Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukan Karena Seorang Hakim ...

Tm abdullah sh, 41, ketua pengadilan negeri sukabumi dituduh telah menembak mati robert glenn jerry, seorang pemabuk. 2 orang saksi yang diajukan sedang dalam keadaan mabuk ketika terjadi penembakan. (hk)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Bukan Karena Seorang Hakim ...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TM. Abdullah SH (41 tahun), pekerjaan terakhir Ketua Pengadilan Negeri Sukabumi, awal bulan ini duduk di kursi terdakwa. Ia, oleh Jaksa, diajuan sebagai tertuduh yang bertanggungjawab dalam peristiwa penembakan di Cawang, Jakarta, yang menyebabkan tewasnya Robert Glenn Jerry, bulan Agustus lalu. Tentu saja ia bukan terdakwa istimewa (bukankah di hadapan hukum seorang hakim juga warga masyarakat biasa?). Namun beberapa tatacara Pengadilan Negeri Jakarta Utara Timur, yang dipimpin Bismar Siregar SH, sepintas lalu mengesankan perlakuan Yang lain. TMA masuk ke ruang sidang dengan dikawal para pembelanya, Adnan Buyung Nasution SH, drs. Soemadji, Harjono Tjitrosubono SH dan Moh. Assegaff SH. Ini berbeda dari lazimnya: biasanya terdakwa masuk ruang sidang dikawal dan diserahkan kepada hakim oleh petugas. Pembela, biasanya, telah duduk di kursi sambil menunggu hakim membuka persidangan. Tempat duduk terdakwa kali ini juga tidak tepat di tengah-tengah antara jaksa dan pembela--ia duduk lebih dekat ke kursi pembela. Dengan begitu terdakwa tampaknya lebih mudah bisik-bisik dengan mereka. Kelonggaran lain juga diberikan pengadilan. Sampai Buyung perlu mengucapkan terima kasinnya: "Kami telah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membuat salinan berita acara." Ini istimewa, walaupun itu sebenarnya tak lebih dari praktek undang-undang yang masih dapat diberlakukan. Hanya, kelonggaran Bismar "belum pernah terjadi dalam sidang pengadilan mana pun juga," kata Buyung. Lihat saja contoh yang baru terjadi: Pembela Yap merasa dipersulit sekedar menlpelajari berita cara - jangan lagi memfotokopi segala - ketika mengurus terdakwa Sawito. Tanpa Perbedaa Keras Bahkan apa yang dituntut Yap secara keras, yaitu kemungkinan hakim memeriksa saksi lebin dulu sebelum mengorek keterangan dari mulut terdakwa (sesuai dengan fasal HIR 289), oleh Bismar ditawarkan kepada TMA. Tapi Buyung minta cara lain "yang lebih menguntungkan tertuduh". Setelah Jaksa selesai membacakan surat tuduhan, Buyung minta agar TMA dibiarkan mengutarakan cerita berupa versi lain dari tuduhan Jaksa. Ini pun Bismar tak keberatan. Pokoknya permulaan sidang, yang dihadiri banyak penonton dengan ruang sidang yang terang (rupanya listrik baru masuk ke gedung pengadilan di Jalan Jakarta Bypass), berjalan tanpa perbedaan pendapat yang keras antara Hakim, Jaksa dan Pembela. Hanya Pembela minta pengadilan berjalan lurus. Jika TMA dinyatakan bersalah, kelak, harus melalui pembuktian yang sah dan meyakinkam Begitu juga jika ia harus bebas. Pun bukan karena Terdakwa seorang hakim. Agaknya hal itu perlu diperlukakan Buyung, berhubung selama ini, katanya, telah terjadi trial by the press. Jadinya "masyarakat sudah berprasangka." Apa yang diberitakan pers sebenarnya tak berbeda dengan apa yang dituduhkan Jaksa Soeyitno SH sekarang ini: TMA dituduh telah melakukan pembunuhan, setidaknya penganiayaan berat atau kealpaan yang membuat Robert tewas. Malam, jam 22.00, 28 Agustus lalu, TMA berada di Jalan SMA XIV Cawang. Ia dan dua orang temannya baru saja mengunjungi keluarga di sana. TMA duduk di belakang stir mobil. Sebelum berangkat kelihatan tiga orang muda mendekati mobil: Robert sendiri, Ali dan Moses Manuhutu. Robert berdiri dekat pintu depan. Ali memukul-mukul kap mobil dengan kedua belah tangannya. Ketika itulah sebuah tembakan ke atas, dari jendela depan mobil meletus. Robert lari ke belakang mobil. Ali lari ke gang gelap. Berikutnya, begitu tuduhan Jaksa, TMA keluar dan mendekati Robert. Dan menembak lagi beberapa kali. Robert tewas dengan cidera di dahi, perut dan kaki. Tertuduh menolak semua dakwaan Jaksa. "Tidak benar sama sekali dan saya sangkal semuanya," kata TMA. Dia bilang, sebelum ia sampai ke mobilnya ia sudah lebih dulu mendengar tiga kali letusan. Ia juga melihat seorang pemuda memukul-mukul kap mobil dan tiga orang lainnya menari-nari di sebelah kanannya. "Mereka kelihatannya mabuk. Kalau tak mabuk, ya mungkin tak waras." Tapi, katanya, ia tak menginginkan keributan. Ia segera masuk ke mobil dan duduk di belakang stir. Terus saja berangkat. "Tak ada sesuatu yang mencurigakan," katanya. Tetapi Moses Manuhutu, 23, menunjuk TMA sebagai penembak temannya, Robert Jerry. Dari mana saksi tahu? "Meskipun remang-remang saya dapat mengenali ciri-cirinya," katanya. "Dahinya agak lebar, rambutnya agak tinggidan kulitnya putih seperti Tertuduh . . ." Sebelum peristiwa terjadi, katanya pula, mereka baru saja pulang minum. Masih mabuk. Namun begitu ia masih ingat: " . . . Saya melihat kilatan api dan mendengar tembakan dari orang yang duduk di belakang stir." Ia juga merasa melihat TMA keluar dari mobil. Menembak Robert Jerry. "Saya juga melihat Jerry menyikut dengan tangan kirinya." Saksi Ali, 23, malam itu memang mabuk. Begitu kesaksiannya. Sebelum sampai ke mobil TMA ia sudah memukul tukang becak, juga pemuda lain yang berdiri tak jauh dari mobil. Dan ia juga yang memukul-mukul kap mobil. Ia kabur ketika mendengar bunyi tembakan "dari arah mobil". Dan jarak 60 meter dari mobil, dalam larinya itu, ia mengaku ada mendengar tiga kali tembakan berturut-turut. Ia tak tahu pasti siapa yang menembak. Cukup Memusingkan Keterangan dua saksi berikutnya, Muhammad Zein dan Said Ali, cukup memusingkan pengadilan. Mereka mengingkari keterangan yang pernah diberitakan dalam pemeriksaan pendahuluan. Muhammad Zein, yang berada bersama TMA dan Said Ali ketika peristiwa penembakan terjadi, mula-mula tegas menyatakan: TMA-lah yang menembak Robert Jerry. Sebab waktu itu terjadi keributan kecil. Salah seorang pemuda yang mabuk minta rokok. TMA tak memberikannya. Yang minta marah. Lalu ia nekad memegang kepala TMA. Yang kepalanya dipegang tiba-tiba menembak, ke atas, sekali. Terus keluar mobil. Menembak ke atas sekali lagi. Namun di muka hakim keteranan tersebut di atas dicabut lembali. Dia hanya bilang: telah mendengar suara tembakan, tiga kali, sebelum ia sampai ke mobil -- ketika masih berjalan di gang. Begitu juga keterangan Said Ali. Lalu keterangannya di depan pemeriksa yang terdahulu? Ceritanya begini. Keterangan salah seorang saksi, dalam pemeriksaan pendahuluan, rupanya direkam dengan pita rekaman. Saksi berikutnya diperiksa, dumintai keterangan, dan diakurkan dengan keterangan saksi terdahulu. Dengan cara begitu, menurut saksi, mereka memang tak dipaksa mengakui sesuatu keterangan. Tapi jadi terpaksa! katanya. Pembuktian belum selesai. Namun, yang juga istimewa agaknya, sidang berjalan secara maraton. Penonton padat. Cuma pengadilan tampaknya sangat berhati-hati. Pengawal cukup ketat. Apalagi, dalam sidang pertama, ada suara-suara yang sumbang dari sementara penonton: "Kalau Hakim TMA bebas, pembela dan hakim yang mengadili kita sikat!" Bismar tenang: "Pengadilan tidak akan terpengaruh suara dari luar."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus