Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Cuka Api, Mafia Gaya Medan

Wartawan harian Sinar Pembangunan Medan, Irham Nasution tewas disiram cuka getah, diduga pembunuhan tersebut berkaitan erat dengan aktivitas alm. membongkar penyelundupan-penyelundupan melalui labuhan bilik. (krim)

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA kekerasan akhir-akhir ini banyak datang dari Sumatera Utara. Selain tentang perampokan, pembunuhan, atau residivis yang dikirim ke Nusakambangan, penyelesaian suatu konflik dikabarkan juga sering dilakukan dengan kekerasan. Tidak terkecuali terhadap para wartawan. Sekurangnya dua kali, wartawan di Rantau Prapat disiram cuka getah yang bisa menghanguskan tubuh. Pertama beberapa tahun lalu, menimpa seorang wartawan harian Sinar Pembangunan Medan. Dan pekan lalu, dialami Irham Nasution, dari harian yang sama, hingga merenggut nyawanya. Sekitar pukul 19.00 WIB, malam itu, Irham Nasution melaju dengan sepeda motornya dari Rantau Prapat menuju perkebunan PTP III di Janji, sejauh 40 km dari Rantau Prapat. Di dekat perkebunan itu, tiga orang pengendara sepeda motor menghentikan Irham. Terjadi dialog antara Irham dengan pencegatnya. Tapi tiba-tiba salah seorang pencegat menyiramkan suatu cairan ke wajah Irham. Cairan yang ternyata cuka getah atau cuka api--bisa menyebabkan semua kulit di tubuh yang terkena menjadi hangus -- membasahi wajah dan jaket yang dipakai Irham. Seketika Irham gelagapan, dan kesempatan itu digunakan pencegatnya untuk kabur. Namun dengan luka-luka bakar akibat sengatan cuka api itu, Irham masih sempat kembali ke rumahnya. Ia menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Setelah itu Irham masih menemui temannya Sadiman, wartawan Bukit larisan (Medan) yang sebelumnya meminjami Irham jaket. Ia menceritakan kepada Sadiman tentang peristiwa penyiraman cuka api itu. Ketiga orang pencegat itu disebutnya, menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Cina. Sadiman membujuk, agar Irham menyebutkan identitas pencegatnya itu, namun Irham menolak. Ketika itulah, Irham yang luka-luka tidak sanggup lagi meneruskan ceritanya, ia pun muntah. Sadiman melarikan rekannya itu ke rumah sakit di Rantau Prapat, Ibukota Kabupaten Labuhan satu, Sum-Ut. Ia sempat diinjeksi perawat yang bertugas malam itu. Tetapi tidak banyak menolong. Irham, 35 tahun, meninggal dunia --meninggalkan seorang istri dengan delapan anak. Sebelum kejadian Selasa malam pekan lalu itu, Irham memang menerima pesan agar datang ke perkebunan "Janji". Namun tidak seorahg pun tahu siapa yang memesannya, karena Irham tidak sempat mengungkapkannya. Juga ia tidak melaporkannya kepada Pemimpin Redaksi Harian Sinar Pembangunan, Ibrahim Sinik di Medan. "Tetapi kami menduga, pesan itu hanya pancingan dari orang yang mencelakakannya," ujar Ibrahim Sinik. Selalu Gawat Ibrahim menggambarkan Irham, sebagai wartawan yang berani. Akhir-akhir ini wartawan yang bertugas di Kantau Prapat (sekitar 350 km dari Medan) itu rajin mengirim berita penyelundupan dan masalah tanah. Antara lain, Irham gigih membongkar penyelundupan-penyelundupan barang mewah melalui Labuhan Bilik dari Malaysia. Sebab itu, kuat dugaan pembunuhan terhadapnya berkaitan erat dengan aktivitasnya membongkar penyelundupan-penyelundupan itu. "Ia hanya sekali-kali membuat berita, tetapi isi beritanya selalu gawat," tambah Asmas Tatang Amara, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Sinar Pembangunan. serbagai reaksi datang atas peristiwa itu, baik dari DPR Pusat maupun PWI Pusat. Polisi didesak agar segera mengungkapkan latar belakang pembunuhan itu. Syufri Helmi Tanjung dari Fraksi l'PP menyebut pembunuhan itu sebagai gaya "mafia". Ternyata sebelum reaksi bermunculan, Kadapol 11 Sum-Ut, Brigjen J.F.R. Montolalu sudah memerintahkan Danres Labuhan Batu mengusut perkara itu sampai tuntas. Perintah yang dikeluarkan dua hari setelah kejadian itu, juga sudah menjadi tekad polisi Labuhan Batu. "Ini tidak boleh jadi preseden, " ujar Kapten B. Simangunsong kepada Kompas di Rantau Prapat. Preseden yang dikhawatirkan Simangunsong sebenarnya pernah terjadi, di Rantau Prapat. Waktu itu, 18 Agustus 1976, wartawan Medan juga, Husni Hasibuan mengalami penganiayaan serupa. Malam itu ia lagi mengetik, ketika ada ketukan di pintu rumahnya. Tanpa curiga Husni membuka pintu, dan pada saat itulah siraman air cuka api menghambur ke wajahnya. Ia menjerit kesakitan karena merasa wajah dan dadanya terbakar. Nyawa Husni berhasil ditolong di rumah sakit Medan, meskipun wajah dan dadanya cacat. Sebelah matanya pun rusak akibat siraman itu. Tetapi sampai saat ini siapa pelakunya tidak terungkap. Bahkan, "polisi mengatakan, berkas kejadian yang saya alami itu sudah hilang," ujar Husni yang sekarang anggota DPRD Labuhan Batu, kepada Sinar Harapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus