SIANG itu rumah Sastromiharjo di Jalan Kalimas, Cilacap, tampak
semarak. Kursi berderet-deret dan hiasan janur memeriahkan
suasana. Maklum, esok harinya akan ada pesta perkawinan. Anak
kelima Sastro, Rubiyanti alias Ubi, 20, akan dinikahkan dengan
seorang pemuda ganteng bernama Aan alias Jaka, 26. Undangan
sudah disebarkan dan penghulu pun sudah diwanti-wanti, dipesan
dengan sangat, agar tidak terlambat datang.
Tahu-tahu, datang seseorang membawa telegram: kedua calon
pengantin mendapat kecelakaan lalu lintas di daerah Kedunggede,
Kecamatan Lumbir, Banyumas. Nyonya Sastro kontan pingsan.
Suasana gembira surut menjadi murung. Apalagi, ketika tak lama
kemudian polisi datang. Petugas negara itu mengabarkan bahwa
yang terjadi sebenarnya bukan kecelakaan, melainkan pembunuhan.
Ubi dibunuh calon suaminya sendiri, karyawan di bagian
laboratorium Pertamina, Cilacap.
Pekan ini rencananya Aan akan disidangkan di Pengadilan Negeri
Purwokerto, dengan Jaksa Yushar Yahya sebagai penuntut umum.
Sidang tampaknya bakal ramai karena, selain dituduh telah
menghabisi nyawa Ubi yang ternyata sedang hamil tiga bulan, Aan
juga dituduh polisi menodai tak kurang dari delapan gadis.
"Sejak di sekolah menengah dia memang sudah kayak playboy,
pacarnya banyak sekali," tutur salah seorang temannya, Titis.
Menurut temannya yang lain, Aan bahkan sudah dua kali kawin
cerai, dan punya seorang anak dari seorang wanita bernama
Rumsih. Tapi, katanya lagi, perkawinannya hanya untuk
menyelamatkan muka orangtua si gadis. "Begitu nikah, langsung
cerai. Soalnya, waktu itu ia belum dewasa," katanya.
Terbunuhnya Ubi merupakan pukulan bagi keluarganya. Selain
karena hal itu terjadi menjelang hari pernikahan, yang sedianya
diselenggarakan 2 September lalu, kedua calon pengantin itu
meninggalkan rumah Sastro dalam keadaan akur-akur saja. Ketika
itu, 31 Agustus, Aan mengajak Ubi menemui calon mertuanya di
Majenang, sekitar 40 km dari Cilacap. Mereka berboncengan sepeda
motor, yang konon milik salah seorang pacar Aan.
Pak Sastro saat itu menawarkan agar mereka berdua naik mobil
miliknya saja, tapi ditolak. Aan merasa lebih enak naik sepeda
motor. Tiba di Majenang, begitu pengakuan Aan kepada polisi, Ubi
sudah melihat pertanda jelek. Ibu pemuda itu membentak-bentak,
tanda tak setuju. Rupanya, Aan baru pertama kali itu membawa
calon istrinya dan langsung mengatakan bahwa dua hari kemudian
akan menikah.
Sore harinya, kedua calon pengantin itu pulang. Entahlah, kapan
setan mulai merasuk di hati pemuda kurus tinggi, berkulit
kuning, dan berambut lurus itu. Dalam perjalanan pulang ke
Cilacap itu, ia sempat berkata kepada calon istrinya yang lagi
hamil muda, "Setelah kawin, kita langsung cerai, ya." Ubi, kata
polisi, tak menjawab. Sampai tiga kali Aan mengulangi
pertanyaannya, tapi gadis ayu berkulit putih dan pendiam itu
tetap tak menyahut.
Kebetulan saat itu hari mulai gelap. Sepeda motor yang mereka
naiki melewati sebuah tikungan yang menurun. Seperti ada yang
menyuruh, begitu cerita Aan kemudian, ia menambah kecepatan
sampai sekitar 70 km/jam. Ubi, yang duduk rapat di belakangnya,
masih belum sadar apa yang terjadi ketika tiba-tiba Aan meloncat
dari sepeda motor. Kendaraan roda dua yang sudah tak terkendali
itu pun, bersama Ubi, terlempar masuk jurang.
Aan babak belur. Meski begitu, ia tak memikirkan benar luka di
tubuhnya. Ia, begitu pengakuannya lebih lanjut pada polisi,
segera menghampiri calon istrinya, yang ternyata pingsan di
dalam jurang. Dan, ya Allah, dia bukannya memberi pertolongan,
tetapi justru menggebuk wajah dan kepala gadis itu bertubi-tubi.
Belum puas dengan itu, ia mengambil kunci inggris dari motor,
dan menggunakannya untuk memukuli ibu jari tangan dan kaki gadis
yang sudah tak berdaya itu.
Puas melakukan semuanya, baru ia naik ke atas. Numpang sebuah
mobil, ia menuju kantor polisi terdekat, di Wanon. Ia
melaporkan seolah-olah telah terjadi kecelakaan. Setelah Ubi
dibawa ke rumah sakit dan dokter memeriksa luka-luka yang ada di
tubuh korban, barulah diketahui bahwa ia bukan mati akibat
kecelakaan, melainkan oleh penganiayaan. Aan langsung ditahan.
Seminggu sebelum peristiwa naas terjadi, Bu Agung, yang
mengontrak rumah Pak Sastro, sudah menduga Ubi akan diapa-apakan
oleh calon suaminya. Soalnya, katanya, lelaki itu merasa dipaksa
kawin, karena Ubi telah mengandung. "Pokoknya, kalau kamu kawin
dengan saya, hidupmu tidak akan lama," begitu konon Aan berkata
ketika itu. Dan Ubi, kata Bu Agung, tampaknya pasrah saja apapun
perlakuan yang bakal di alaminya.
Sore hari, ketika Ubi diajak ke Majenang cerita Bu Agung, ada
dua gadis datang ke rumah Pak Sastro. Mereka berniat menemui Aan
untuk meminta pertanggungjawaban karena telah dinodai. "Yang
seorang bernama Yati, asal Desa Gumilir, lagi hamil lima bulan.
Yang seorang lagi saya lupa namanya," kata Bu Agung.
Menurut sumber di kepolisian Banyumas, gadis lain yang juga
sudah dinodai adalah Anti, Murti, Sri, Yati, Sumi, dan Tati.
Gadis terakhir ini dikabarkan yang meminjamkan sepeda motor
kepada Aan. Dan dia jugalah kabarnya yang dulu memungkinkan Aan
bekerja di Pertamina.
Gadis-gadis yang sudah dirugikan itu enggan memberi keterangan
ketika ditemui. "Semua sudah terjadi, tak perlu diungkit-ungkit
lagi," kata orangtua Yati kepada Slamet Subagyo dari TEMPO.
Akan halnya Aan, ia membantah telah menodai gadis sebanyak
delapan orang. Kepada TEMPO, ia hanya mengaku berbuat terhadap
tiga orang, termasuk Ubi yang baru dipacarinya lima bulan.
Apakah ia memang berniat membunuh anak Pak Sastro ? "Saya memang
memukuli dia, tapi hanya ingin mencederai saja. Itu pun saya
lakukan tanpa sadar," katanya kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini