SIAPA yang tega melihat ibu kandungnya disalib dan dipukuli? Tidak juga seorang anak lelaki yang baru berusia 12 tahun, Sembiring, kendati yang menganiaya ibunya adalah ayah kandungnya sendiri, Jurpa Sembiring. Ia nekat mencabut belati dan langsun menikam ayahnya itu tewas. Tapi karena itu, akhir bulan lalu Pengadilan Tinggi Sumatera Utara memvonis anak di bawah umur itu enam tahun penjara - lebih berat dua tahun dari vonis Pengadilan Negeri Kabanjahe sebelumnya. Peristiwa yang memilukan di Tanah Karo itu bermula dari sekaleng padi. Suatu pagi, 17 Maret lalu, Sembiring disuruh ibunya menjual padi itu untuk membeli kebutuhan lauk mereka. Si anak yang patuh itu melego padinya ke tetangga dengan harga Rp 2.500. Oleh ibunya, Ngarap boru Karo, 60, hasilnya dibelikan ikan asin, garam, dan minyak lampu. Kebetulan ketika itu Jumpa lagi keluar rumah melayat orang meninggal. Tapi, Jumpa, 65, yang dikenal penduduk desa itu malas dan suka memukul anaknya, ternyata, berang ketika mengetahui padi -- hasil garapan istrinya -- dijual dan uangnya dibelikan lauk. Ia langsung memukul anaknya. Si anak lari. Tapi ibunya yang kemudian menjadi korban. Wanita tua itu diikat ke tiang rumah -- seperti disalib -- kemudian dipukuli dengan sapu. Setelah puas, Jumpa keluar rumah minum kopi. "Ia memang kejam suka memukul anak dan istrinya. Saya pernah melihat dia memburu anaknya dengan parang -- untung, anak itu cepat larinya," kata Lompoh boru Pinem, istri kepala desa di situ. Tengah malam si anak, melalui celah gubuknya yang bolong, mencoba mengintip nasib ibunya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ayahnya ada di rumah. Keesokan harinya ia kembali mengintip. Ibunya masih terikat seperti kemarin, sementara ayahnya lagi mandi di tempat pemandian umum. Tapi ia tidak segera membebaskan ibunya, melainkan mengambil belati, yang kebetulan ada tergeletak di gubuk itu. Dengan senjata itu, ia menyusul ayahnya yang sehabis mandi, rupanya, minum kopi di warung dekat rumahnya. Seketika ia menikam ayahnya, yang lagi santai membaca koran di warung itu. Jumpa, yang terluka pada lambung kanannya, mencoba mengejar anaknya. Tapi di tengah jalan ia tersungkur. Ia meninggal di puskesmas. Segera setelah menikam ayahnya, Sembiring kembali ke rumah dan membuka ikatan yang menyiksa ibunya. "Mari kita pergi, Bu, Ayah sudah kutikam," katanya. Jaksa Djafar Damanik, yang membawa anak itu ke sidang, menuntut agar Sembiring dijatuhi hukuman 9 tahun penjara. Alasannya: anak itu memang merencanakan membunuh ayahnya. "Saya heran kenapa jaksa itu hanya berpegang kepada segi yuridis, tanpa mempertimbangkan faktor kejiwaaan dan sosial ahk kecil itu," komentar Pengacara Jernih Tarigan, Bc. Hk., yang membela Sembiring kecil itu. Tuntutan Djafar itu, menurut Hakim T.H.S. Pardede yang kemudian menvonis 4 tahun penjara, menyulitkan posisinya sebagai hakim. "Saya sampai berpikir tiga kali sebelum memutuskan vonis itu," kata Pardede, yang mengaku mengambil putusan itu dengan berat hati. Toh Jaksa Djafar masih naik banding atas putusan itu. Sebab, bila vonis hakim di bawah separuh dari tuntutan -- menurut edaran Jaksa Agung -- harus dibanding. Majelis Hakim Banding, Rizora Effendi, H.P. Panggabean, dan Soedijono, mengabulkan permohonan jaksa dan memperberat hukuman manjadi 6 tahun. Kok semakin berat? "Saya memvonisnya bukan dengan maksud menghukumnya, tapi justru untuk mendidiknya. Hukuman enam tahun itu, saya rasa, cukup memadai untuk mendidiknya di LP anak-anak di Tanjung Gusta, Medan. Di situ nanti ia 'kan bisa belajar membaca dan menulis serta agama," kata Rizora. Mendidik atau apa pun namanya, yang jelas, sampai pekan lalu Sembiring masih mendekam di LP Kabanjahe -- penjara untuk orang dewasa -- dan kesepian. Sejak menghuni LP itu, tidak sekali pun ia dijenguk keluarganya. "Mereka memang sangat miskin, bahkan juga untuk bisa menjenguk anak itu," kata Jernih. Sembiring, ketika dikunjungi TEMPO, hanya bisa menunduk menahan tangis di balik terali besi. "Aku menyesal, Bang," katanya perlahan, seakan-akan memastikan dirinya sebagai pembunuh. Nasib yang menimpa Sembiring memang beda bila dibandingkan dengan seorang remaja di California, Amerika Serikat, yang bertindak seperti dia. Robert Lee Moody juga mempunyai seorang ayah yang kejam, Robert Ira Moody. Ira Moody dikenal suka memukul anaknya. Bahkan seorang anak lelaki tertuanya diirisnya dengan obeng sehingga kepala si anak terluka -- anak itu kini dirawat di rumah sakit iiwa. Lelaki itu juga terbukti -- belakangan -- menyalahgunakan kekuasaannya sebagai ayah dengan memperkosa dua orang anak perempuannya yang tengah remaja. Bahkan seorang anak gadisnya yang baru berusia 11 tahun pun sudah dirayunya. Guna melengkapi kebejatannya: untuk membeli sebuah kapal pesiar, dia tega memaksa istrinya melacurkan diri. Begitulah, Maret 1983 ketika Lee Moody berusia 18 tahun, ia mendapati ayahnya tengah membenturkan kepala ibunya ke kompor. Anak lelaki itu berusaha mencegahnya, tapi ia diancam ayahnya akan dibunuh. Setelah itu, katanya, ia mendapat "petunjuk Tuhan": Dengan sebuah senjata api ia habisi ayahnya. Hakim yang memeriksa kasus itu, Eric Younger, dibanjiri surat dari seluruh lapisan masyarakat yang menyatakan simpati kepada Lee Moody. Hakim itu kemudian, Maret 1984, memang menjatuhkan hukuman yang ringan buat anak muda itu: lima tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun bekerja di organisasi sosial di luar negeri. Kini Robert Lee Moody bekerja sebagai pekerja sosial di kamp pengungsi Vietnam di Hong Kong. "Saya memang tidak termasuk hakim yang mengabaikan pendapat umum," kata Eric Younger. Keputusannya itu, katanya, sesuai pula dengan keinginan Lee Moddy -- setelah diwawancarai hakim itu yang ingin bekerja membantu orang miskin. Kisah itu memang terjadi di California, bukan di Desa Lau Pakam, Tanah Karo. Beda memang. K.I. Laporan Muksin Lubis (Medan) & Newsweek
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini