SEKWILDA Kotamadya Bogor, drs Sumadi, menurut Sinar Harapan
Jumat pekan lalu "ditahan dalaun kota". Sebelum itu, ia sendiri
berusaha tak menerima banyak tamu. Sejak namanya disebut
sejumlah koran sebagai mungkin terlibat dalam satu kasus
manipulasi tanah, menurut sejumlah bawahannya, ia sering
kelihatan sayu.
Di rumahnya yang besar, yang disebut sejumlah bawahannya seperti
istana, dan yang diisinya sejak dua tahun lalu, di Jalan Sambu
Bogor Timur, ia menerima Klarawijaya dari TEMPO dengan
terpaksa. "Saya kena syok. Sementara ini saya ingin istirahat
dahulu. Untuk mengetahui soal yang menyangkut saya silakan
berhubungan dengan pihak berwenang atau baca hasil konperensi
pers antara Muspida dengan wartawan Bogor beberapa hari lalu,"
kata Sumadi suatu malam.
Pada malam lain toh Sumadi bicara juga. Mengenakan kaos kuning,
tokoh kelahiran Garut 39 tahun itu ia ditemani dua orang lain
pejabat daerah. Seorang, Daslim Saibi Sl 1, Kepala Dinas Kesra.
Lainnya, Iskandar Suryadinata, anggota DPRD fraksi Golkar.
Menurut Sumadi, ia memang pernah punya urusan dengan PT Sembada
Buana yang mendapat konsesi dari Pemda untuk membebaskan 200 Ha
tanah rakyat buat proyek real eslate beberapa waktu lalu. Sejauh
itu persoalannya katanya sudah selesai. "PT itu tidak menuntut
kepada saya atau mengajukan persoalan ini kepada pihak
berwajib," katanya.
Persoalan yang dimaksud Sumadi adalah ini.
Baranangsiang
Ceritanya dimulai tahun 1973. Ketika itu PT Sembada Buana yang
ditunjuk Pemda buat membangun perumahan di Lingkungan
Baranangsiang setahu sebelumnya, mulai membebaskan tanah rakyat.
Pelaksananya ditunjuk Kepala Lingkungan Baranangsiang Kecamatan
-Bogor Timur sendiri, Husen bin Haji Tohir, 39 tahun. Dalam
pada itu ada sejumlah areal tanah yang urusannya ditangani oleh
Sumadi. Antara lain milik keluarga Urip Subrata, 55 tahun. Di
sinilah Sumadi "terlibat".
Beberapi waktu setelah Sumadi menerima sejumlah uang dari PT
Sembada Buana dan meneruskannya kepada Urip setelah dipotong
"komisi", tahu-tahu Sembada Buana datang melapor kepada Sumadi:
jumlah tanah yang dibelinya tak sesuai dengan apa yang tercantum
dalam akte. Setelah diusut ternyata memang "tekor" 1,7 Ha. Urip
Subrata bukan saja tak mau bertanggungjawab atas ketekoran itu.
bahkall ia tak mengerti nlengapa persoalannya jadi ada di tangan
Sumadi. Setelah diusut lebih lanjut, ternyata yang "menyerahkan"
persoalan itu kepada Sumadi adalah Husen Tohir. Maksudnya,
"supaya Urip Subrata justru bisa lebih' cepat menerima uangnya."
Urip bersikeras agar tanah yang dulu dipasrahkannya kepada
pemerintah adalah sesuai dengan jumlah uang yang diterimanya
lewat Sumadi. Walhasil belakangan diketahui bahwa akte
penglepasan hak tanah yang disodorkan Sumadi kepadu PT Sembada
Buana jumlahnya memang jadi "mekar".
"Kesalahan snya adalah saya terlalu percaya kepada akte hingga
akhirnya saya sendiri yang repot," kata Sumadi kepada TEMPO.
"TaPI saya kan tidak merugikan penduduk? Yang saya rugikan waktu
itu adalah PT Sembada Buana, dan inipun persoalannya sudah saya
selesaikan," Sumadi menambahkan.
Husen Tohir
Urip Subrata sendiri mengakui memang tidak dirugikan oleh
Sumadi. Uang ganti rugi yang diterimanya sesuai dengan tanah
yang dilepasnya, Rp 18 juta untuk 9 Ha.
PT Sembada Buana sendiri tidak mengaku punya urusan dengan
Sumadi. Bagi PT yang Presiden Komisarisnya dipegang Mayjen
Hertasning dan sehari-hari dipimpin oleh Effendy Siregar ini
yang dianggap penting adalah Husen Tohir. Tapi sejauh itu,
kepada Husen pun Sembada tampaknya selama ini tak mau berurusan.
"Biarlah, pokoknya persoalannya bisa diselesaikan dengan baik.
Kalau ada yang harus kami adukan khawatir kami repot," ucap
Effendy Siregar sebagaimana dikutip seorang penduduk yang pernah
ngobrol dengannya.
Yang dikatakan Effendy Siregar mungkin benar. Sebab kalau
masalah ini sekarang sedang diusut oleh satu tim Opstibda,
sebabnya hanya karena soalnya kembali ramai setelah tiba tiba
muncul di sejumlah koran Jakarta dan Bandung.
Janji Untuk Rakyat
Di luar hal yang menyangkut nama Sekwilda, masalah pembebasan
tanah untuk proyek perumahan yang disebut Proyek Bogor Baru ini
sejak mula memang sudah menimbulkan gejala-gejala tidak beres.
Ketika proyek akan dimulai, Kepala Lingkungan mengumpulkan
rakyat yang bakal terkena. Ketika itu bin Tohir mengatakan,
bahwa tanah rakyat di Lingkungan Baranangsiang dan sekitarnya
yang luasnya sekitar 500 sampai 600 Ha bakal dijadikan proyek
pemerintah. Yang dimaksud adalah perumahan untuk duta besar dan
para karyawan dari Jakarta. Sekalipun demikian, rakyat yang
mesti menyerahkan tanahnya tak usah khawatir jadi terlantar.
Sebagian areal tadi akan dijadikan penampungan mereka. Bahkan,
rakyat akan dibuatkan rumah, yang asalnya gubuk jadi
setengah-kokoh (semi permanen) dan yang setengah kokoh jadi
kokoh.
Bukan itu saja. Proyek Bogor Baru juga akan dilengkapi sejumlah
fasilitas antara lain kios tempat dagang. Rakyat diberi
kesempatan untuk merubah nasibnya, dari yang semula repot tani,
kalau mau, jadi pedagang. Baik tempat penampungan, rumah
penggantian dan tempat jualan, semuanya akan diberi kan kepada
penduduk asli dengan cara penebusan yang ruangan disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Khusus mengenai tempat
penampungan bahkan bisa didapat dengan cuma-cuma.
Demikianlah, tiga hari setelah pertemuan pertama Pejabat Daerah
dengan penduduk, terjadilah proses pelepasan hak lahan dari
rakyat kepada pemerintah. Tarip ganti rugi tanah yang dalam
pertemuan pertama memang tidak disebutkan, ternyata satu sama
lain tidak sama. Berkisar antara Rp 100 sampai Rp 200. Dalam
hubungan ini rakyatpun tak ada yang ngoceh. "Pokoknya kan untuk
pemerintah bukan untuk siapa-siapa," kata mereka.
Persoalan mulai timbul ketika 3 bulan sesudah rakyat menerima
ganti rugi, muncul orang-orang yang menyebut diri dari PT
Sembada Buana. Maksudnya membuat patok-patok tanah sekaligus
membabat pohon-pohon yang ada di atasnya, karena katanya PT
Sembada Buanalah sekarang yang menguasai tanah-tanah rakyat itu.
Maksud mereka dikuatkan dengan akte-akte tanah yang dipegang
mereka sendiri. Dalam akte itu ada tanda tangan para penduduk.
Rakyat gusar. Mereka, ada yang berombongan, ada yang
sendiri-sendiri mendatangi Husen Tohir. Pada mulanya mereka
memang tidak tahu menahu akan PT Sembada Buana. Sebab ketika
proses pelepasan hak tanah dilakukan, kata sebagian mereka,
kepada mereka hanya disodorkan akte kosong. Artinya, mereka
hanya cukup bikin tanda tangan saja. Isi akte sendiri Husen
Tohir lah yang kemudian menulisnya.
Tahun 1973 itu pula persoalan ini sudah sampai di tangan polisi.
Menurut sumber TEMPO, polisi percaya kepada pemerintah daerah
untuk menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya. Tapi,
persoalan tak kunjung selesai. Dua tahun lalu, TEMPO Sendiri
sudah menulis cerita ini. (TEMPO 26 April 1975). Sebegitu
jauh, resolusi penduduk, Mei 1976, yang disampaikan kepada
Walikota dengan tembusan ke berbagai instansi tak mendapat
jawaban resmi.
Maka, terakhir, meletuplah kembali cerita ini di koran sejak 3
pekan lalu. Namun Dan Dim 0606 Letkol D. Soenardi yang
didampingi sejumlah pejabat lain dalam keterangannya kemudian
mengatakan "berita koran itu tak benar." Betapapun, ada satu tim
yang antara lain terdiri dari unsur Kodim 0606 pulalah yang kini
sibuk - mengusut masalah ini.
Tim kini masih bekerja. Sementara itu rakyat sudah tambah gusar.
Tanah yang semula dibebaskan dari mereka dengan harga hanya
antara Rp 100 sanlpai Rp 200, kini justru katanya
diperjual-belikan oleh PT Sembada Buana. Menurut seorang staf PT
Sembada Buana, Sukarni. 56, proyek mangaer, perusahaannya tidak
menjual tanah itu. Tapi, ia mengakui bahwa perusahaannya hanya
baru akan membangun rumah di areal yang disediakan sesudah
peminat membayar lunas harga tanahnya, Rp 7.000 per-meter
persegi. Bahwa YT itu "tidak memperjualbelikan" tanah yang
sebelumnya dibebaskan dari rakyat itu karena PT itu, menurut
Sukarni, menetapkan ketentuan yang melarang pembeli untuk
memperjualbelikan lagi tanahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini