nyata menunjuk Jenderal Benny dan Try sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini. Kepala Pusat Penerangan Hukum Barman Zahir menyatakan penyidikan Priok, seperti kasus Timor Timur dan banyak lainnya, hanya akan berhenti di level opsir lapangan. Alasannya, ”Itu tindakan spontan saat mereka diserang.” Selain keempat perwira itu, sepuluh tersangka lain besar kemungkinan juga ”cuma” prajurit anak buah Mascung—ketika itu berpangkat sersan dua—yang diperintah menembakkan timah panas ke kerumunan massa. ”Pangkat (tersangka) lain tidak lebih tinggi dari empat nama itu,” Barman memastikan. Ketika itu, regu Mascung berada di bawah komando Kapten Sriyanto. Ditemui Bernarda Rurit dari TEMPO, Sriyanto menolak berkomentar banyak. Ia hanya berkata, ”Waktu itu saya mendapat perintah dari Komandan Kodim untuk membantu Kepolisian Resor Jakarta Utara, yang akan diserang massa pimpinan Pak Amir Biki.” Adapun Try dua pekan lalu telah menyatakan kesiapannya menjalani jalur hukum, kendati ia lalu minta jaksa mempertimbangkan islah (kesepakatan perdamaian)-nya dengan beberapa keluarga korban pada Maret tahun lalu. Begitulah. Ketika itu, 12 September 1984, warga Priok yang marah menyerbu markas Kodim Jakarta Utara untuk membebaskan rekan mereka yang ditahan setelah membakar sepeda Sersan Hermanu. Dua hari sebelumnya, bintara pembina desa itu merobek-robek pamflet anjuran berjilbab yang ditempel di sebuah musala. Delapan belas tahun berlalu dan tabir gelap kerusuhan Priok belum juga disingkap tuntas. Angka korban pun masih misterius. Banyak yang percaya pada tragedi berdarah ini tak kurang dari 100 nyawa tewas ”disapu” tentara bersenjata lengkap. Taksiran ini jauh di atas angka resmi yang pernah dilansir petinggi militer. Seperti pernah ditulis majalah ini, dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Markas Besar ABRI 14 jam seusai peristiwa, Jenderal Benny menyatakan ”sembilan meninggal, 53 luka-luka.” Investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyodorkan angka lebih besar: 24 meninggal, 54 luka berat dan ringan. Ini baru jumlah korban yang bisa diklarifikasi dari sekian kuburan. Soalnya, data tak tersedia. Catatan medis di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, tempat para korban dibawa, telah dimusnahkan dengan alasan sudah berumur lima tahun. Dan tinggallah keluarga korban yang kecewa. Boddi Biki, kakak Amir Biki, tokoh Priok yang tewas dalam prahara itu, cuma menggeleng-gelengkan kepala, ”Yang benar saja. Mesti ada komandonya. Komando tertingginya ya Soeharto.” Ardi Bramantyo, Bagja Hidayat, Bernarda Rurit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus