Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Kiai as'ad selesai memikul amanah

Kiai haji as'ad syamsul arifin,pimpinan pesantren salafiyah syafiiyah meninggal dunia dalam usia 93 tahun. dimakamkan di pemakaman keluarga. kini pondoknya diwariskan kepada putranya,fawaid.

11 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GURATAN tajam menghiasi wajah Kiai Haji As'ad Syamsul Arifin. Lebih dari sekadar tanda usianya lanjut, raut mukanya niscaya menyimpan riwayat dan pengalaman sarat. Kebolehannya merumuskan pendapat secara jernih, itu pertanda ia memiliki tradisi aktif berpikir dan bekerja sepanjang hayatnya. Di kediamannya, Sabtu pagi 4 Agustus lalu, Kiai meninggal dalam usia 93 tahun. Diantar puluhan ribu pelayat, jenazah pimpinan Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, ini dikebumikan di pemakaman keluarga. Masih di lingkungan pondok. Ia meninggalkan enam anak, sepuluh cucu, delapan cicit. Meminjam istilah dai beken K.H. Zainuddin MZ, yang bisa mencapai usia lebih dari 63 tahun (umur Nabi Muhammad Saw. saat wafat) berarti ia diberkahi umur ekstra dari Allah. Kiai As'ad, bekas pendekar silat itu, meraih bonus dimaksud. Tidak sia-sia. Pesantren itu satu saksi hidupnya. Kiai lahir di Kampung Syiib Ali, Mekah. Ayahnya, Haji Syamsul Arifin -- atau, Raden Kiai Haji Ibrahim bin Kiai Haji Ruhan. Di Desa Kembang Kuning, Pamekasan, Madura, keluarga ini keturunan "darah biru" yang masih berkaitan dengan kerabat Sunan Ampel. Diwarisi gelar raden, tak sekadar ia ningrat. Ini juga singkatan dari rais dien, pemuka agama. Dan As'ad (kata Arab artinya: membahagiakan) memikul pasangan namanya sebagai amanah yang dihayati dengan segenap jiwa raga. Ia diboyong mudik ke Madura saat usia 6 tahun. Di kampungnya itu, ayahnya membangun pesantren kecil. Pada umur 11 tahun, As'ad diajak ayahnya merantau lagi. Mereka meneruka hutan di Asembagus, Jawa Timur. "Dulu tak ada manusia di situ, kecuali harimau dan ular," kenangnya kepada TEMPO. Dibantu para pengikut, enam tahun kemudian, hutan alas Sukorejo itu bersalin rupa menjadi pesantren yang berkembang semarak. As'ad tekun membaca kitab agama, koran, majalah, dan mengikuti siaran berita TVRI. "Membaca dan belajar itu tidak boleh berhenti. Tak ada batasnya sampai masuk ke liang kubur," ujarnya kepada majalah Matra edisi terbaru. Dibawa ayahnya bergaul dengan sejumlah kiai, seperti K.H. Cholil di Bangkalan dan K.H. Hasyim Asy'ari di Jombang, kelak dikenang sebagai perkenalan dengan guru besar yang berpengaruh dalam pembinaan selanjutnya. Dengan dua tokoh ulama inilah ia kemudian terlibat merintis NU (Nahdatul Ulama). Berangkat remaja, ia ke Mekah lagi mendalami agama. Pada usia 17 tahun, As'ad mudik kembali. Sepuluh tahun kemudian, 1924, baru ia mengajar di pesantren ayahnya. As'ad memajukan sistem pengaaran di pondoknya. Dibukanya madrasah ibtidaiyah, lalu 1943 disusul tsanawiyah, dan sekaligus aliyah. Setelah lulus, ayahnya menyerahkan tongkat estafet memimpin pondok itu. Bukan cuma agama yang ditekuninya. Ia juga belajar silat dan ilmu kanuragan (kekuatan fisik). Jangan heran jika pada masa Revolusi Kemerdekaan, ia memimpin barisan Hisbullah Sabilillah melawan penjajah. Namun, As'ad dan pesantran tetap manunggal. Juga dengan NU, yang membawanya sebagai anggota Konstituante (1957-1959). Tapi sekembalinya ke pesantren, hatinya pilu melihat keadaan bagai kerakap tumbuh di batu. "Terlalu lama saya tinggalkan untuk urusan politik," katanya. Ia mengoreksi langkah. Misalnya tawaran jadi Menteri Agama dari Presiden Soekarno ditampiknya. Ketika NU morat-marit di gelanggang politik, As'ad mengajak kembali ke Khittah 26: NU itu organisasi sosial kemasyarakatan, dan tak berkiprah di politik: "Karena itulah NU yang asli. Itu juga titipan K.H. Hasyim Asy'ari pada saya, sebelum meninggal," katanya. Alih generasi di pondoknya efektif sejak tahun lalu. Fawaid, 23 tahun, anak kelima sebagai pewaris tongkat komando. Ia tak dilepas ke Mekah. "Di sini Abah ingin ditemani," kenangnya kepada Zed Abidien dari TEMPO. Tapi Cholil, adiknya dari lain ibu, boleh ke Mekah, dan nanti diharap membawa bekal ilmu untuk pondoknya. Kiai As'ad terbiasa berpakaian putih-putih. Kuda kesayangannya juga putih. Namun, ia tak ingin berputih mata terhadap Ketua PB NU Abdurrahman Wahid. Ia dianggapnya mengganjil dengan gagasan menukar asslamu'alaikum jadi selamat pagi, Rukun Islam yang lima perlu ditambah satu dengan keadilan sosial. "Dari sisi etika NU, ini nyleneh, karena dia Ketua PB NU," ujarnya. "Saya tidak suka perbuatannya. Saya nanti masuk, bertanggung jawab di hadapan Allah bila diam saja." Puncaknya, ia ber-mufaraqah (pisah) dari kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Kiai bukan mufaraqah dengan NU. "NU akan saya bawa mati " ucapnya seperti diceritakan H.M. Munasir kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Menurut Rois Syuriah PBNU itu, rekaman ucapan As'ad tadi ada pada K.H. Yusuf Hasyim. Bicaranya memang ceplas-ceplos. Bahkan ia sigap membalik soal. Contoh, "Pak Wartawan, kenapa terus memancing saya. Mau nulis pertentangan di tubuh NU? Lebih baik Ente menulis tentang pondok. Pondok ini mandiri, tak dibiayai pemerintah. Bisa maju, dan mencetak ratusan kader ulama tiap tahun." K.H. Ahmad Siddiq, Rois Am PB NU, pada malam tahlilan pertama, melontarkan gagasannya: Kiai As'ad layak diberi gelar Pahlawan Nasional. Sedangkan Pangdam Brawijaya Mayjen. R. Hartono, yang melayat Minggu siang, menilai Kiai As'ad ulama sepuh berpikiran maju. "Setahun belakangan, saya ini siap-siap, karena sudah melihat malaikatul maut itu," kata Kiai As'ad kepada M. Baharun dari TEMPO. Menjelang akhir hayat, ia secara khusus mengirim surat kepada Pengurus Besar (PB) NU di Jakarta. Isinya, antara lain, mengingatkan Khittah-26 dilaksanakan dalam pengamalan. Jangan membawa NU ke mana-mana. NU harus tetap NU. Ini wasiat K.H. Hasyim Asy'ari. Di bagian akhir surat berisi 3 pasal itu, Kiai As'ad berpesan agar tiap langkah organisasi harus didasari hukum syara'. Dan itu kesepakatan dari musyawarah, bukan perorangan. Demikianlah wasiat almarhum yang ditulisnya lima hari sebelum menutup mata kembali ke hadirat Allah Rabbul Alamin. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus