Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sekarang sebagai "dokter"

Karnah, bekas atlet lempar lembing yang berganti kelamin. ditahan polisi, dituduh membunuh seorang wanita yang meninggal beberapa jam setelah gondok di lehernya dioperasi karnah.(krim)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARNAH lagi. Ia pemegang medali perunggu lempar lembing dalam Asian Games Tokyo (1958). Kemudian ia berganti kelamin dan mengubah namanya menjadi Iwan Setiawan. Dan kini ia ditahan karena dituduh membunuh. Seorang wanita meninggal beberapa jam setelah gondok di pangkal lehernya dioperasi Karnah. Karnah, 42 tahun, yang nama lengkapnya kini Iwan Setiawan Setiadiharja Wiria Saputra dan menikah dengan Tuty Pujiastuti, belakangan dikenal sebagal "dokter". Keahliannya terutama mengoperasi tumor atau daging tumbuh, baik yang besar maupun kecil. Ia mengaku sudah ratusan kali berhasll mengoperasi pasien yang datang dari beberapa kota. Di desanya sendiri Desa Singasari, Rancah, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ada 14 pasiennya sembuh. "Kali ini rupanya saya lagi naas," ujar Iwan ketika ditemui di sudut kanan masjid Kores 845 Ciamis. "Tapi saya bertanggung jawab atas perbuatan saya," tambahnya. Ia tidak dimasukkan dalam sel karena berjanji tidak akan melarikan diri. Tugasnya sekarang membersihkan masjid di Kores Ciamis. Korbannya adalah Satiah, 40 tahun. Mula-mula Iwan enggan dan menganjurkan agar Satiah dioperasi saja di RS Tasikmalaya. Tapi karena didesak terus, Iwan turun tangan juga, dengan syarat agar keluarga paslen menyaksikannya. Hari Jumat pagi itu, 30 Juli. Setelah berdoa dan membaca beberapa ayat suci, Iwan menyuntik pasiennya dengan 2 cc obat penghilang rasa nyeri. Lantas ia menoreh leher pasiennya. Segumpal daging merah dikeluarkan Kemudian luka bekas operasi pun dijahit. Bekas luka itu diberi bubuk sulfa nilamide dan salep, lantas diperban. Iwan juga merasa perlu menginjeksi Satiah dengan terramycin sebanyak 2 cc lewat paha. Operasi itu hanya makan waktu sekitar 45 menit. Satu jam kemudian, Satiah sudah bisa berbincang dengan keluarga yang menyaksikan operasinya. Mereka juga makan bersama. Satiah makan bubur, kemudian menelan teracyclin dan CTM, masing-masing satu tablet -- untuk menghilangkan rasa nyeri. Keluarga Satiah pulang. Ia tinggal sementara di rumah Iwan. Tak lama kemudian Satiah merasa sakit. Perut dan pahanya kejang-kejang. Iwan segera mengompres perut dan pahanya dengan air hangat, tapi pertolongan ini tak berpengaruh. Dari jam ke jam Satiah terus mengerang. Ia menggerak-gerakkan pahanya. Lewat tengah hari, keadaannya semakin memburuk. Keluarganya yang lah pulang disusul. Tapi sekitar waktu asar, Satiah, janda itu pun pergi menghadap Tuhannya. Sore itu juga jenazahnya diangkut dengan bis mini ke kampungnya, Karangpari, 10 km dari rumah Iwan. Sukarta Wirya (ayah Iwan) dan Atmadja Natawacana (mertua Iwan) ikut mengantar jenazah tersebut. Tapi sampai di Karangpari, keduanya disandera oleh kepala desa. "SAYA khawatir Iwan melarikan diri, karena itu orang tuanya saya tahan dulu," ujar R. Sukarta, kuwu (lurah) Karangpari. Mendengar itu tengah malam Iwan menyusul ke Karangpari dan bebaslah kedua orang tua tersebut. Keesokan harinya, 31 Juli, ia diserahkan kepada polisi. "Belum ada pengaduan dari keluarga Satiah," ujar Danres 845 Ciamis, Letkol Pol. Hudaya Sumarya minggu lalu. "Tapi Iwan tentu tidak lepas dari hukuman. Tunggu saja prosesnya di pengadilan nanti," tambahnya. Keluarga korban ternyata sudah menandatangani pernyataan tak akan menuntut Iwan. Beberapa orang sedesa yang menjadi pasiennya, dulu dengan mudah disembuhkannya. Misalnya Haib, 50 tahun, (busung perut), Soyi, 50 tahun, (daging tumbuh di belikat), Saja, 42 tahun, (bisul menahun), Barja, 30 tahun, (tumor di pundak), Titi, 8 bulan (tumor di leher). Iwan juga pintar menyembuhkan berbagai penyakit dengan pijatan. Pengetahuan Iwan mengenai cara-cara pengobatan diperoleh ketika ditahan di RTM Kebun Waru Bandung (1974-1978). Ketika itu ia dituduh anggota Gerwani/PKI. Di penjara itulah ia bergaul dengan beberapa sarjana farmasi dan dokter temannya setahanan. Iwan, yang juga sarjana muda IKIP Bandung ini, juga membaca buku-buku kesehatan. Dan jauh sebelumnya, 1971, ia merasa mendapat wangsit untuk menjalankan profesinya baru sebagai penyembuh. Pada suatu hari di malam Jumat, ia bermimpi: Bung Karno menghampirinya, memberinya selembar uang seri Soekarno dan minta dibelikan minyak angin. Sejak itu, ceritanya, ia bisa mengobati orang sakit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus