Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Cerita Bogor: Salahkah Sumadi ?

Sekwilda kodya bogor, sumadi, ditahan. dikaitkan dalam pembebasan 200 ha tanah untuk real estate pt sembada buana. kasus ini muncul dari koran, dari rakyat yang protes karena dirugikan.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKWILDA Kotamadya Bogor, drs Sumadi, menurut Sinar Harapan Jumat pekan lalu "ditahan dalaun kota". Sebelum itu, ia sendiri berusaha tak menerima banyak tamu. Sejak namanya disebut sejumlah koran sebagai mungkin terlibat dalam satu kasus manipulasi tanah, menurut sejumlah bawahannya, ia sering kelihatan sayu. Di rumahnya yang besar, yang disebut sejumlah bawahannya seperti istana, dan yang diisinya sejak dua tahun lalu, di Jalan Sambu Bogor Timur, ia menerima Klarawijaya dari TEMPO dengan terpaksa. "Saya kena syok. Sementara ini saya ingin istirahat dahulu. Untuk mengetahui soal yang menyangkut saya silakan berhubungan dengan pihak berwenang atau baca hasil konperensi pers antara Muspida dengan wartawan Bogor beberapa hari lalu," kata Sumadi suatu malam. Pada malam lain toh Sumadi bicara juga. Mengenakan kaos kuning, tokoh kelahiran Garut 39 tahun itu ia ditemani dua orang lain pejabat daerah. Seorang, Daslim Saibi Sl 1, Kepala Dinas Kesra. Lainnya, Iskandar Suryadinata, anggota DPRD fraksi Golkar. Menurut Sumadi, ia memang pernah punya urusan dengan PT Sembada Buana yang mendapat konsesi dari Pemda untuk membebaskan 200 Ha tanah rakyat buat proyek real eslate beberapa waktu lalu. Sejauh itu persoalannya katanya sudah selesai. "PT itu tidak menuntut kepada saya atau mengajukan persoalan ini kepada pihak berwajib," katanya. Persoalan yang dimaksud Sumadi adalah ini. Baranangsiang Ceritanya dimulai tahun 1973. Ketika itu PT Sembada Buana yang ditunjuk Pemda buat membangun perumahan di Lingkungan Baranangsiang setahu sebelumnya, mulai membebaskan tanah rakyat. Pelaksananya ditunjuk Kepala Lingkungan Baranangsiang Kecamatan -Bogor Timur sendiri, Husen bin Haji Tohir, 39 tahun. Dalam pada itu ada sejumlah areal tanah yang urusannya ditangani oleh Sumadi. Antara lain milik keluarga Urip Subrata, 55 tahun. Di sinilah Sumadi "terlibat". Beberapi waktu setelah Sumadi menerima sejumlah uang dari PT Sembada Buana dan meneruskannya kepada Urip setelah dipotong "komisi", tahu-tahu Sembada Buana datang melapor kepada Sumadi: jumlah tanah yang dibelinya tak sesuai dengan apa yang tercantum dalam akte. Setelah diusut ternyata memang "tekor" 1,7 Ha. Urip Subrata bukan saja tak mau bertanggungjawab atas ketekoran itu. bahkall ia tak mengerti nlengapa persoalannya jadi ada di tangan Sumadi. Setelah diusut lebih lanjut, ternyata yang "menyerahkan" persoalan itu kepada Sumadi adalah Husen Tohir. Maksudnya, "supaya Urip Subrata justru bisa lebih' cepat menerima uangnya." Urip bersikeras agar tanah yang dulu dipasrahkannya kepada pemerintah adalah sesuai dengan jumlah uang yang diterimanya lewat Sumadi. Walhasil belakangan diketahui bahwa akte penglepasan hak tanah yang disodorkan Sumadi kepadu PT Sembada Buana jumlahnya memang jadi "mekar". "Kesalahan snya adalah saya terlalu percaya kepada akte hingga akhirnya saya sendiri yang repot," kata Sumadi kepada TEMPO. "TaPI saya kan tidak merugikan penduduk? Yang saya rugikan waktu itu adalah PT Sembada Buana, dan inipun persoalannya sudah saya selesaikan," Sumadi menambahkan. Husen Tohir Urip Subrata sendiri mengakui memang tidak dirugikan oleh Sumadi. Uang ganti rugi yang diterimanya sesuai dengan tanah yang dilepasnya, Rp 18 juta untuk 9 Ha. PT Sembada Buana sendiri tidak mengaku punya urusan dengan Sumadi. Bagi PT yang Presiden Komisarisnya dipegang Mayjen Hertasning dan sehari-hari dipimpin oleh Effendy Siregar ini yang dianggap penting adalah Husen Tohir. Tapi sejauh itu, kepada Husen pun Sembada tampaknya selama ini tak mau berurusan. "Biarlah, pokoknya persoalannya bisa diselesaikan dengan baik. Kalau ada yang harus kami adukan khawatir kami repot," ucap Effendy Siregar sebagaimana dikutip seorang penduduk yang pernah ngobrol dengannya. Yang dikatakan Effendy Siregar mungkin benar. Sebab kalau masalah ini sekarang sedang diusut oleh satu tim Opstibda, sebabnya hanya karena soalnya kembali ramai setelah tiba tiba muncul di sejumlah koran Jakarta dan Bandung. Janji Untuk Rakyat Di luar hal yang menyangkut nama Sekwilda, masalah pembebasan tanah untuk proyek perumahan yang disebut Proyek Bogor Baru ini sejak mula memang sudah menimbulkan gejala-gejala tidak beres. Ketika proyek akan dimulai, Kepala Lingkungan mengumpulkan rakyat yang bakal terkena. Ketika itu bin Tohir mengatakan, bahwa tanah rakyat di Lingkungan Baranangsiang dan sekitarnya yang luasnya sekitar 500 sampai 600 Ha bakal dijadikan proyek pemerintah. Yang dimaksud adalah perumahan untuk duta besar dan para karyawan dari Jakarta. Sekalipun demikian, rakyat yang mesti menyerahkan tanahnya tak usah khawatir jadi terlantar. Sebagian areal tadi akan dijadikan penampungan mereka. Bahkan, rakyat akan dibuatkan rumah, yang asalnya gubuk jadi setengah-kokoh (semi permanen) dan yang setengah kokoh jadi kokoh. Bukan itu saja. Proyek Bogor Baru juga akan dilengkapi sejumlah fasilitas antara lain kios tempat dagang. Rakyat diberi kesempatan untuk merubah nasibnya, dari yang semula repot tani, kalau mau, jadi pedagang. Baik tempat penampungan, rumah penggantian dan tempat jualan, semuanya akan diberi kan kepada penduduk asli dengan cara penebusan yang ruangan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Khusus mengenai tempat penampungan bahkan bisa didapat dengan cuma-cuma. Demikianlah, tiga hari setelah pertemuan pertama Pejabat Daerah dengan penduduk, terjadilah proses pelepasan hak lahan dari rakyat kepada pemerintah. Tarip ganti rugi tanah yang dalam pertemuan pertama memang tidak disebutkan, ternyata satu sama lain tidak sama. Berkisar antara Rp 100 sampai Rp 200. Dalam hubungan ini rakyatpun tak ada yang ngoceh. "Pokoknya kan untuk pemerintah bukan untuk siapa-siapa," kata mereka. Persoalan mulai timbul ketika 3 bulan sesudah rakyat menerima ganti rugi, muncul orang-orang yang menyebut diri dari PT Sembada Buana. Maksudnya membuat patok-patok tanah sekaligus membabat pohon-pohon yang ada di atasnya, karena katanya PT Sembada Buanalah sekarang yang menguasai tanah-tanah rakyat itu. Maksud mereka dikuatkan dengan akte-akte tanah yang dipegang mereka sendiri. Dalam akte itu ada tanda tangan para penduduk. Rakyat gusar. Mereka, ada yang berombongan, ada yang sendiri-sendiri mendatangi Husen Tohir. Pada mulanya mereka memang tidak tahu menahu akan PT Sembada Buana. Sebab ketika proses pelepasan hak tanah dilakukan, kata sebagian mereka, kepada mereka hanya disodorkan akte kosong. Artinya, mereka hanya cukup bikin tanda tangan saja. Isi akte sendiri Husen Tohir lah yang kemudian menulisnya. Tahun 1973 itu pula persoalan ini sudah sampai di tangan polisi. Menurut sumber TEMPO, polisi percaya kepada pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya. Tapi, persoalan tak kunjung selesai. Dua tahun lalu, TEMPO Sendiri sudah menulis cerita ini. (TEMPO 26 April 1975). Sebegitu jauh, resolusi penduduk, Mei 1976, yang disampaikan kepada Walikota dengan tembusan ke berbagai instansi tak mendapat jawaban resmi. Maka, terakhir, meletuplah kembali cerita ini di koran sejak 3 pekan lalu. Namun Dan Dim 0606 Letkol D. Soenardi yang didampingi sejumlah pejabat lain dalam keterangannya kemudian mengatakan "berita koran itu tak benar." Betapapun, ada satu tim yang antara lain terdiri dari unsur Kodim 0606 pulalah yang kini sibuk - mengusut masalah ini. Tim kini masih bekerja. Sementara itu rakyat sudah tambah gusar. Tanah yang semula dibebaskan dari mereka dengan harga hanya antara Rp 100 sanlpai Rp 200, kini justru katanya diperjual-belikan oleh PT Sembada Buana. Menurut seorang staf PT Sembada Buana, Sukarni. 56, proyek mangaer, perusahaannya tidak menjual tanah itu. Tapi, ia mengakui bahwa perusahaannya hanya baru akan membangun rumah di areal yang disediakan sesudah peminat membayar lunas harga tanahnya, Rp 7.000 per-meter persegi. Bahwa YT itu "tidak memperjualbelikan" tanah yang sebelumnya dibebaskan dari rakyat itu karena PT itu, menurut Sukarni, menetapkan ketentuan yang melarang pembeli untuk memperjualbelikan lagi tanahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus