Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Subuh naas di rumah pak haji

Empat penghuni sebuah rumah di kelurahan antang, ujungpandang, ny. suhada dan ketiga anaknya, dibunuh orang. dua tersangka ditahan polisi. (krim)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIBAH itu terjadi pagi subuh. Senin, minggu ketiga November lalu, Haji Badaruddin, 40, baru setengah jam meninggalkan rumahnya. Usai salat subuh, seperti biasa, koordinator pengecer daging di Rumah Potong Hewan Kruwi di Karuwisi, Ujungpandang, itu berangkat ke tempat jualannya. Tiba-tiba, demikian tutur seorang tetangga pedagang daging itu kepada TEMPO, dari rumah Pak Haji terdengar jeritan wanita. Hanya beberapa detik kemudian dari dalam rumah keluar H. M. Nur, 21, menantu Pak Haji. Ia hanya mengenakan celana panjang, tanpa baju, dan sempat terdengar berteriak, "Jangan ada yang dekat, di dalam masih ada perampok." Lalu lampu rumah itu padam. Suasana gelap membuat tetangga Pak Haji di Kelurahan Antang, Ujungpandang, tak segera menghampiri rumah itu. Mereka baru geger ketika siang harinya terdengar kabar ada pembunuhan di rumah Pak Haji yang pendiam itu. Polisi menemukan: Hajah Suhada, istri Haji Badaruddin yang tengah hamil lima bulan, tewas bersama dua anaknya Rosmiaty, 17, Sahrudidin, 12, dan keponakannya, Ismail, 13. Keadaan mereka menyedihkan. Kecuali Rosmiaty, gadis yang baru berhenti dari SMP atas permintaan ayahnya, ketika mayat lainnya tewas berlumuran darah di kamar belakang. Luka bekas bacokan tampak di beberapa bagian tubuh mereka. Sementara itu, Rosmiaty sendiri ditemukan tertelungkup di kamar mandi, dengan pakaian awut-awutan, hampir tanpa penutup aurat. Celana dalamnya ditemukan kemudian, tak jauh dari bak kamar mandi. Ada dugaan, ia sempat diperkosa sebelum dibunuh. Bersama empat nyawa dari tujuh penghuni rumah Pak Haji yang malan itu, ikut lenyap uang Rp 11,5 juta dan emas 100 gram simpanan keluarga. Yang luput adalah tiga penghuni lain H.M. Nur dan dua anak Pak Haji yaitu Yudi, 3, Badaruddin, 10. Ketiga orang ini hanya luka-luka ringan, dan sempat ikut bertangisan tatkala jenazah ibu dari saudara-saudara mereka dikuburkan. Hanya saja H.M. Nur, begitu acara penguburan selesai, diminta polisi memberikan keterangan. Selain karena dia salah satu saksi dewasa yang hidup, ia dianggap lalai, tak segera melaporkan kejadian itu setelah lolos dari usaha pembunuhan. Anak muda yang kawin dengan Wati, putri sulung Pak Haji yang berusia 19 tahun, bahkan dicurigai ikut dalam pembunuhan itu. Dia tak bisa menerangkan ciri-ciri perampok yang ikut menyerangnya. Sebelum dibawa ke kantor polisi, dia hanya mengatakan, "sangat takut", hingga tak sempat mengingat tanda-tanda penyerang. "Saya juga dibacok," katanya sambil memperlihatkan tangannya yang luka. Dia tak menceritakan bagaimana bisa lolos dari tangan pembunuh. Keluarga Pak Haji pun tampaknya tak mencurigainya. Keluarga ini begitu terpukul dan tampak kurang mengerti, hingga tak mengizinkan keempat mayat korban pembunuhan itu diautosi. Bahkan Haji Badaruddin sendiri gelisah ketika polisi meminta H.M. Nur datang ke kantor polisi. "Masak dia tega membunuh mertua dan saudara-saudaranya," ucap duda yang baru kemalangan itu. Pertimbangan ikatan tali persaudaraan mungkin benar. Tapi polisi harus memanfaatkan sebanyak mungkin keterangan H.M. Nur untuk bisa mengungkapkan siapa dan apa motif pembunuhan. Untuk maksud pemeriksaan itu pula, hamba wet kemudian memeriksa Basri Daeng Tompo, tetangga sebelah rumah Pak Haji. Itu terutama untuk dua hal. Pertama, karena keterangan Pak Haji bahwa ia pernah bertengkar dengan Basri gara-gara tembok rumah dan WC. Kedua, ditemukan bercak darah di tembok rumah Basri. Pak Haji memang pernah berselisih dengan Basri. "Tapi tak sempat bertengkar. Hanya, kalau bertemu di jalan, kami sama-sama buang muka," kata Pak Haji. Karena keterangan dan bukti darah itu, Basri sempat menginap di kantor polisi bersama istri dan bayi mereka. Namun, belakangan, mereka dititipkan di rumah seorang famili di Asrama Brimob Ujungpandang. Kepada TEMPO, istri Basri menyangkal keras suaminya terlibat dalam pembunuhan. "Suami saya tidur di rumah ketika itu," katanya. Dia mengakui bahwa suaminya memang akan keluar dengan sebilah badik ketika mendengar di luar ada perampok. "Tapi dia kembali tidur, setelah melihat di luar banyak orang," kata ibu muda itu. Semua keterangan dan bukti terus dikumpulkan. Setelah H.M. Nur dan Basri, polisi kembali menahan dua tersangka lain yang merupakan "orang dalam". Mereka adalah Hasan dan Kamaruddin, yang pernah menjadi sopir Pak Haji dan tinggal di belakang rumahnya. Dua penduduk menuturkan kepada TEMPO bahwa mereka melihat H.M. Nur pergi meninggalkan rumah pagi itu naik pete-pete (semacam bemo) yang dikemudikan Hasan. Pak Haji sendiri dikenal sebagai pedagang ulet, yang belakangan ini, menurut tetangganya, memang lagi "naik daun". Pria Bugis ini pernah mempekerjakan familinya ikut membantu usahanya. Adakah mereka yang membunuh keluarga? Masih harus ditunggu hasil pemeriksaan polisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus