SEPULUH tahun yang lalu. Kritik dan demonstrasi terhadap
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) berlangsung dan
menjadi peris, jiwa politik yang panas. Ketika itulah, sekitar
500 kepala keluarga, mewakili 2000 penduduk yang tergusur dari
Lubang Buaya, berbondong-bondong ke LBH.
Masih berkantor di rumah kontrakan, di Jalan Ketapang, LBH
(Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta yang baru berumur dua bulan itu
mulai menempatkan diri di antara kericuhan pro dan kontra
kebijaksanaan pemerintah. LBH juga harus berhadapan dengan Pemda
DKI Jakarta, donatur utamanya, yang mewakili pemerintah untuk
proyek yang nonbudgetair tersebut.
Tapi ketika itu tak ada yang menuduh proyek percontohan bantuan
hukum bagi si miskin dan buta hukum milik Peradin (organisasi
advokat) tersebut berpolitik. Dan sejak itu kegiatan LBH,
dipimpin Advokat Adnan Buyung Nasution, macam-macam. Yang
pertama hanya membela perkara biasa di luar dan di pengadilan.
Baik perkara perdata, pidana, maupun perkara jenis politik. Ada
yang bersifat perorangan. Banyak juga yang bersifat massal -
membela penduduk yang tergusur dari pemukimannya atau mengurus
perkara perburuhan.
Menyusul berbagai bentuk penataran (bagi pengacara muda maupun
wartawan dan penerangan hukum digiatkan. Lalu menerbitkan
pleidoi Herry Akhmadi dan dua judul buku Laporan Hak-Hak Asasi
Manusia di Indonesa. Masih diselang-seling berbagai pernyataan
Buyung Nasution -- entah sebagai ahli hukum atau Direktur LBH --
yang mengecam Kopkamtib (yang disebutnya sebagai "lembaga yang
tidak konstitusional"), UU Subversi ("yang dapat menjerat semua
kegiatan warganegara"), maupun praktek-praktek penegakan hukum
yang dianggapnya timpang.
Apa tujuan LBH dengan semua itu? Adalah Menteri Penerangan Ali
Murtopo yang menilai LBH telah berpolitik dan komersial (TEMPO,
6 Juni 1981).
Menpen tidak menunjukkan suatu bukti memang telah terjadi suatu
peran di LBH.
Tanda-tandanya terlihat ke luar ketika 9 dari 10 pembela umum
tahun lalu mendadak keluar dari lembaga itu. Alasan mereka,
seperti terbaca pada surat pernyataan para pembela tadi, kurang
lebih: Pimpinan LBH mulai bermain politik. Seorang bekas pembela
yang ikut meneken pernyataan itu kemudian mengatakan: "Jadi ada
benarnya juga apa yang dikatakan Ali Murtopo."
Buktinya? "Pimpinan LBH kini lebih banyak berpikir secara
politik daripada urusan perkara," katanya. Porsi urusan
perkara, yang disebut litigasi, katanya, merasa kurang
diperhatikan. Sementara yang nonlitigasi -- seperti peneranga
hukum, penataran, penerbitan buku, makin menonjol, begitu pula
dananya Direktur LBH, Abdurahman Saleh membenarkan bahwa dana
nonlit beberapa kali lipat dibanding lit.
Buyung, yang sekarang Ketua YLBHI (Yayasan LBH yang menjadi
pusat LBH-LBH Peradin), juga mengangguk. Tapi aktivitas nonlit
yang menonjol, yang membuat LBH dituduh berpolitik, sama sekali
tidak membuatnya risi. "Tuduhan tersebut memang cukup berdasar,"
katanya. Sebab, beberapa jenis perkara, sikap dan ide bantuan
hukumnya sendiri "membenarkan tuduhan, bahwa LBH punya sikap dan
pendirian politik -- hal itu justru yang membuat saya bangga,"
ujar Buyung.
LBH diresmikan April 1971. Perkara demi perkara selesai dari
kantor kotrakan satu ke yang lain, sampai kemudian dari kantor
megah di Jalan Diponegoro 74 Jakarta. Sekitar 13 ribu perkara
yang menyangkut 30 ribu klien telah digarap LBH. Penduduk Lubang
Buaya, yang pemukimannya terkena Proyek TMII, berhasil
diusahakan LBH memperoleh tambahan ganti rugi dan tempat
penampungan. Begitu juga penghuni Kampung Simprug yang kini
menjadi daerah perumahan mewah.
Ditambah banyak mengurus perkara perumahan, perburuhan dan
macam-macam perkara pidana, LBH memang bisa berdiri sebagai
lembaga terkenal pembela si miskin dan buta hukum. "Dari situ
saja LBH sudah cukup mempunyai nama baik," kata Buyung. Lebih
dari itu, katanya pula, "bantuan hukum jadi memasyarakat --
sehingga kini di manamana muncul lembaga atau badan bantuan
hukum."
Semula (1972) Kopkamtib memang melarang Peradin membuka LBH di
daerah. Belakangan larangan tersebut dapat ditembus. Kini,
seperti tampak dalam rapat kerja YLBHI seusai Konxres Peradin ke
VI di Bandung, minggu lalu, Peradin telah memiliki LBH di
Padang, Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Yogya dan Surabaya.
Di samping itu juga bermunculan lembaga atau badan bantuan hukum
non-Peradin. Di Jakarta entah berapa puluh yang lahir, di
samping Pusbadhi (yang dipimpin anggota MPR R.0. Tambunan),
LPPH-Golkar (yang dibentuk FKP dan dipimpin Albert Hasibuan) dan
HPHI (diketuai Budhi Sutrisno). Belum lagi yang bermunculan di
daerah, selain di setiap fakultas hukum di
universitas-universitas.
Pemunculan lembaga dan badan-badan bantuan hukum tersebut,
menurut Buyung, tak hanya mengikuti jejak LBH. Ada juga, katanya
terus terang, yang terbentuk sekedar mengharap dana bantuan
hukum ratusan juta rupiah yang disediakan pemerintah dalam
Pelita III. Setelah gagasan bantuan hukum bagi si miskin masuk
GBHN, pemerintah memang menyediakan dana. Tahun ini lumayan
juga: Rp 800 juta -- Rp 400 juta disalurkan melalui pengadilan
dan selebihnya melalui lembaga bantuan hukum universitas.
CUMA pelaksanaannya kelihatannya seret. LBH Jakarta, misalnya,
yang merasa telah mengrus 10 perkara atas permintaan pengadilan
sejak beberapa bulan lalu hingga kini belum juga memperoleh
dana tersebut.
Di mana macetnya? Dirjen Peradilan Umum Soeroto tak tahu menahu.
Katanya, bantuan hukum memang sudah memasyarakat, tapi "dananya
belum".
Memasyarakatnya bantuan hukum antara lain karena LBH cukup punya
nama baik tak hanya di Jakarta. "Tapi nama baik saja tak cukup
bagi LBH," kata Buyung, pengacara yang rambutnya sudah memutih
tersebut. Sebab, dari pengalaman membela ke sana ke mari, Buyung
melihat "banyak yang tak beres di sekitar kita." Lihatlah
misalnya, katanya, "meski sudah sekian kali LBH menyelamatkan
pesakitan, masih sekian kali pula terdengar kesewenang-wenangan
polisi memperlakukan tersangka."
Beberapa kali LBH menolong penduduk memperoleh pemukiman baru
setelah digusur dari tempat tinggalnya yang terkena sesuatu
proyek. Namun masih saja terjadi penggusuran secara tidak adil.
Begitu juga perselisihan perburuhan. Tak bisa dihitung lagi,
berapa kali pembela harus berdebat dengan jaksa atau hakim,
mengenai peraturan perundang-undangan yang tak semestinya
diterapkan bagi warganegara merdeka.
Keadaan tersebut, menurut Buyung merupakan "ketidakadilan
struktural yang sudah mapan." Dan itu, katanya, tak mungkin
diatasi dengan kegiatan litigasi seperti dilakukan delapan tahun
pertama usia LBH. Maka belakangan Buyung memperkenalkan "bantuan
hukum secara struktural" dengan meningkatkan kegiatan
nonlitigasi.
Kegiatan tiga tahun belakangan itulah yang membuat LBH kelihatan
berpolitik. Reaksi pertama ternyata muncul dari para pembela
umumnya sendiri. Apalagi, untuk kegiatan nonlit, LBH merekrut
tenaga-tenaga yang menurut tuduhan para pembela umum ketika itu:
"Suatu kelompok yang hendak memperpolitikkan LBH."
Buyung geleng kepala: "Mereka tidak mengerti bahwa tujuan LBH
tak akan tercapai hanya dengan bantuan hukum secara tradisional
saja." Lembaga, ujar Buyung, tidak hanya perlu "tukang bela
perkara". Tapi juga memerlukan ahli hukum "yang punya wawasan
sebagai pejuang."
Sikap Buyung, mengenai bantuan hukum struktural, mendapat
dukungan mutlak dari para advokat yang berkongres di Bandung
minggu lalu. Pengacara-pengacara sepuh yang ikut melahirkan LBH,
seperti Mr. Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien dan Soekardjo,
bahkan tak peduli akan tuduhan Ali Murtopo terhadap LBH.
"Berpolitik? Apa salahnya kalau kegiatan LBH seperti sekarang
disebut berpolitik?" ujar Lukman.
Ada juga yang merasa tak enak mendengar tuduhan Ali Murtopo.
Sebuah sumber di kalangan Peradin malahan menyatakan ada
pengurus salah sebuah LBH daerah yang ketakutan. Ia membolos
dari rapat kerja YLBHI, seusai Kongres Peradin, karena memang
tak menyetujui "bantuan hukum struktural" yang menurut dia sudah
nyata-nyata berpolitik.
Tuduhan lain dari Ali Murtopo yang tak diakui -- baik oleh
Buyung maupun advokat lain -- adalab perihal "LBH telah bersifat
komersial". Sumbangan sukarela dari klien, "sepanjang tidak
sebagai honor pembelanya," menurut Albert Hasibuan, salah
seorang pendiri LBH "Masih belum disebut komersial". Namun,
meminta sumbangan dari luar negeri untuk "kampanye" seperti
dilakukan LBH, menurut Pengacara non-Peradin, Budhi Sutrisno,
"namanya sudah komersial".
LBH, menurut Buyung, memang menerima bantuan dari Amerika
(melalui Bord Foundation) dan Negeri Belanda (Novib). Untuk
keperluan "proyek" dan pembeli kantor yang sekarang, menurut
Buyung, selama ini LBH mendapat bantuan dari kedua negeri itu
sekitar Rp 50 juta.
T. Mulya Lubis, Direktur LBH yang lain, menyatakan: "Apa
salahnya meminta dana dari luar?" Perjuangan hak sasi, katanya,
kini sudah menjadi masalah dunia. Apalagi, katanya, secara
teoritis kemiskinan di sini adalah produk negara-negara maju.
Yang penting, kata Buyung, "dalam memintanya kami tidak
'menjual' kebobrokan di sini -- tapi dengan menunjukkan program
perbaikan."
Namun, pengacara senior, seperti bekas Ketua Peradin, S. Tasrif,
yang minggu lalu menyerahkan jabatannya kepada kongres, tanpa
komentar lebih banyak berpendapat lain: "Bagi saya kok kurang
sreg menerima bantuan asing untuk memperjuangkan hak asasi.."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini