Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dengan Defisit Di Ambang Pintu

Rapbn 1978/1979 naik 13,6% dari thn 1977/1978. ekspor minyak akan berkurang karena konsumsi dalam negeri bertambah sedangkan produksi tetap. ekspor non-minyak hanya meningkat sedikit karena resesi dunia.(eb)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAIK, naik terus angkanya dari tahun ke tahun. Juga demikian untuk RAPBN 1978/79, seperti yang diampaikan Presiden Soeharto pada DPR minggu lalu mencapai Rp 4,8 trilyun lebih, yang berarti bertarnbah hampir Rp 580 milyar (13,6%) dari tahun anggaran sebelumnya. Sekali ini, sepcrti tahun-tahun sebelumnya, juga dijanjikan disiplin anggaran yang akan tetap berimbang. Tapi walaupun angkanya terus membengkak, kenaikan persentasenya makin mengecil (lihat tabel I). Bahkan 13,6% itu merupakan kenaikan tahunan yang terkecil dalam sejarah Repelita. Karena tingkat inflasi diharapkan dipertahankan sekitar 12b, kalau bisa, maka mlmkin kenaikan RAPBN 1978/79 itu menorong ekonomi supaya masih bertumbuh dan tidak "dimakan" inflasi (lihat tabel III). Namun ia mencerminkan bahwa keadaan ekonomi Indonesia tidak begitu cerah pada tahun berikutnya. Kemampuan pemedntah untuk meningkatkan, baik penerimaan maupun pengeluarannya, akan menurun dari tahun ini. Hampir di semua mata anggaran penerimaan, tingkat pertambahannya lebih kecil dibanding tingkat pertambahan tahun fiskal sekarang. Ini menyebabkan pemerintah sangat membatasi belanja rutin, apalagi karena tuntutan untuk meningkatkan belanja pembangunan makin mendesak. Masih Alot Penerimaan dari pajak perseroan minyak, fokus RAPBN setiap tahun, diperkirakan hanya akan mencapai Rp 2607 milyar, hanya naik 6% dari anggaran sekarang, sesudah sebelumnya meningkat 20%. Angka tersebut tidak memperhitungkan kenaikan harga minyak 5% seperti yang aituntut Indonesia pada sidang OPEC di Caracas. Maka Presiden dalam pengantarnya menyatakan bahwa penerimaan tersebut bisa lebih besar "sekiranya harga mjnyak bisa naik." Penerirnaan minyak yang hanya akan bertambah Rp 120 milyar, atau hanya sepertiga kenaikan tahun sebelumnya, jelas terutama disebabkan berkurangnya volume minyak yang bisa diekspor. Direktur Utama Pertamina Piet Haryono pernah mengatakan, akibat berkurannya kegiatan eksplorasi pada 1975-197 "janganjangan produksi minyak Indonesia akan turun pada 4 atau 5 tahun mendatang." Piet tak usah menunggu sampai 4 tahun, karena tahun depan pun produksi minyak Indonesia mungkin tak akan bertarnbah untuk bisa meningkatkan ekspor. Dengan konsumsi minyak dalam negeri yang naik dengan 10% per tahun jelas jumlah yang tersisa untuk ekspor akan terbatas. Tahun 1977, produksi minyak Indonesia diperkirakan614 juta barrel, 11% lebih banyak dari produksi tahun sebelumnya, atau satu tingkat sedikit di atas kenaikan konsumsi dalam negeri. Di lain pihak penjualan minyak dalam negeri masih belum menutup ongkos produksi sekalipun pemerintah bisa dipastikan akan menaikkan harga minyak dalam negeri. Ini ternyata dari sedikitnya subsidi untuk minyak yang diperkirakan akan berjumlah Rp 59 milyar. Sementara itu ekspor mjnyak yang diperkirakan akan hanya mencapai US$ 7400 juta hanya mencerminkan kenaikan sebesar 4,8% dari tahun anggaran sekarang, sesudah sebelumnya meningkat dengan 11%. Kalau usul Indonesia di Caracas supaya harga naik dengan 5% diterima, maka dengan 500 juta barrel yang diekspor, penerimaan devisa dari minyak tentu bisa bertambah lagi dengan US$ 300 juta. Tapi kini tambahan yang diharapkan itu akan lenyap. Gambaran yang muram juga bisa dilihat dari proyeksi ekspor non-minyak. Pada 78/79 ekspor non-minyak diproyeksikan hanya akan naik dengan US$ 270 juta menjadi US$ 3570 juta. Pada tahun fiskal yang berjalan ini ekspor non-minyak akan bertambah dengan US$ 430 juta. Kenaikan yang lebih kecil tahun depan disebabkan usaha pemulihan resesi di negara industri masih alot, yang membatasi permintaan akan bahanbahan mentah. Sementara itu harga komoditi utama ekspor Indonesia seperti karet, kayu dan kopi sudah melewati zaman keemasannya. Harga bahan-bahan tersebut akan stabil, bahkan kayu sudah mengalami harga yang lebih buruk. Mencicil Hutang Sekalipun demikian, neraca pembayaran Indonesia akan memperlihatkan suatu surplus lagi walaupun surplusnya sudah menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada RAPBN 78/79 surplus neraca pembayaran akan berjumlah US$ 358 juta dibanding US$ 835 juta pada tahun anggaran sekarang dan US$ 1 milyar pada 76/77. Surplus yang terjadi tahun depan disebabkan adanya surplus pada rekening modal dengan adanya bantuan luar negeri sebesar US$ 2220 juta. Rekening pembayaran hutang jelas akan bertambah di masa mendatang ketika hutang pemerintah yang jatuh waktu makin bertambah. Pada RAPBN 78/79 pembayaran hutang naik dari US$520 juta menjadi US$780 juta atau 7% penerimaan ekspor Jumlah pembayaran hutang ini pada dua tahun anggaran sebelumnya adalah masing-masing 1,8% dan 5% dari ekspor. Juga terlihat pada pos anggaran rutin, bahwa pemhayaran cicilan hutang luaf negeri dan bunganya naik dengan Rp 116 milyar atau 50% di atas jumlah pada anggaran sebelumnya. Sekalipun RAPBN 78/79 nampaknya suram, pada segi pembelanjaan ada perbaikan kwalitatif (lihat tabel III). Anggaran belanja pemballgunan akan bertambah dengan 13,270 dibanding dengan anggaran sekarang yang haya naik dengan 5,5%. RAPBN 78/79, merupakan tahun kedua berturut-turdengan belanja pembangunannya, yang melebihi pengeluaran rutin. Namun pada pengeluaran rutin tampak berkurang kemampuan pemerintah untuk menamhahnya. Misalnya untuk gaji dan pensiun pegawai negeri jumlahnya akan menjadi Rp 797 milyar, hanya naik 20%. Padahal pada lun anggaran sekarang gaji pegawai dan pensiun melonjak dengan 58%. Banyak yang berpendapat karena fiskal 1977/78 yang sedang berjalan ini merupakan tahun pemilihan umum, maka kenaikan gaji yang besar itu sebenarnya merupakan jumlah demi pemilu. Karena tahun pemilu pulalah barangkali subsidi untuk daerah otonom ditambah dengan Rp 145 milyar pada tahun anggaran yang lalu. Tapi untuk RAPBN 78/79 pemerintah hanya perlu menambahnya dengan Rp 60 milyar saja. Pintu Perkembangan lain yang agak menyolok adalah aliran modal swasta dari luar negerihanya akan berjumlah US$37 juta dibanding US$319 juta pada anggaran sekarang. Kecilnya pemasukan ini mungkin disebabkan minat modal asing yang makin berkurang dengan masih adanya resesi di samping pengaturan yang makin ketat oleh pemerintah sendiri. Atau juga disebabkan makin besar repatriasi keuntungan keluar negeri dari modal yang sudah ditanam di sini beberapa tahun sebelumnya hingga memperkecil balans yang masuk pada neraca pembayaran. Yang menjadi masalah adalah seandainya sasaran penerimaan tak tercapai sedangkan pemerintah tak bisa mengurangi anggaran pengeluarannya, maka suatu defisit akan terjadi pada APBN. Dengan makjn besarnya aliran kredit perbankan tahun depan sesudah diturunkannya suku bunga kredit, maka suatu defisit anggaran belanja akan menambah tekanan inflasi. Kalau yang menjadi prioritas bagi pemerintah adalah stabilitas, maka suatu tindakan pengetatan bisa diadakan kembali dengan risiko mengerem pertumbuhan laju ekonomi. Defisit itu, walaupun pemerintah cenderung mencegahnya, akan tetap di ambang pintu terutama karena impor beras demikian banyak menyedot devisa. Jika dalam tahun fiskal sekarang impor beras direncanakan mencapai 2,4 juta ton, maka pada 1978/79, menurut satu pejabat ekonomi, jumlah impor pangan itu akan tetap besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus