Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengapa harus berpolitik bantuan hukum diragukan

Perkembangan lbh dan keadaan usaha bantuan hukum di berbagai daerah. lbh tak menolak dituduh berpolitik, juga menerima bantuan dari luar negeri untuk perjuangan hak asasi. (hk)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH tahun yang lalu. Kritik dan demonstrasi terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) berlangsung dan menjadi peris, jiwa politik yang panas. Ketika itulah, sekitar 500 kepala keluarga, mewakili 2000 penduduk yang tergusur dari Lubang Buaya, berbondong-bondong ke LBH. Masih berkantor di rumah kontrakan, di Jalan Ketapang, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta yang baru berumur dua bulan itu mulai menempatkan diri di antara kericuhan pro dan kontra kebijaksanaan pemerintah. LBH juga harus berhadapan dengan Pemda DKI Jakarta, donatur utamanya, yang mewakili pemerintah untuk proyek yang nonbudgetair tersebut. Tapi ketika itu tak ada yang menuduh proyek percontohan bantuan hukum bagi si miskin dan buta hukum milik Peradin (organisasi advokat) tersebut berpolitik. Dan sejak itu kegiatan LBH, dipimpin Advokat Adnan Buyung Nasution, macam-macam. Yang pertama hanya membela perkara biasa di luar dan di pengadilan. Baik perkara perdata, pidana, maupun perkara jenis politik. Ada yang bersifat perorangan. Banyak juga yang bersifat massal - membela penduduk yang tergusur dari pemukimannya atau mengurus perkara perburuhan. Menyusul berbagai bentuk penataran (bagi pengacara muda maupun wartawan dan penerangan hukum digiatkan. Lalu menerbitkan pleidoi Herry Akhmadi dan dua judul buku Laporan Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesa. Masih diselang-seling berbagai pernyataan Buyung Nasution -- entah sebagai ahli hukum atau Direktur LBH -- yang mengecam Kopkamtib (yang disebutnya sebagai "lembaga yang tidak konstitusional"), UU Subversi ("yang dapat menjerat semua kegiatan warganegara"), maupun praktek-praktek penegakan hukum yang dianggapnya timpang. Apa tujuan LBH dengan semua itu? Adalah Menteri Penerangan Ali Murtopo yang menilai LBH telah berpolitik dan komersial (TEMPO, 6 Juni 1981). Menpen tidak menunjukkan suatu bukti memang telah terjadi suatu peran di LBH. Tanda-tandanya terlihat ke luar ketika 9 dari 10 pembela umum tahun lalu mendadak keluar dari lembaga itu. Alasan mereka, seperti terbaca pada surat pernyataan para pembela tadi, kurang lebih: Pimpinan LBH mulai bermain politik. Seorang bekas pembela yang ikut meneken pernyataan itu kemudian mengatakan: "Jadi ada benarnya juga apa yang dikatakan Ali Murtopo." Buktinya? "Pimpinan LBH kini lebih banyak berpikir secara politik daripada urusan perkara," katanya. Porsi urusan perkara, yang disebut litigasi, katanya, merasa kurang diperhatikan. Sementara yang nonlitigasi -- seperti peneranga hukum, penataran, penerbitan buku, makin menonjol, begitu pula dananya Direktur LBH, Abdurahman Saleh membenarkan bahwa dana nonlit beberapa kali lipat dibanding lit. Buyung, yang sekarang Ketua YLBHI (Yayasan LBH yang menjadi pusat LBH-LBH Peradin), juga mengangguk. Tapi aktivitas nonlit yang menonjol, yang membuat LBH dituduh berpolitik, sama sekali tidak membuatnya risi. "Tuduhan tersebut memang cukup berdasar," katanya. Sebab, beberapa jenis perkara, sikap dan ide bantuan hukumnya sendiri "membenarkan tuduhan, bahwa LBH punya sikap dan pendirian politik -- hal itu justru yang membuat saya bangga," ujar Buyung. LBH diresmikan April 1971. Perkara demi perkara selesai dari kantor kotrakan satu ke yang lain, sampai kemudian dari kantor megah di Jalan Diponegoro 74 Jakarta. Sekitar 13 ribu perkara yang menyangkut 30 ribu klien telah digarap LBH. Penduduk Lubang Buaya, yang pemukimannya terkena Proyek TMII, berhasil diusahakan LBH memperoleh tambahan ganti rugi dan tempat penampungan. Begitu juga penghuni Kampung Simprug yang kini menjadi daerah perumahan mewah. Ditambah banyak mengurus perkara perumahan, perburuhan dan macam-macam perkara pidana, LBH memang bisa berdiri sebagai lembaga terkenal pembela si miskin dan buta hukum. "Dari situ saja LBH sudah cukup mempunyai nama baik," kata Buyung. Lebih dari itu, katanya pula, "bantuan hukum jadi memasyarakat -- sehingga kini di manamana muncul lembaga atau badan bantuan hukum." Semula (1972) Kopkamtib memang melarang Peradin membuka LBH di daerah. Belakangan larangan tersebut dapat ditembus. Kini, seperti tampak dalam rapat kerja YLBHI seusai Konxres Peradin ke VI di Bandung, minggu lalu, Peradin telah memiliki LBH di Padang, Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Yogya dan Surabaya. Di samping itu juga bermunculan lembaga atau badan bantuan hukum non-Peradin. Di Jakarta entah berapa puluh yang lahir, di samping Pusbadhi (yang dipimpin anggota MPR R.0. Tambunan), LPPH-Golkar (yang dibentuk FKP dan dipimpin Albert Hasibuan) dan HPHI (diketuai Budhi Sutrisno). Belum lagi yang bermunculan di daerah, selain di setiap fakultas hukum di universitas-universitas. Pemunculan lembaga dan badan-badan bantuan hukum tersebut, menurut Buyung, tak hanya mengikuti jejak LBH. Ada juga, katanya terus terang, yang terbentuk sekedar mengharap dana bantuan hukum ratusan juta rupiah yang disediakan pemerintah dalam Pelita III. Setelah gagasan bantuan hukum bagi si miskin masuk GBHN, pemerintah memang menyediakan dana. Tahun ini lumayan juga: Rp 800 juta -- Rp 400 juta disalurkan melalui pengadilan dan selebihnya melalui lembaga bantuan hukum universitas. CUMA pelaksanaannya kelihatannya seret. LBH Jakarta, misalnya, yang merasa telah mengrus 10 perkara atas permintaan pengadilan sejak beberapa bulan lalu hingga kini belum juga memperoleh dana tersebut. Di mana macetnya? Dirjen Peradilan Umum Soeroto tak tahu menahu. Katanya, bantuan hukum memang sudah memasyarakat, tapi "dananya belum". Memasyarakatnya bantuan hukum antara lain karena LBH cukup punya nama baik tak hanya di Jakarta. "Tapi nama baik saja tak cukup bagi LBH," kata Buyung, pengacara yang rambutnya sudah memutih tersebut. Sebab, dari pengalaman membela ke sana ke mari, Buyung melihat "banyak yang tak beres di sekitar kita." Lihatlah misalnya, katanya, "meski sudah sekian kali LBH menyelamatkan pesakitan, masih sekian kali pula terdengar kesewenang-wenangan polisi memperlakukan tersangka." Beberapa kali LBH menolong penduduk memperoleh pemukiman baru setelah digusur dari tempat tinggalnya yang terkena sesuatu proyek. Namun masih saja terjadi penggusuran secara tidak adil. Begitu juga perselisihan perburuhan. Tak bisa dihitung lagi, berapa kali pembela harus berdebat dengan jaksa atau hakim, mengenai peraturan perundang-undangan yang tak semestinya diterapkan bagi warganegara merdeka. Keadaan tersebut, menurut Buyung merupakan "ketidakadilan struktural yang sudah mapan." Dan itu, katanya, tak mungkin diatasi dengan kegiatan litigasi seperti dilakukan delapan tahun pertama usia LBH. Maka belakangan Buyung memperkenalkan "bantuan hukum secara struktural" dengan meningkatkan kegiatan nonlitigasi. Kegiatan tiga tahun belakangan itulah yang membuat LBH kelihatan berpolitik. Reaksi pertama ternyata muncul dari para pembela umumnya sendiri. Apalagi, untuk kegiatan nonlit, LBH merekrut tenaga-tenaga yang menurut tuduhan para pembela umum ketika itu: "Suatu kelompok yang hendak memperpolitikkan LBH." Buyung geleng kepala: "Mereka tidak mengerti bahwa tujuan LBH tak akan tercapai hanya dengan bantuan hukum secara tradisional saja." Lembaga, ujar Buyung, tidak hanya perlu "tukang bela perkara". Tapi juga memerlukan ahli hukum "yang punya wawasan sebagai pejuang." Sikap Buyung, mengenai bantuan hukum struktural, mendapat dukungan mutlak dari para advokat yang berkongres di Bandung minggu lalu. Pengacara-pengacara sepuh yang ikut melahirkan LBH, seperti Mr. Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien dan Soekardjo, bahkan tak peduli akan tuduhan Ali Murtopo terhadap LBH. "Berpolitik? Apa salahnya kalau kegiatan LBH seperti sekarang disebut berpolitik?" ujar Lukman. Ada juga yang merasa tak enak mendengar tuduhan Ali Murtopo. Sebuah sumber di kalangan Peradin malahan menyatakan ada pengurus salah sebuah LBH daerah yang ketakutan. Ia membolos dari rapat kerja YLBHI, seusai Kongres Peradin, karena memang tak menyetujui "bantuan hukum struktural" yang menurut dia sudah nyata-nyata berpolitik. Tuduhan lain dari Ali Murtopo yang tak diakui -- baik oleh Buyung maupun advokat lain -- adalab perihal "LBH telah bersifat komersial". Sumbangan sukarela dari klien, "sepanjang tidak sebagai honor pembelanya," menurut Albert Hasibuan, salah seorang pendiri LBH "Masih belum disebut komersial". Namun, meminta sumbangan dari luar negeri untuk "kampanye" seperti dilakukan LBH, menurut Pengacara non-Peradin, Budhi Sutrisno, "namanya sudah komersial". LBH, menurut Buyung, memang menerima bantuan dari Amerika (melalui Bord Foundation) dan Negeri Belanda (Novib). Untuk keperluan "proyek" dan pembeli kantor yang sekarang, menurut Buyung, selama ini LBH mendapat bantuan dari kedua negeri itu sekitar Rp 50 juta. T. Mulya Lubis, Direktur LBH yang lain, menyatakan: "Apa salahnya meminta dana dari luar?" Perjuangan hak sasi, katanya, kini sudah menjadi masalah dunia. Apalagi, katanya, secara teoritis kemiskinan di sini adalah produk negara-negara maju. Yang penting, kata Buyung, "dalam memintanya kami tidak 'menjual' kebobrokan di sini -- tapi dengan menunjukkan program perbaikan." Namun, pengacara senior, seperti bekas Ketua Peradin, S. Tasrif, yang minggu lalu menyerahkan jabatannya kepada kongres, tanpa komentar lebih banyak berpendapat lain: "Bagi saya kok kurang sreg menerima bantuan asing untuk memperjuangkan hak asasi.."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus