Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Meneliti wajah remaja

Faktor ekonomi dan kesadaran orang tua menjadi sebab putus sekolah. anak-anak desa ternyata bergizi lebih tinggi. penelitian tersebut dibahas dalam seminar ahli di asia tenggara. (pdk)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK-anak dan remaja tak hanya merepotkan orangtua. Bila mereka menyimpang dari perkembangan normal, para ahlil pun lantas tergugah mengadakan seminar, penelitian, dan diskusi. Mencari tahu sebab musababnya. Di Jakarta, 21- 24 November ini sejumlah ahli dari Asia Tenggara dan Selatan berseminar tentang ketelantaran anak-anak. Antara lain dibicarakan anak-anak yang terpaksa putus sekolah, yang harus memburuh, yang menjadi korban kejahatan seks. Di Indonesia setidaknya ada dua penelitian yang mencoba mengungkapkan ketelantaran dan kesejahteraan anak. Benar, lingkup masalah tak seluas yang dibicarakan dalam seminar. Tapi setidaknya menyangkut soal-soal pokok yang mempengaruhi perkembangan anak di kemudian hari. Penelitian Fakultas Psikologi UGM misalnya, yang dibicarakan juga dalam seminar para ahli di Asia Tenggara itu, mengkhususkan pada masalah putus sekolah. Diketahui bahwa tak hanya di desa, tapi juga di kota-kota besar, banyak anak putus di SD dan sekolah menengah. Tentu ini mengundang pertanyaan apa sebenarnya yang terjadi dengan mereka. Sebuah contoh ada di sudut Jakarta Selatan, di kampung Pengadegan. Sejumlah anak putri Betawi ternyata hanya sempat duduk di kelas III SD. Bukan karena mereka bodoh bukan pula karena orangtua mereka tidak mampu. Tapi sekolah dipandang membuang waktu. Anak-anak perempuan, kata para orangtua itu, kalau sudah pandai mengaji dan membaca surat kabar, cukup. Yang harus mereka lakukan kemudian, belajar menjadi bu rumah tangga. Artinya, bisa mencuci pakalan dan memasak. Anak laki-laki diberi kesempatan lebih jauh: sampai tamat SMP. Alasannya, anak laki-lakilah yang harus cari nafkah, sehingga perlu bisa bergaul dengan segala lingkungan. Untuk itu SMP dianggap cukup. Yang kemudian harus dilakukan anak-anak itu adalah membantu ayahnya tunggu warung, cari dagangan di pasar, membantu jual hasil kebun, dan belajar bagaimana membuat tembok. Itu semua pelajaran yang diangap langsung ada gunanya, daripada duduk di SMA cuma membuang uang. Alasan-alasan itulah yang dikemukakan Pak Hasan, misalnya, salah seorang bapak yang anak-anaknya putus sekolah. Untuk mengungkap hal seperti itulah Fakultas Psikologi UGM, selama enam bulan, tahun ini turun ke lapangan. Ditentukan empat jenis lingkungan yang kira-kira mencerminkan lingkungan yang ada. Lingkungan industri, desa nelayan, daerah pertanian ngarai, dan pertanian pegunungan. Yang dijadikan tempat penelitian: Cilacap, Yogyakarta, Bengkulu, Jakarta, dan Semarang. Sekitar 7 ribu anak usia 7-18 tahun ditemukan, dan didapat sekitar 6% atau 441 putus sekolah. Angka putus sekolah terbesar diperoleh di daerah nelayan (lebih dari 18%), angka terkecil di kawasan industri (kurang dari 3%). Dan dari jumlah itu, sekitar 18% putus SD, sisanya putus sekolah menengah. Diketahui kemudian, alasan ekonomi menjadi sebab utama putus sekolah. Orangtua di Gunung Kidul, Yogyakarta, bersikap "lebih baik uang untuk beli air daripada untuk biaya sekolah," tutur Prof. Dr. Siti Rahayu Haditono, salah seorang peneliti dari UGM itu. Alasan yang lain, kurang adanya pengertian dan kurang adanya kepercayaan orangtua terhadap fungsi pendidikan -misalnya Pak Hasan dari Betawi itu. Faktor lain, yang terdapat di Bengkulu, adalah faktor geografis: sulitnya komunikasi. Yang menarik, mereka yang putus sekolah ternyata tidak menganggur. Ada yang membantu orangtua mencari ikan. Ada yang menjadi buruh tani. Di kawasan industri, mereka biasanya berjualan es atau makanan lain, yang dijajakan di sekitar pabrik. Penelitian kedua, tentang kesejahteraan anak Indonesia, dilakukan oleh Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik. Ini dilakukan sejak Februari tahun lalu, cukup besarbesaran, dengan sampel 35 ribu anak usia 0-20 tahun. Hasilnya kini masih dalam analisa. Tapi hasil sementara, untuk bab putus sekolah, tak terlalu menyimpan dari penelitian UGM. Diperoleh 8% anak putus SD, dan lebih dari 43% putus sekolah menengah. Persentase putus sekolah di pedesaan memang lebih besar. Tapi, yang unik, dari penelitian Departemen Sosial dan BPS ini diketahui bahwa gizi anak desa lebih baik daripada anak kota. Padahal, kesejahteraan sosial anak kota lebih baik. Lingkungan kota mendorong orang mengutamakan beli pesawat televisi, tape recorder, atau rekreasi, tutur Oetari Oetarjo kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Sosial. Sementara itu, pendidikan, bagi orang kota - dari hasi analisa sementara - masih menjadi prioritas kesekian. Hasil lengkap penelitian ini baru nanti akhir Desember, diungkapkan sepenuhnya. Hasil yang kira-kira bisa menjawab pertanyaan: bagaimana sebenarnya profil anak-anak kita di desa, di kota, di gunung, dipantai, di mana saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus