TM. Abdullah SH (41 tahun), pekerjaan terakhir Ketua Pengadilan
Negeri Sukabumi, awal bulan ini duduk di kursi terdakwa. Ia,
oleh Jaksa, diajuan sebagai tertuduh yang bertanggungjawab
dalam peristiwa penembakan di Cawang, Jakarta, yang menyebabkan
tewasnya Robert Glenn Jerry, bulan Agustus lalu. Tentu saja ia
bukan terdakwa istimewa (bukankah di hadapan hukum seorang hakim
juga warga masyarakat biasa?). Namun beberapa tatacara
Pengadilan Negeri Jakarta Utara Timur, yang dipimpin Bismar
Siregar SH, sepintas lalu mengesankan perlakuan Yang lain.
TMA masuk ke ruang sidang dengan dikawal para pembelanya, Adnan
Buyung Nasution SH, drs. Soemadji, Harjono Tjitrosubono SH dan
Moh. Assegaff SH. Ini berbeda dari lazimnya: biasanya terdakwa
masuk ruang sidang dikawal dan diserahkan kepada hakim oleh
petugas. Pembela, biasanya, telah duduk di kursi sambil menunggu
hakim membuka persidangan.
Tempat duduk terdakwa kali ini juga tidak tepat di tengah-tengah
antara jaksa dan pembela--ia duduk lebih dekat ke kursi pembela.
Dengan begitu terdakwa tampaknya lebih mudah bisik-bisik dengan
mereka.
Kelonggaran lain juga diberikan pengadilan. Sampai Buyung perlu
mengucapkan terima kasinnya: "Kami telah diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk membuat salinan berita acara." Ini
istimewa, walaupun itu sebenarnya tak lebih dari praktek
undang-undang yang masih dapat diberlakukan. Hanya, kelonggaran
Bismar "belum pernah terjadi dalam sidang pengadilan mana pun
juga," kata Buyung. Lihat saja contoh yang baru terjadi: Pembela
Yap merasa dipersulit sekedar menlpelajari berita cara - jangan
lagi memfotokopi segala - ketika mengurus terdakwa Sawito.
Tanpa Perbedaa Keras
Bahkan apa yang dituntut Yap secara keras, yaitu kemungkinan
hakim memeriksa saksi lebin dulu sebelum mengorek keterangan
dari mulut terdakwa (sesuai dengan fasal HIR 289), oleh Bismar
ditawarkan kepada TMA. Tapi Buyung minta cara lain "yang lebih
menguntungkan tertuduh". Setelah Jaksa selesai membacakan surat
tuduhan, Buyung minta agar TMA dibiarkan mengutarakan cerita
berupa versi lain dari tuduhan Jaksa. Ini pun Bismar tak
keberatan.
Pokoknya permulaan sidang, yang dihadiri banyak penonton dengan
ruang sidang yang terang (rupanya listrik baru masuk ke gedung
pengadilan di Jalan Jakarta Bypass), berjalan tanpa perbedaan
pendapat yang keras antara Hakim, Jaksa dan Pembela. Hanya
Pembela minta pengadilan berjalan lurus. Jika TMA dinyatakan
bersalah, kelak, harus melalui pembuktian yang sah dan
meyakinkam Begitu juga jika ia harus bebas. Pun bukan karena
Terdakwa seorang hakim. Agaknya hal itu perlu diperlukakan
Buyung, berhubung selama ini, katanya, telah terjadi trial by
the press. Jadinya "masyarakat sudah berprasangka."
Apa yang diberitakan pers sebenarnya tak berbeda dengan apa yang
dituduhkan Jaksa Soeyitno SH sekarang ini: TMA dituduh telah
melakukan pembunuhan, setidaknya penganiayaan berat atau
kealpaan yang membuat Robert tewas.
Malam, jam 22.00, 28 Agustus lalu, TMA berada di Jalan SMA XIV
Cawang. Ia dan dua orang temannya baru saja mengunjungi keluarga
di sana. TMA duduk di belakang stir mobil. Sebelum berangkat
kelihatan tiga orang muda mendekati mobil: Robert sendiri, Ali
dan Moses Manuhutu. Robert berdiri dekat pintu depan. Ali
memukul-mukul kap mobil dengan kedua belah tangannya. Ketika
itulah sebuah tembakan ke atas, dari jendela depan mobil
meletus. Robert lari ke belakang mobil. Ali lari ke gang gelap.
Berikutnya, begitu tuduhan Jaksa, TMA keluar dan mendekati
Robert. Dan menembak lagi beberapa kali. Robert tewas dengan
cidera di dahi, perut dan kaki.
Tertuduh menolak semua dakwaan Jaksa. "Tidak benar sama sekali
dan saya sangkal semuanya," kata TMA. Dia bilang, sebelum ia
sampai ke mobilnya ia sudah lebih dulu mendengar tiga kali
letusan. Ia juga melihat seorang pemuda memukul-mukul kap mobil
dan tiga orang lainnya menari-nari di sebelah kanannya. "Mereka
kelihatannya mabuk. Kalau tak mabuk, ya mungkin tak waras."
Tapi, katanya, ia tak menginginkan keributan. Ia segera masuk ke
mobil dan duduk di belakang stir. Terus saja berangkat. "Tak ada
sesuatu yang mencurigakan," katanya.
Tetapi Moses Manuhutu, 23, menunjuk TMA sebagai penembak
temannya, Robert Jerry. Dari mana saksi tahu? "Meskipun
remang-remang saya dapat mengenali ciri-cirinya," katanya.
"Dahinya agak lebar, rambutnya agak tinggidan kulitnya putih
seperti Tertuduh . . ." Sebelum peristiwa terjadi, katanya pula,
mereka baru saja pulang minum. Masih mabuk. Namun begitu ia
masih ingat: " . . . Saya melihat kilatan api dan mendengar
tembakan dari orang yang duduk di belakang stir." Ia juga merasa
melihat TMA keluar dari mobil. Menembak Robert Jerry. "Saya juga
melihat Jerry menyikut dengan tangan kirinya."
Saksi Ali, 23, malam itu memang mabuk. Begitu kesaksiannya.
Sebelum sampai ke mobil TMA ia sudah memukul tukang becak, juga
pemuda lain yang berdiri tak jauh dari mobil. Dan ia juga yang
memukul-mukul kap mobil. Ia kabur ketika mendengar bunyi
tembakan "dari arah mobil". Dan jarak 60 meter dari mobil, dalam
larinya itu, ia mengaku ada mendengar tiga kali tembakan
berturut-turut. Ia tak tahu pasti siapa yang menembak.
Cukup Memusingkan
Keterangan dua saksi berikutnya, Muhammad Zein dan Said Ali,
cukup memusingkan pengadilan. Mereka mengingkari keterangan yang
pernah diberitakan dalam pemeriksaan pendahuluan. Muhammad Zein,
yang berada bersama TMA dan Said Ali ketika peristiwa penembakan
terjadi, mula-mula tegas menyatakan: TMA-lah yang menembak
Robert Jerry. Sebab waktu itu terjadi keributan kecil. Salah
seorang pemuda yang mabuk minta rokok. TMA tak memberikannya.
Yang minta marah. Lalu ia nekad memegang kepala TMA. Yang
kepalanya dipegang tiba-tiba menembak, ke atas, sekali. Terus
keluar mobil. Menembak ke atas sekali lagi.
Namun di muka hakim keteranan tersebut di atas dicabut
lembali. Dia hanya bilang: telah mendengar suara tembakan, tiga
kali, sebelum ia sampai ke mobil -- ketika masih berjalan di
gang. Begitu juga keterangan Said Ali.
Lalu keterangannya di depan pemeriksa yang terdahulu? Ceritanya
begini. Keterangan salah seorang saksi, dalam pemeriksaan
pendahuluan, rupanya direkam dengan pita rekaman. Saksi
berikutnya diperiksa, dumintai keterangan, dan diakurkan dengan
keterangan saksi terdahulu. Dengan cara begitu, menurut saksi,
mereka memang tak dipaksa mengakui sesuatu keterangan. Tapi jadi
terpaksa! katanya.
Pembuktian belum selesai. Namun, yang juga istimewa agaknya,
sidang berjalan secara maraton. Penonton padat. Cuma pengadilan
tampaknya sangat berhati-hati. Pengawal cukup ketat. Apalagi,
dalam sidang pertama, ada suara-suara yang sumbang dari
sementara penonton: "Kalau Hakim TMA bebas, pembela dan hakim
yang mengadili kita sikat!" Bismar tenang: "Pengadilan tidak
akan terpengaruh suara dari luar."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini