Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Grafologi bisa menjadi solusi dalam pemberantasan terorisme. Grafolog Deborah Dewi mengatakan, grafologi bisa berperan besar membaca potensi calon teroris.
Menurut Deborah, ilmu membaca tulisan tangan atau graphic gesture dapat menggagalkan black recruitment, yakni perekrutan sumber daya manusia untuk hal-hal merugikan. “Dengan grafologi, seseorang bisa dilihat kepribadiannya melalui profiling,” kata Deborah, di restoran Lewis & Carroll, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Senin, 18 Desember 2017.
Deborah menyebut tulisan tangan tidak dapat dimanipulasi. Dengan demikian, meski mengubah tulisan, kepribadian seseorang tak dapat ditutupi. "Jadi, jika digunakan dengan tepat, grafologi bisa berguna dalam deradikalisasi calon teroris," ujarnya.
Baca: Mengapa Tulisan Tangan Setiap Orang Berbeda? Grafologi Jawabannya
Deborah mencontohkan perannya dalam kasus pembunuhan mahasiswa Universitas Indonesia, Akseyna Ahad Dori, pada 2015. Dari hasil analisis tulisan tangan dalam sepucuk kertas yang diduga merupakan surat wasiat buatan Akseyna, status perkara kasus tersebut langsung berubah. Polisi segera menetapkannya sebagai kasus pembunuhan berdasarkan surat yang ternyata ditulis oleh dua orang yang berbeda.
Grafologi, menurut Deborah, akan berperan besar mempercepat proses penyidikan sebuah kasus. Saat ini, ia menilai, Indonesia telah mulai menyadari pentingnya grafologi, terutama dalam memecahkan kasus kriminal.
Baca: Kasus Akseyna, Cara Grafolog Temukan Wasiat Ditulis 2 Orang
Dia menuturkan Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI telah melatih anggotanya untuk mempelajari grafologi. “Grafologi sudah dilibatkan, tapi akan lebih baik jika lebih dikembangkan lagi,” tutur Deborah.
Dalam mengidentifikasi kepribadian calon teroris, seorang grafolog membutuhkan sampel tulisannya. Tulisan tangan tersebut kemudian dianalisis sesuai dengan indikator grafis. Bentuk, tarikan, serta detail lain dengan pola berulang akan dipasangkan dengan indikator grafis tersebut. Hasil tulisan yang berupa kode tersebut kemudian dirumuskan menjadi hasil analisis.
Meski begitu, Deborah mengatakan, bentuk tulisan tertentu tidak dapat digunakan sebagai stereotip perilaku seseorang. Misal, tulisan berbentuk lancip tidak selalu menggambarkan kepribadian seseorang yang meledak-ledak. “Setiap tulisan unik, harus dianalisis satu per satu, karena hasilnya berbeda-beda,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini