Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ada soal pasar, tapi kita santai

Festival film asean ke-vii di bangkok menghasilkan perhimpunan produser film asean (amppa), agar tiap negara menyelenggarakan pekan film nasional, kerja sama pemasaran produksi dan mutu film.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTENGAHAN bulan Oktober yang lalu, di Bangkok berlangsung Festival Film Asean yang ke-VII. Pada festival yang sifatnya tidak mengandung persaingan itu, wartawan TEMPO, Syarif Hidayat ikut hadir sebagai anggota rombongan delegasi Indonesia. Berikut ini laporannya. "Delegasi Indonesia yang terbesar pak," kata ketua delegasi Indonesia Bony R Siagian pada Duta Besar Indonesia untuk Muangthai Kharis Suhud. Namun Pak Duta Besar yang mendapat laporan, tersenyum, kemudian menjawab: "Yang besar belum tentu baik 'kan." Semua yang mengikuti acara ramah tamah di kedutaan Indonesia terdiam. Wim Umboh, Turino Junaidy dan Washi Dipa manggut-manggut. "Tapi saya harapkan ini menjadi delegasi yang terbesar dan terbaik," ujar Kharis Suhud sambil menyalakan rokok cerutu. Semua manggut lagi terutama Washi Dipa. Ada 24 orang yang ikut dalam delegasi Indonesia. Dalam SK Menteri ditunjuk sebagai ketua Sumarmo dari Badan Sensor Film. Wakilnya Bony R Siagian dari Sekretariat Asean di Indonesia. Anggotanya 4 orang dari Departemen Penerangan, 4 orang produser, 3 orang artis film, 4 orang dari bioskop, 3 orang wartawan, dan selebihnya peninjau. Para peninjau ini terdiri dari seorang isteri utusan Deppen, seorang isteri produser, seorang isteri pengusaha bioskop dan seorang suami aktris, ditambah dengan Ny Sevihara Sujarwo Produser) bersama dengan anaknya, bintang film Dewi Rosaria Indah. Sebelum keberangkatannya ke Bangkok, Sumarmo pergi ke Eropah untuk suatu urusan. Berjanji akan ketemu di Bangkok, sampai hari terakhir ia tidak muncul. Terpaksa Siagian menjadi pejabat ketua delegasi. Dibandingkan dengan Singapura yang cuma 2 orang, Malaysia 5 orang dan Pilipina juga 5 orang. Indonesia memang delegasi yang terbesar dan barangkali yang tersantai. Sejak perjalanan dari pelabuhan udara Bangkok ke Narai Hotel, tempat para delegasi menginap, yang dibicarakan bukan soal festival film. Bangkok di waktu malam salah satu pembicaraan yang menarik, di samping silk (sutera), emas dan batu batuan Bangkok. Namun begitu rombongan Indonesia berkeinginan juga menjadi delegasi yang terbaik. Maka pada acara keliling kota Bangkok yang cukup panas itu, semua diharuskan memakai pakaian lengkap. Bahkan bintang film Awang Darmawan, supaya lebih kelihatan resmi, mengenakan stelan putih dengan dasi kupu, yang biasanya dipakai pada acara resmi malam hari. Dua orang dari Singapura ikut juga memakai pakaian resmi. Tapi Pilipina tidak, ia mengenakan pakaian sebagai mana layaknya orang lagi jalanjalan. "Kita akan masuk istana, jadi harus pakaian resmi," kata Siagian. Walaupun masuk istana, tapi panasnya tak tertahan juga. Satu persatu mereka mulai melepas jas dan menentengnya. Pada acara pembukaan yang diadakan di Teater Nasional Awang Darmawan tidak lagi mengenakan stelan putih. Jas batik warna coklat tua dengan kombinasi celana putih. Aktris Indonesia yang lain mengenakan pakaian nasional, kecuali Yati Octavia. Ini jadi soal lagi di kalangan delegasi. Film Festival Asean ke-VII di Bangkok yang diikuti oleh Indonesia, Muangthai, Malaysia, Pilipina dan Singapura hasilnya tidak seberapa. Yang perlu dicatat, dalam sidang ke Vl Komite Film Asean, telah disetujui gagasan Perhimpunan Produser Film Asean (AMPPA), agar setiap negara anggotanya menyelenggarakan Pekan Film Nasional di tiap negara Asean, minimal sekali dalam setahun. Komite Film Asean juga menyetujui diperlakukannya secara khusus bea masuk bagi film Asean yang akan dipertunjukkan di negara-negara anggota. Ketua delegasi Indonesia Boni R Siagian berpendapat lain. Katanya: "Soal Pekan Film itu kami masih harus membicarakan dengan Pemerintah." Hal itu dikatakan oleh Siagian karena penyelenggaraan Pekan Film menyangkut biaya yang tidak kecil. Tapi secara prinsip Siagian menyetujui, dan penyelenggaraannya dilaksanakan pada setiap Hari Nasional negara masing-masing. "Kemungkinan yang pertama kali menyelenggarakan Muangthai, karena dalam waktu dekat ini ada hari besar buat Muangthai," kata Siagian. Ucapan Siagian tidak berkenan di hati produser Indonesia. "Kalau soal biaya serahkan saja pada PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia) karena ini menyangkut masalah pemasaran film, pemerintah cukup memberikan fasilitas saja," tukas Wim Umboh yang hadir sebagai wakil PPFI. Wim memang sudah sejak pertemuan ramah tamah dengan Duta Besar Indonesia di Muangthai, Mayor Jenderal TNI Kharis Suhud, minta agar para Duta Besar mau membantu penyelenggaraan Pekan Film. Dan Kharis Suhud yang melihat film Indonesia tidak pernah beredar di Bangkok, merasa perlu untuk ikut mempromosikan. "Memang ini kewajiban para Duta Besar untuk ikut membantu penyelenggaraan Pekan Film, karena ini akan menjadi romosi kebudayaan Indonesia. Paling tidak dengan menonton film Indonesia akan banyak menarik turis datang," kata Kharis Suhud. Nampaknya antara para produser Indonesia yang ikut Sidang AMPPA, dengan delegasi Indonesia yang mengikuti Sidang Komite Film Asean (yang ratarata orang Pemerintah) terdapat ketidakcocokan. Delegasi AMPPA Indonesia yang diketuai Turino Junaidy dengan para anggota Wim Umboh, Washi Dipa dan Yudha Suryoso, susah payah membuat konsep yang isinya akhirnya menjadi keputusan Sidang AMPPA untuk disampaikan pada Sidang Komite Film Asean. Namun dalam Sidang Komite Film Asean, delegasi Indonesia sendiri tidak secara tegas mendukung hasil AMPPA itu. Padahal dari isinya dengan jelas itu akan sangat menguntungkan Indonesia. Usaha AMPPA kali ini memang cukup positif. Festival Asean tidak seharusnya dijadikan kancah pembicaraan yang muluk-muluk. Yang paling baik dalam Festival Film Asean dibicarakan masalah pemasaran film. "Sejak Festival yang pertama sampai yang ke VI yang dibicarakan dari itu ke itu juga. Tentang produksi bersama, mutu film atau hal lain yang kenyataannya tidak pernah berhasil. Sebaiknya sekaran ini kita bicarakan soal pemasaran bersama yang akan menguntungkan tiap negara," ujar Chua Tan seorang produser film di Singapura yang hadir mewakili para produser. Demikian pula dengan Malaysia, M. Burhan, produser dari Sadah Film mengatakan bahwa Pekan Film bisa menyebabkan terjadinya transaksi antara si penyelenggara dengan negara tempat dipertunjukkan film. Ucapan Burhan didukung oleh rekan senegaranya Mustapha Maarus. "Memang sekarang pemasaran film Malaysia sulit, mungkin kurang komersiil. Tapi dengan adanya Pekan Film, paling tidak akan lebih menggairahkan untuk membuat film yang lebih baik yang bisa diterima oleh negara lain."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus