MUSIBAH itu terjadi pagi subuh. Senin, minggu ketiga November
lalu, Haji Badaruddin, 40, baru setengah jam meninggalkan
rumahnya. Usai salat subuh, seperti biasa, koordinator pengecer
daging di Rumah Potong Hewan Kruwi di Karuwisi, Ujungpandang,
itu berangkat ke tempat jualannya. Tiba-tiba, demikian tutur
seorang tetangga pedagang daging itu kepada TEMPO, dari rumah
Pak Haji terdengar jeritan wanita.
Hanya beberapa detik kemudian dari dalam rumah keluar H. M. Nur,
21, menantu Pak Haji. Ia hanya mengenakan celana panjang, tanpa
baju, dan sempat terdengar berteriak, "Jangan ada yang dekat, di
dalam masih ada perampok." Lalu lampu rumah itu padam. Suasana
gelap membuat tetangga Pak Haji di Kelurahan Antang,
Ujungpandang, tak segera menghampiri rumah itu.
Mereka baru geger ketika siang harinya terdengar kabar ada
pembunuhan di rumah Pak Haji yang pendiam itu. Polisi menemukan:
Hajah Suhada, istri Haji Badaruddin yang tengah hamil lima
bulan, tewas bersama dua anaknya Rosmiaty, 17, Sahrudidin, 12,
dan keponakannya, Ismail, 13. Keadaan mereka menyedihkan.
Kecuali Rosmiaty, gadis yang baru berhenti dari SMP atas
permintaan ayahnya, ketika mayat lainnya tewas berlumuran darah
di kamar belakang. Luka bekas bacokan tampak di beberapa bagian
tubuh mereka.
Sementara itu, Rosmiaty sendiri ditemukan tertelungkup di kamar
mandi, dengan pakaian awut-awutan, hampir tanpa penutup aurat.
Celana dalamnya ditemukan kemudian, tak jauh dari bak kamar
mandi. Ada dugaan, ia sempat diperkosa sebelum dibunuh.
Bersama empat nyawa dari tujuh penghuni rumah Pak Haji yang
malan itu, ikut lenyap uang Rp 11,5 juta dan emas 100 gram
simpanan keluarga. Yang luput adalah tiga penghuni lain H.M. Nur
dan dua anak Pak Haji yaitu Yudi, 3, Badaruddin, 10. Ketiga
orang ini hanya luka-luka ringan, dan sempat ikut bertangisan
tatkala jenazah ibu dari saudara-saudara mereka dikuburkan.
Hanya saja H.M. Nur, begitu acara penguburan selesai, diminta
polisi memberikan keterangan. Selain karena dia salah satu saksi
dewasa yang hidup, ia dianggap lalai, tak segera melaporkan
kejadian itu setelah lolos dari usaha pembunuhan. Anak muda yang
kawin dengan Wati, putri sulung Pak Haji yang berusia 19 tahun,
bahkan dicurigai ikut dalam pembunuhan itu. Dia tak bisa
menerangkan ciri-ciri perampok yang ikut menyerangnya.
Sebelum dibawa ke kantor polisi, dia hanya mengatakan, "sangat
takut", hingga tak sempat mengingat tanda-tanda penyerang. "Saya
juga dibacok," katanya sambil memperlihatkan tangannya yang
luka. Dia tak menceritakan bagaimana bisa lolos dari tangan
pembunuh. Keluarga Pak Haji pun tampaknya tak mencurigainya.
Keluarga ini begitu terpukul dan tampak kurang mengerti, hingga
tak mengizinkan keempat mayat korban pembunuhan itu diautosi.
Bahkan Haji Badaruddin sendiri gelisah ketika polisi meminta
H.M. Nur datang ke kantor polisi. "Masak dia tega membunuh
mertua dan saudara-saudaranya," ucap duda yang baru kemalangan
itu.
Pertimbangan ikatan tali persaudaraan mungkin benar. Tapi polisi
harus memanfaatkan sebanyak mungkin keterangan H.M. Nur untuk
bisa mengungkapkan siapa dan apa motif pembunuhan.
Untuk maksud pemeriksaan itu pula, hamba wet kemudian memeriksa
Basri Daeng Tompo, tetangga sebelah rumah Pak Haji. Itu terutama
untuk dua hal. Pertama, karena keterangan Pak Haji bahwa ia
pernah bertengkar dengan Basri gara-gara tembok rumah dan WC.
Kedua, ditemukan bercak darah di tembok rumah Basri.
Pak Haji memang pernah berselisih dengan Basri. "Tapi tak sempat
bertengkar. Hanya, kalau bertemu di jalan, kami sama-sama buang
muka," kata Pak Haji.
Karena keterangan dan bukti darah itu, Basri sempat menginap di
kantor polisi bersama istri dan bayi mereka. Namun, belakangan,
mereka dititipkan di rumah seorang famili di Asrama Brimob
Ujungpandang. Kepada TEMPO, istri Basri menyangkal keras
suaminya terlibat dalam pembunuhan. "Suami saya tidur di rumah
ketika itu," katanya. Dia mengakui bahwa suaminya memang akan
keluar dengan sebilah badik ketika mendengar di luar ada
perampok. "Tapi dia kembali tidur, setelah melihat di luar
banyak orang," kata ibu muda itu.
Semua keterangan dan bukti terus dikumpulkan. Setelah H.M. Nur
dan Basri, polisi kembali menahan dua tersangka lain yang
merupakan "orang dalam". Mereka adalah Hasan dan Kamaruddin,
yang pernah menjadi sopir Pak Haji dan tinggal di belakang
rumahnya. Dua penduduk menuturkan kepada TEMPO bahwa mereka
melihat H.M. Nur pergi meninggalkan rumah pagi itu naik
pete-pete (semacam bemo) yang dikemudikan Hasan. Pak Haji
sendiri dikenal sebagai pedagang ulet, yang belakangan ini,
menurut tetangganya, memang lagi "naik daun". Pria Bugis ini
pernah mempekerjakan familinya ikut membantu usahanya. Adakah
mereka yang membunuh keluarga? Masih harus ditunggu hasil
pemeriksaan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini