NAIK, naik terus angkanya dari tahun ke tahun. Juga demikian
untuk RAPBN 1978/79, seperti yang diampaikan Presiden Soeharto
pada DPR minggu lalu mencapai Rp 4,8 trilyun lebih, yang berarti
bertarnbah hampir Rp 580 milyar (13,6%) dari tahun anggaran
sebelumnya. Sekali ini, sepcrti tahun-tahun sebelumnya, juga
dijanjikan disiplin anggaran yang akan tetap berimbang.
Tapi walaupun angkanya terus membengkak, kenaikan persentasenya
makin mengecil (lihat tabel I). Bahkan 13,6% itu merupakan
kenaikan tahunan yang terkecil dalam sejarah Repelita. Karena
tingkat inflasi diharapkan dipertahankan sekitar 12b, kalau
bisa, maka mlmkin kenaikan RAPBN 1978/79 itu menorong ekonomi
supaya masih bertumbuh dan tidak "dimakan" inflasi (lihat tabel
III). Namun ia mencerminkan bahwa keadaan ekonomi Indonesia
tidak begitu cerah pada tahun berikutnya.
Kemampuan pemedntah untuk meningkatkan, baik penerimaan maupun
pengeluarannya, akan menurun dari tahun ini. Hampir di semua
mata anggaran penerimaan, tingkat pertambahannya lebih kecil
dibanding tingkat pertambahan tahun fiskal sekarang. Ini
menyebabkan pemerintah sangat membatasi belanja rutin, apalagi
karena tuntutan untuk meningkatkan belanja pembangunan makin
mendesak.
Masih Alot
Penerimaan dari pajak perseroan minyak, fokus RAPBN setiap
tahun, diperkirakan hanya akan mencapai Rp 2607 milyar, hanya
naik 6% dari anggaran sekarang, sesudah sebelumnya meningkat
20%. Angka tersebut tidak memperhitungkan kenaikan harga minyak
5% seperti yang aituntut Indonesia pada sidang OPEC di Caracas.
Maka Presiden dalam pengantarnya menyatakan bahwa penerimaan
tersebut bisa lebih besar "sekiranya harga mjnyak bisa naik."
Penerirnaan minyak yang hanya akan bertambah Rp 120 milyar, atau
hanya sepertiga kenaikan tahun sebelumnya, jelas terutama
disebabkan berkurangnya volume minyak yang bisa diekspor.
Direktur Utama Pertamina Piet Haryono pernah mengatakan, akibat
berkurannya kegiatan eksplorasi pada 1975-197 "janganjangan
produksi minyak Indonesia akan turun pada 4 atau 5 tahun
mendatang." Piet tak usah menunggu sampai 4 tahun, karena tahun
depan pun produksi minyak Indonesia mungkin tak akan bertarnbah
untuk bisa meningkatkan ekspor.
Dengan konsumsi minyak dalam negeri yang naik dengan 10% per
tahun jelas jumlah yang tersisa untuk ekspor akan terbatas.
Tahun 1977, produksi minyak Indonesia diperkirakan614 juta
barrel, 11% lebih banyak dari produksi tahun sebelumnya, atau
satu tingkat sedikit di atas kenaikan konsumsi dalam negeri. Di
lain pihak penjualan minyak dalam negeri masih belum menutup
ongkos produksi sekalipun pemerintah bisa dipastikan akan
menaikkan harga minyak dalam negeri. Ini ternyata dari
sedikitnya subsidi untuk minyak yang diperkirakan akan berjumlah
Rp 59 milyar.
Sementara itu ekspor mjnyak yang diperkirakan akan hanya
mencapai US$ 7400 juta hanya mencerminkan kenaikan sebesar 4,8%
dari tahun anggaran sekarang, sesudah sebelumnya meningkat
dengan 11%. Kalau usul Indonesia di Caracas supaya harga naik
dengan 5% diterima, maka dengan 500 juta barrel yang diekspor,
penerimaan devisa dari minyak tentu bisa bertambah lagi dengan
US$ 300 juta. Tapi kini tambahan yang diharapkan itu akan
lenyap.
Gambaran yang muram juga bisa dilihat dari proyeksi ekspor
non-minyak. Pada 78/79 ekspor non-minyak diproyeksikan hanya
akan naik dengan US$ 270 juta menjadi US$ 3570 juta. Pada tahun
fiskal yang berjalan ini ekspor non-minyak akan bertambah dengan
US$ 430 juta. Kenaikan yang lebih kecil tahun depan disebabkan
usaha pemulihan resesi di negara industri masih alot, yang
membatasi permintaan akan bahanbahan mentah. Sementara itu harga
komoditi utama ekspor Indonesia seperti karet, kayu dan kopi
sudah melewati zaman keemasannya. Harga bahan-bahan tersebut
akan stabil, bahkan kayu sudah mengalami harga yang lebih buruk.
Mencicil Hutang
Sekalipun demikian, neraca pembayaran Indonesia akan
memperlihatkan suatu surplus lagi walaupun surplusnya sudah
menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada RAPBN 78/79
surplus neraca pembayaran akan berjumlah US$ 358 juta dibanding
US$ 835 juta pada tahun anggaran sekarang dan US$ 1 milyar pada
76/77. Surplus yang terjadi tahun depan disebabkan adanya
surplus pada rekening modal dengan adanya bantuan luar negeri
sebesar US$ 2220 juta.
Rekening pembayaran hutang jelas akan bertambah di masa
mendatang ketika hutang pemerintah yang jatuh waktu makin
bertambah. Pada RAPBN 78/79 pembayaran hutang naik dari US$520
juta menjadi US$780 juta atau 7% penerimaan ekspor Jumlah
pembayaran hutang ini pada dua tahun anggaran sebelumnya adalah
masing-masing 1,8% dan 5% dari ekspor. Juga terlihat pada pos
anggaran rutin, bahwa pemhayaran cicilan hutang luaf negeri dan
bunganya naik dengan Rp 116 milyar atau 50% di atas jumlah pada
anggaran sebelumnya.
Sekalipun RAPBN 78/79 nampaknya suram, pada segi pembelanjaan
ada perbaikan kwalitatif (lihat tabel III). Anggaran belanja
pemballgunan akan bertambah dengan 13,270 dibanding dengan
anggaran sekarang yang haya naik dengan 5,5%. RAPBN 78/79,
merupakan tahun kedua berturut-turdengan belanja
pembangunannya, yang melebihi pengeluaran rutin.
Namun pada pengeluaran rutin tampak berkurang kemampuan
pemerintah untuk menamhahnya. Misalnya untuk gaji dan pensiun
pegawai negeri jumlahnya akan menjadi Rp 797 milyar, hanya
naik 20%. Padahal pada lun anggaran sekarang gaji pegawai dan
pensiun melonjak dengan 58%. Banyak yang berpendapat karena
fiskal 1977/78 yang sedang berjalan ini merupakan tahun
pemilihan umum, maka kenaikan gaji yang besar itu sebenarnya
merupakan jumlah demi pemilu. Karena tahun pemilu pulalah
barangkali subsidi untuk daerah otonom ditambah dengan Rp 145
milyar pada tahun anggaran yang lalu. Tapi untuk RAPBN 78/79
pemerintah hanya perlu menambahnya dengan Rp 60 milyar saja.
Pintu
Perkembangan lain yang agak menyolok adalah aliran modal swasta
dari luar negerihanya akan berjumlah US$37 juta dibanding US$319
juta pada anggaran sekarang. Kecilnya pemasukan ini mungkin
disebabkan minat modal asing yang makin berkurang dengan masih
adanya resesi di samping pengaturan yang makin ketat oleh
pemerintah sendiri. Atau juga disebabkan makin besar repatriasi
keuntungan keluar negeri dari modal yang sudah ditanam di sini
beberapa tahun sebelumnya hingga memperkecil balans yang masuk
pada neraca pembayaran.
Yang menjadi masalah adalah seandainya sasaran penerimaan tak
tercapai sedangkan pemerintah tak bisa mengurangi anggaran
pengeluarannya, maka suatu defisit akan terjadi pada APBN.
Dengan makjn besarnya aliran kredit perbankan tahun depan
sesudah diturunkannya suku bunga kredit, maka suatu defisit
anggaran belanja akan menambah tekanan inflasi. Kalau yang
menjadi prioritas bagi pemerintah adalah stabilitas, maka suatu
tindakan pengetatan bisa diadakan kembali dengan risiko mengerem
pertumbuhan laju ekonomi.
Defisit itu, walaupun pemerintah cenderung mencegahnya, akan
tetap di ambang pintu terutama karena impor beras demikian
banyak menyedot devisa. Jika dalam tahun fiskal sekarang impor
beras direncanakan mencapai 2,4 juta ton, maka pada 1978/79,
menurut satu pejabat ekonomi, jumlah impor pangan itu akan tetap
besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini