Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Universitas Syiah Kuala Saiful Mahdi menyampaikan refleksinya selama berada dalam penjara Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh. Pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam itu sempat diterungku 41 hari atas tuduhan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saiful mengatakan pengalaman dipenjara itu membuatnya berefleksi tentang 'perjalanan pulang'. Permohonan amnestinya yang dikabulkan Presiden Joko Widodo, kata Saiful, bak perjalanan pulang yang panjang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Amnesti mungkin dalam pengalaman saya adalah jalan pulang yang panjang," kata Saiful dalam pidato kebebasan akademik pada Kamis, 14 Oktober 2021.
Saiful sebelumnya divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan kurungan. Saiful diseret ke meja hukum karena kritiknya terhadap perekrutan calon dosen di lingkungan Fakultas Teknik Unsyiah Kuala yang diduga tak sesuai prosedur. Dekan Fakultas Teknik melaporkan Saiful dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Saiful bercerita, ia sempat berada dalam fase menolak atau denial ketika permohonan kasasinya ke Mahkamah Agung ditolak pada 29 Juni 2021 lalu. Ia berharap kejadian tersebut hanya mimpi buruk yang akan segera hilang.
"Saya sempat berada dalam lorong tergelap di ruang berpikir yang tadinya terasa begitu merdeka," ujarnya.
Menurut Saiful, ia menyadari permohonan peninjauan kembali (PK) akan berat. Sebab, Kejaksaan Negeri Banda Aceh akan segera mengeksekusi hukuman pidana terhadap dirinya.
Saiful lantas bercerita tentang buku karya James Siegel, peneliti tentang Aceh asal Amerika Serikat, yang berjudul The Rope of God (Berpegang pada Tali Tuhan). Siegel, kata Saiful, menulis bahwa orang Aceh, termasuk mantan Gubernur Aceh Daud Beureueh, sering mengatakan 'berserah kepada Allah atau Tuhan'.
"Saya berpikir adakah berpegang teguh pada tali Tuhan adalah sebuah perjalanan pulang," kata Saiful.
Mengingat buku tersebut, Saiful lantas memilih untuk menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun, ia memaknai penyerahan diri itu bukan bentuk menyerah dan berhenti berusaha. Hal itu dianggapnya sebagai ikhtiar terakhir ketika semua usaha sudah dilakukan.
"Saya pun memilih untuk tidak menyerah tapi menyerahkan diri pada Yang Maha Kuasa. Tawakal, berserah diri, saya serahkan semuanya pada Allah, pada ruang yang mungkin saya tidak sanggup gapai," ujarnya.
Saiful mengaku sempat merasa perjuangannya mencapai titik akhir ketika Kejaksaan mengeksekusi hukuman pidananya pada 2 September lalu. Ia sempat meminta agar eksekusi itu diundur pada 3 September.
Alasannya, 2 September merupakan Hari Pendidikan Daerah sekaligus Dies Natalis Universitas Syiah Kuala tempatnya mengabdi selama 27 tahun. Permintaan itu tak dikabulkan. Ia pun berpikir untuk mengikhlaskan kemerdekaan yang selama ini menjadi miliknya.
Namun, dukungan dari tim advokasi dan jaringan masyarakat sipil, baik nasional maupun internasional, terus mengalir dan akhirnya menghasilkan titik terang. Mereka mengupayakan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo untuk Saiful Mahdi.
Pada 29 September lalu, Surat Presiden tentang amnesti Saiful dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian dalam rapat paripurna 7 Oktober, DPR menyetujui pemberian amnesti itu. Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden amnesti pada 12 Oktober dan Saiful Mahdi bebas sehari setelahnya.
Meski begitu, Saiful mengaku tak tahu apakah amnesti ini akan menjadi jalan pulangnya kembali ke Unsyiah Kuala.
"Saya sendiri tidak tahu akankah amnesti ini menjadi jalan pulang untuk saya ke rumah yang sudah 27 tahun menjadi tempat pulang. Sekali lagi saya pulang pada makna ketiga, menyerahkan diri, tawakal. Teman-teman yang lebih mengerti hukum mungkin dapat membantu saya untuk meng-clear-kan jalan pulang itu," ucap Saiful Mahdi soal reflekasi amnesti.