Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Di Samarra

Di Samarra

25 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Di Samarra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

—buat Ging

Adalah seorang saudagar di Kota Bagdad yang menyuruh pelayannya berbelanja ke pasar, tapi tak lama kemudian pelayan itu kembali, pucat pasi dan gemetar.

Tuan, katanya kepada majikannya, tadi di pasar ada seorang perempuan yang mendesak-desak hamba dari belakang. Ketika hamba menengok, hamba lihat ia Maut. Ia menatap hamba dan menggerakkan tangannya mengancam hamba. Hamba takut. Tuan pinjamilah hamba seekor kuda; hamba akan menyingkir dari kota ini. Hamba akan ke Samarra, agar Maut tak bisa menemukan hamba.

Dan saudagar itu pun iba dan meminjamkan kudanya kepada pelayan yang ketakutan itu, yang dengan segera bergegas pergi, melesat cepat.

Segera sesudah itu, saudagar itu memutuskan datang ke pasar sendiri. Ia melihat Maut di sana, dan bertanya, mengapa pelayannya diancam. Maut membantah: “Aku bukan menggerakkan tanganku untuk mengancam. Aku begitu karena aku terkejut dan heran, mengapa ia di pasar itu, sementara aku punya janji untuk bertemu dengan dia di Samarra.”

 

Dongeng lama Mesopotamia ini dikisahkan kembali oleh pengarang Inggris, W. Somerset Maugham. Saya tak tahu mengapa dongeng itu hidup dari tahun ke tahun, menarik ataupun mengusik orang tiap kali. Adakah karena ia menyampaikan pesan bahwa kematian tak bisa dihindari dan orang harus menyerah, menyadari sia-sianya tiap ikhtiar mengelakkannya? Ataukah dongeng itu berharap kita menerima Maut sebagai kekuatan yang menakutkan dan licin dan suka mengecoh?

Maut, dalam dongeng itu, memang tak harus dipercaya. Di suatu zaman purba ketika perempuan cenderung diletakkan dalam posisi yang negatif—kita ingat Hawa, bukan Adam, yang disebut sebagai oknum pertama yang mengikuti bujukan Setan untuk memakan buah terlarang di surga—wajar jika Maut dalam dongeng itu dipersonifikasikan sebagai seorang perempuan. Sebagai perempuan, sulit dibayangkan Maut bisa membuat pelayan itu ketakutan hanya karena wajah yang dilihatnya di pasar itu tampak terkejut dan heran. Artinya, ia berdusta kepada saudagar yang baik hati itu. Ia mengatakan ia punya janji dengan si pelayan untuk bertemu dengan dia di Samarra, tapi kita tahu Maut tak pernah membuat janji sebelum mencabut nyawa. Ia mencegat.

Ajal sebagai sang pencegat—itulah yang digambarkan sajak Chairil Anwar, “Cintaku Jauh di Pulau”: di atas perahu, ketika menyeberangi selat, ketika laut menyenangkan dan perjalanan penuh semangat untuk menemui kekasih, mendadak Maut muncul:

Di air yang tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

 

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu yang bersama ‘kan merapuh!

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

 

Sajak itu memprotes: kematian adalah sebuah keputusan sepihak. Dalam sajaknya yang lain lagi, Chairil menyatakan bahwa “hidup hanya menunda kekalahan”. Kematian adalah saat manusia kalah. Jika hidup pada dasarnya berangkat menuju kematian, betapa sia-sianya.

Tentu tak sesederhana itu: hidup bukan “hanya menunda kekalahan”. Sajak “Cintaku Jauh di Pulau” juga menunjukkan, dalam perjalanan laut untuk menjumpai pacar—sebelum Ajal muncul—lanskap mengasyikkan (“air tenang, angin mendayu”) dan hati bergembira: ia sempat membawa oleh-oleh seraya hangat oleh harapan akan bertemu dengan orang yang dikasihi.

Dengan kata lain, hidup memang sebentar, tapi kefanaan bukan kutukan. Dalam ketidakabadian dunia, ada saat-saat yang sekejap, tapi intens, tak ternilai. Orang yang mengharapkan surga di hari kemudian seraya menista hidup hari ini tak mengaku bahwa bagi mereka Tuhan gagal sejak mula: Ia menciptakan dunia dan manusia yang hanya berharga untuk dimusnahkan.

Ada sebuah paradoks dalam Rubaiyat yang digubah Omar Khayyam di Persia di abad ke-11. Puisi termasyhur ini ditafsirkan sebagai penganjur gairah hidup, sambil menunjukkan betapa murungnya yang fana: karena hari ini hanya sebentar, dan besok kita tak akan ada lagi, mari berseru, carpe diem. Mari puaskan habis-habisan yang ada sekarang: sepotong roti, sebotol anggur, sejumlah puisi, pacar....

Tapi tak bisakah kita berdamai dengan Maut yang akan mencegat kita, Maut yang “memanggil dulu” sebelum kita sampai ke pulau?

Saya suka sebuah sajak Emily Dickinson, penyair perempuan dengan kuatren-kuatren yang lembut. Ia bersua Ajal yang ramah.

Because I could not stop for Death –

He kindly stopped for me –

The Carriage held but just Ourselves –

And Immortality

 


Dalam perjalananku yang tak bisa menunggunya, Maut datang dengan keretanya dan mengajakku naik, duduk berdua, bersama Keabadian....

 

Mungkin dongeng Mesopotamia yang saya kutip di atas perlu diubah: syahdan, di Samarra—di daerah y.a.d.—Ging, sahabat saya, sahabat kita, pergi, tanpa tubuhnya yang sakit, memasuki keheningan yang tak untuk dipahami. Ia meresap ke dalam istirahat yang penuh, di mana “fana” dan “abadi” tak dipikirkan lagi, tak penting lagi.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus