Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua puluh tiga nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi masuk radar Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka adalah bekas anggota Panitia Khusus Rancangan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang. Komisi mendeteksi mereka telah menerima fasilitas pelesiran dari pengembang proyek hunian mewah Meikarta di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Dalam dua pekan terakhir, penyidik KPK sudah memeriksa separuh dari anggota Pansus 19 ini. Sebagian dari mereka bahkan sudah mengembalikan duit jalan-jalan tersebut ke KPK dengan nilai total sekitar Rp 180 juta. “Pansus 19 memang menangani zona Meikarta,” ujar Cecep Noor, anggota DPRD Bekasi, setelah diperiksa penyidik KPK, Jumat pekan lalu. “Mereka yang pelesiran. Saya bukan anggota pansus tersebut, jadi tak ikut.” Politikus Partai Persatuan Pembangunan ini mengatakan salah satu materi pemeriksaan memang soal pelesiran anggota Dewan ke Thailand.
Berbarengan dengan pemeriksaan Cecep, penyidik komisi antikorupsi memeriksa Wakil Ketua DPRD Bekasi Jejen Sajuti. ”Memang ada yang pelesiran ke Thailand. Tapi saya tidak ikut,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.
Cecep Noor/TEMPO/IMAM SUKAMTO
Penyidik memeriksa keduanya sebagai saksi untuk tersangka Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin dalam kasus suap proyek Meikarta. Bersama delapan orang lain, politikus Partai Golkar ini digulung penyidik KPK pada pertengahan Oktober 2018. Operasi ini diawali penangkapan konsultan Lippo Group, Taryudi, tak lama setelah ia menyerahkan suap Sin$ 90 ribu kepada Kepala Bidang Tata Ruang Neneng Rahmi. Penyidik juga menyita duit Rp 23 juta dan Sin$ 90 ribu dari mobil Taryudi.
Pada hari yang sama, tim penyidik menangkap pegawai Lippo Group, Henry Jasmen, dan konsultan Lippo Group yang lain, Fitra Djaja Purnama, di Surabaya. Tim juga membekuk Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat M.B.J. Nahor, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Dewi Tisnawati, serta bekas Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Daryanto. Sehari berselang, penyidik menangkap Bupati Neneng dan Billy Sindoro, petinggi Lippo Group.
Henri Lumban Raja/TEMPO/IMAM SUKAMTO
Para pemberi suap itu kini tengah menjalani persidangan perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Adapun berkas perkara penerima suap masih dalam tahap penyidikan. Jumat pekan lalu, misalnya, penyidik memeriksa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebagai saksi Neneng Hasanah Yasin. Tjahjo diperiksa karena, menurut Neneng Hasanah, pernah meneleponnya agar membantu izin Meikarta. Tjahjo tak membantah soal ini. “Itu memang tugas saya,” ucapnya setelah diperiksa KPK.
Dari kesaksian para tersangka, KPK mendapat informasi besel juga mengalir ke DPRD Bekasi. Salah satunya untuk paket tur wisata ke Negeri Gajah Putih bersama keluarga bagi anggota Pansus 19. Paket wisata itu berlangsung tiga hari dua malam dengan akomodasi diduga ditanggung pengembang Meikarta. Nilai satu orang mencapai Rp 30-50 juta. “Paketnya meliputi tiket, akomodasi, dan uang saku,” ujar Febri Diansyah, juru bicara KPK.
Jejen Sajuti/TEMPO IMAM SUKAMTO
Adalah Neneng Rahmi yang pertama kali “bernyanyi” soal aliran suap ke Dewan di Bekasi. Saat diperiksa pada 29 November lalu, ia mengatakan pernah membantu biaya pelesiran anggota Dewan dan para sekretarisnya ke Thailand dengan dana lebih dari Rp 200 juta pada Mei atau Juni 2017.
Menurut Neneng Rahmi, tujuannya agar anggota Dewan mempercepat persetujuan penandatanganan berita acara kesepakatan peraturan daerah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi. “Duit itu dari Lippo (proyek Meikarta),” katanya kepada penyidik.
Neneng Rahmi kemudian melaporkan pemberian paket wisata itu kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin. Saat bersaksi untuk empat terdakwa pemberi suap Meikarta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Senin pekan lalu, Neneng Hasanah mengkonfirmasi bahwa Neneng Rahmi pernah menyampaikan soal ini kepadanya. “Waktu itu saya dengar anggota Dewan ke Thailand,” ujarnya. Dia mengaku tidak mengetahui detail jumlah uang dan sumbernya.
Bulan-bulan itu Dewan memang tengah membahas RDTR Kabupaten Bekasi. Panitia khusus ini sesungguhnya terbentuk pada awal April 2017. Satu bulan kemudian, mereka sepakat mengajukan rancangan RDTR ke provinsi. Dalam rancangan ini, Dewan sudah memasukkan rencana pembangunan area komersial Lippo Cikarang di Desa Cibatu, Desa Sukaresmi, dan Desa Serang, Cikarang Selatan. Area komersial ini tak lain proyek Meikarta.
Kanan-Kiri Sogokan
Menurut Neneng Rahmi, untuk memuluskan rancangan tersebut, ia tak hanya membiayai pelesiran Dewan ke Thailand. Kepada penyidik KPK, seperti terungkap dalam salinan dokumen persidangan yang diperoleh Tempo, dia mengaku pernah memberikan dana Rp 1 miliar untuk empat pemimpin DPRD Bekasi pada Mei 2017. Salah satu nama yang ia sebut adalah Jejen Sayuti. “Saya yang mengantar langsung uangnya kepada mereka,” ucapnya.
Neneng Rahmi juga mengungkapkan pernah memberi sejumlah anggota Dewan Bekasi tunjangan hari raya yang duitnya berasal dari pengembang proyek Meikarta. Nilai pemberiannya per orang bisa mencapai Rp 50 juta. Dimintai konfirmasi soal ini setelah menjadi saksi dalam persidangan empat terdakwa pemberi suap proyek Meikarta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Neneng Rahmi hanya tersenyum.
Ketika ditanyai ihwal kesaksian Neneng Rahmi mengenai tuduhan pimpinan dan anggota Dewan menerima duit Meikarta, Wakil Ketua DPRD Bekasi Jejen Sajuti enggan mengomentarinya. “Semua sudah saya jelaskan kepada penyidik,” katanya.
Duit-duit suap itu sampai ke Neneng Rahmi melalui sejumlah konsultan yang dipakai sebagai perantara dan pegawai Lippo sendiri. Ketika melakukan percakapan sesama mereka dan dengan pejabat pemerintah Bekasi, para perantara ini menggunakan sejumlah sandi. Misalnya, saat berkomunikasi dengan sesama perantara, mereka menyebut duit suap dengan sandi “Indomie”. Namun, saat membahas duit suap dengan pejabat Bekasi ataupun Dewan, sandi yang digunakan adalah “buku”. Makin tebal buku, menurut mereka, makin besar permintaan suap.
Henry Jasmen, salah satu pegawai Lippo yang bertugas membagi-bagikan duit, membenarkan adanya sandi-sandi khusus tersebut. Menurut pengacara Henry, Henri Lumban Raja, kliennya hanyalah korban pemerasan dari pejabat pemerintah daerah dan Dewan. “Kalau sistem satu pintu benar-benar berlaku, tidak mungkin sampai harus mengurus izin ke banyak dinas,” ujarnya. “Kalau terus seperti ini, pengusaha akan terus terbebani.”
Adalah Neneng Rahmi yang pertama kali “bernyanyi” soal aliran suap ke Dewan di Bekasi. Saat diperiksa pada 29 November lalu, ia mengatakan pernah membantu biaya pelesiran anggota Dewan dan para sekretarisnya ke Thailand dengan dana lebih dari Rp 200 juta pada Mei atau Juni 2017.
Selain mendekati anggota Dewan, menurut Neneng Rahmi, pihak Lippo Group mendekati bupati untuk memuluskan Rencana Detail Tata Ruang. Ini satu paket dengan pengesahan penerbitan izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT). Nilai suapnya mencapai Rp 10 miliar dalam empat-lima kali pemberian. Menurut Neneng Hasanah Yasin dalam persidangan, duit itu bagian dari Rp 20 miliar yang dijanjikan pengembang Meikarta. “Memang mereka sudah berjanji memberikan Rp 20 miliar. Salah satunya berkaitan dengan penerbitan IPPT,” kata Neneng Hasanah.
Untuk memuluskan Rencana Detail Tata Ruang, pihak Lippo tak hanya “mengamankan” pejabat dan anggota Dewan di Bekasi. Menurut Henry Jasmen saat diperiksa penyidik pada awal Desember lalu, ia pernah mengantar Rp 1 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk seorang kepala seksi di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jawa Barat pada November 2017. “Supaya rekomendasi dan persetujuan RDTR provinsi keluar,” ujarnya. Henri Lumban Raja tak menyangkal soal ini. “Semua sudah disampaikan kepada penyidik,” ucapnya.
Belakangan, nama Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa terseret dalam kasus ini. Menurut Neneng Rahmi dalam persidangan, Iwa meminta dana Rp 1 miliar kepadanya untuk memuluskan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi di tingkat pemerintah provinsi.
Duit yang berasal dari pengembang Meikarta itu, menurut Neneng Rahmi, diberikan kepada perantara Iwa pada Desember 2017. Kedua perantara itu adalah anggota Dewan Bekasi dan satu lagi anggota DPRD Jawa Barat. “Sekda provinsi dalam rangka bakal calon gubernur meminta Rp 1 miliar untuk proses RDTR,” katanya.
Iwa membantah tudingan tersebut. Dia mengatakan bersedia mengklarifikasi tuduhan tersebut di persidangan. “Apabila diperlukan, saya siap menjadi saksi,” -ujarnya.
Komisi antikorupsi akan mendalami keterangan saksi tentang pemberian uang kepada Dewan ataupun pejabat provinsi. Menurut Febri Diansyah, modus suap kasus ini terbilang rumit. “Karena menggunakan banyak perantara dan sandi percakapan yang kompleks,” katanya.
ANTON APRIANTO, AJI NUGROHO, IQBAL TAWAKAL, AHMAD FIKRI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo