JAKSA Agung M.A. Rachman kini memegang teguh sebuah pepatah tua: diam adalah emas. Rabu pekan lalu, ketika dicecar berbagai pertanyaan oleh anggota parlemen menyangkut misteri kekayaannya, termasuk cek miliaran rupiah dari sejumlah taipan yang sedang beperkara di Gedung Bundar, ia cuma lama tercenung dan meminta Dewan menanyakannya langsung ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. Usai sidang, ditanya wartawan ihwal cek miliaran rupiahnya dari sejumlah taipan itu, ia baru menjawab agak panjang, "Dengan ini saya menyangkal. Tanya saja sama Sjamsul. Saya sedang puasa."
Rachman memang harus berhemat kata. Tiap kali ia berdalih, tiap kali pula tanda tanya semakin besar. Terakhir, misalnya, ia malah mengaku deposito Rp 800 juta miliknya berasal dari arisan pejabat untuk menolong pengungsi asal Madura. Apalagi, kini kasusnya di Komisi Pemeriksa telah masuk pemeriksaan khusus, yang akan menelisik berbagai dugaan korupsi di balik kekayaannya. Dan di tahap ini, kabar ihwal cek gelapnya itu jelas bisa berbuntut gawat. Jika benar, sang Jaksa Agung bisa didakwa menerima suap.
Sebagaimana telah ditulis majalah ini minggu lalu, sejumlah anggota Dewan terang-terangan mengaku: pernah melihat dengan mata kepala sendiri berlembar-lembar salinan cek senilai total kurang lebih Rp 7 miliar yang diperuntukkan bagi Rachman. Bukan sembarang cek, kertas berharga itu diteken sejumlah taipan beken semacam Sjamsul Nursalim dan Johannes Kotjo. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk melicinkan perkara mereka di kejaksaan. Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan Julius Usman, salah satu yang pernah melihatnya, cek itu ditunjukkan kepada mereka oleh Kito Irkhamni, mantan tangan kanan dan "bendahara" Rachman. "Tertulis jelas ditujukan kepada M.A. Rachman," kata Julius.
Sayangnya, Julius mengaku tak memegang barang bukti penting itu. Dia juga mengaku kesulitan mengontak Kito. Jaksa yang dulu nyaring "bernyanyi" tentang harta bekas bosnya itu kini memang bungkam seribu bahasa. Berulang kali TEMPO mencoba mengontak telepon genggamnya, tapi tak pernah diangkat. Didatangi di rumahnya, ia tak mau keluar menemui. Pesan yang ditinggalkan juga tidak berbalas.
Yang ramai justru bantahan dari para pengusaha yang disebut-sebut telah menyelipkan cek di saku Rachman. Sjamsul Nursalim, misalnya. Taipan pengutang Rp 28,4 triliun duit negara yang sedang "sakit" di Singapura ini telak-telak menyangkal. Pengacaranya, Heri Hertiawan, mengatakan kliennya tak pernah mengirim cek untuk Rachman. Heri mengaku pernah menanyakan soal itu ke Boyke Gozali, kerabat Sjamsul, dan dijawab, "Soal cek itu tak benar." Sangkalan serupa juga datang dari Johannes Kotjo. Pengusaha yang bekas eksekutif Grup Salim ini pun mengaku tak pernah menyetor duit ke Rachman, baik dalam bentuk cek maupun tunai. "Apalagi untuk menyuap. Tak pernah," ujarnya.
Tapi Petrus Selestinus, anggota Komisi Pemeriksa, meyakini soal cek itu bukan isapan jempol. Untuk memastikan kebenarannya, pekan ini dia berencana memanggil Kito. Menurut Petrus, jika cek itu benar ada, akan menjadi bukti penting untuk melacak asal-usul deposito Rachman yang pernah diakuinya datang dari "uang hasil konsultasi hukum dari sejumlah pengusaha Jawa Timur" itu.
Anggota Komisi Ombudsman, Teten Masduki, setuju dengan langkah Petrus. Di mata Teten, Komisi Pemeriksa belakangan tampak mulai lesu kurang darah, entah kenapa. Sampai minggu lalu belum juga ada tanda-tanda laporan final bakal segera dirampungkan. Padahal sebelumnya Ketua Komisi, Yusuf Syakir, telah mematok tenggat sebelum Lebaran ini. Mestinya, kata Teten lagi, Komisi juga harus bersikap tegas terhadap pihak mana pun yang menyimpan cek itu. Pasal pidananya jelas. Barang siapa menghambat pemeriksaan bisa dijerat ancaman hukuman lima tahun penjara, "Termasuk mereka yang menyembunyikan alat bukti seperti salinan cek itu."
Nezar Patria, Ardi Bramantyo, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini