GERIMIS malam baru reda, ketika Mastiah, 25 tahun, yang seharian bekerja di kebun, sampai di rumahnya. Ia ingin cepat masuk rumah. Tapi rumah itu terkunci rapat dan gelap. Berkali-kali ia mengetuk tak ada sahutan. Ibu seorang anak yang berwajah cantik ini heran. Di mana gerangan Sadik, suaminya? Pada saat bimbang itu, tiba-tiba dari kegelapan muncul dua sosok bayanyan. Bukan suaminya, tapi tetangga sebelah Rahmadi dan Sugianto. "Mari kubantu membuka pintu," kata Rahmadi, yang tak lain paman dari Sadik. Pintu pun didobrak dan jebol. Tapi langkah ketiga orang itu tertahan. Di dalam rumah tubuh Sadik menggelayut kaku di kuda-kuda bubungan. Lehernya terjerat tali nilon hijau, lidahnya terjulur, dan matanya membelalak. Melihat pemandangan mengerikan itu, Sugianto lari ke luar rumah. "Sadik gantung diri . . . ," teriaknya berulang-ulang. Teriakannya membuat warga Dusun Carang Talu, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang jaraknya berjauhan berdatangan. Nasir, ketua RT setempat, segera lapor ke Polsek Sungai Pinang yang jaraknya 40 km. Baru keesokannya polisi, disertai dokter puskesmas, datang. Penyidikan dan visum dr. Abdullah menyimpulkan, Sadik bukan bunuh diri tapi dianiaya. Sebab, lidah yang menjulur itu tergigit, dan kedua kakinya membengkak, patah. "Kami yakin korban digantung, bukan gantung diri," kata Kasatserse Polres Banjar, Y. Notanubun. Seketika polisi bergerak. Jaini, alias Ijai 25 tahun, anak tiri Rahmadi ditangkap. Pencidukan itu bukan tanpa alasan. Sebab dua jam sebelumnya, ia terlibat baku hantam dengan korban. Sore itu, pada 14 Desember 1989, Ijai memergoki istrinya Fatma, 22 tahun, tengah bergumul dengan Sadik -- di kebun pisang belakang rumahnya. Saat itu ia sempat menghajar Sadik, tapi ia membantah membunuh. Malah, katanya, yang berang atas peristiwa itu justru Rahmadi, ayah tirinya. "Sekarang ceraikan saja istrimu. Soal Sadik itu urusanku," kata Ijai menirukan ucapan Rahmadi. Malam itu juga Ijai menceraikan Fatma. Polisi tentu tidak percaya begitu saja. Tapi, setelah tiga hari menahan Ijai di Polres Banjar, polisi terpaksa melepas terdakwa karena tak cukup bukti untuk menuntutnya. Sangkaan beralih pada Rahmadi dan Sugianto."Soalnya, mereka kok tiba-tiba muncul saat Mastiah menggedor-gedor pintu," ujar Notanubun. Pemeriksaan lancar. Rahmadi dan Sugianto mengaku terus terang telah membunuh Sadik. Rahmadi, menurut versi polisi, merasa dipermalukan Sadik, yang berani serong dengan menantunya. Sementara itu, Sugianto dipilih membantu karena sudah lama orang ini, diam-diam, mencintai Mastiah. Rencana pembunuhan disusun seusai Ijai menceraikan Fatma. Karena kejahatan itu Jaksa Rusthamrin menuntut kedua terdakwa masing-masing 5 tahun penjara. Tetapi, di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Martapura, kedua terdakwa, yang didampingi Pengacara Sabri Noor Herman, membantah semua tuduhan. "Kami terpaksa mengaku karena dipukuli dalam pemeriksaan," tutur Rahmadi, sambil menunjuk benjolan pada lehernya. Keterangan saksi pun tak ada yang memberatkan dakwaan. Majelis hakim yang diketuai Waldemar Purba, Sabtu dua pekan lalu, ternyata membebasmurnikan kedua terdakwa. Sekaligus pula hakim memerintahkan agar Ijai ditahan. Ijai, yang di persidangan ayah tirinya hanya jadi saksi, dinilai hakim telah memberikan keterangan palsu. "Ia memberi keterangan tidak konsisten dan berubah-ubah, padahal sudah disumpah," kata Waldemar kepada TEMPO. Jadi, Ijaikah pembunuhnya? "Itu tergantung polisi yang mengusut," kata Waldemar. Teka teki kisah cinta, seks, dan pembunuhan di pedalaman ini ternyata tak kurang rumitnya. Aries Margono dan Almin Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini