Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Mabes Polri membentuk desk ketenagakerjaan untuk menyelesaingkan sengketa hubungan industrial.
Laporan para buruh terhadap tindak pidana ketenagakerjaan kerap ditolak polisi.
Ada keraguan terhadap kompetensi para penyidik polisi dalam menangani masalah ketenagakerjaan yang kompleks.
TUJUH ratus personel kepolisian mengikuti pembekalan sebagai penyidik desk ketenagakerjaan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta Selatan, pada 20-23 Januari 2025. Mereka mendapat materi untuk menyelesaikan permasalahan para pekerja dengan perusahaan dalam hubungan industrial. Pemberi materi berasal dari perwakilan tokoh buruh, pegawai Kementerian Ketenagakerjaan, hingga lembaga-lembaga terkait yang mengurusi masalah perburuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Hermanto Ahmad, yang menjadi salah satu pemateri, menceritakan pengalamannya membina penyidik kepolisian untuk mengerti masalah perburuhan. Ia menyampaikan materi seputar Hak dan Kebebasan Berserikat. Hak itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000. Pihak yang melanggar aturan dalam undang-undang itu akan terancam pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hermanto menceramahi para penyidik agar paham hak-hak para pekerja karena merekalah yang akan menangani perkara yang dilaporkan para buruh ke kantor polisi. Sedikitnya ada 160 penyidik yang hadir secara tatap muka di Mabes Polri dan selebihnya difasilitasi secara online. “Kami sampaikan kemarin, pekerja bisa langsung melaporkan permasalahannya dengan perusahaan ke polisi,” kata Hermanto kepada Tempo, Jumat, 24 Januari 2025.
Menurut Hermanto, sudah seharusnya polisi mengerti masalah perburuhan. Terlebih saat ini mulai marak fenomena para pekerja yang dikibuli oleh perusahaan melalui pemberangusan serikat pekerja. Perusahaan menganggap pekerja yang berserikat sangat sulit dijinakkan. “Ini disebut union busting. Hal-hal begini yang saya sampaikan dalam materi. Supaya penyidik paham keluhan para pekerja,” ucap Hermanto.
Pembentukan desk ini bermula dari pembicaraan Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wane dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada awal tahun lalu. Hadir pula Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal dalam pertemuan itu. Andi menceritakan, mereka berdiskusi soal nasib buruh yang kerap kesulitan saat melapor ke kantor polisi. Pasalnya, banyak penyidik yang tak paham bagaimana menangani masalah tindak pidana perburuhan.
Padahal Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Serikat Pekerja sudah secara jelas mengatur soal apa yang masuk ke ranah pidana ketenagakerjaan. Misalnya, menurut Andi, pelarangan atau pemberangusan serikat pekerja (union busting) dan pemberian upah di bawah upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah. “Tapi yang terjadi ketika teman-teman buruh datang ke kantor polisi bingung. Ini siapa yang menangani karena tidak ada subditnya?” kata Andi.
Berdasarkan hasil pertemuan itu, menurut Andi, Kapolri memutuskan semua perkara ketenagakerjaan akan ditangani oleh Subdit 2 Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim. “Sekarang mereka sudah menerima belasan laporan mengenai tindak pidana ketenagakerjaan,” ujarnya.
Andi Gani mengakui desk ketenagakerjaan sebenarnya bukan barang baru di institusi kepolisian. Desk sejenis pernah hadir di Polda Metro Jaya pada 2019. Namun, menurut dia, desk ini hanya sebagai penerima laporan dan belum mampu memfokuskan penyidikan terhadap masalah perburuhan.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dalam rangkaian launching Desk Ketenagakerjaan Polri di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, 20 Januari 2025. TEMPO/Ilham Balindra
Pria yang juga menjabat Staf Ahli Kapolri Bidang Ketenagakerjaan itu menyatakan kehadiran desk Ketenagakerjaan ini akan mempermudah polisi mengusut seluruh laporan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Setiap kepolisian di daerah sampai tingkat resor wajib membentuk desk ketenagakerjaan setelah para penyidiknya mendapat pembekalan ini. Para penyidik di daerah, menurut Andi, juga wajib berkoordinasi dengan Subdit 2 Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim dalam penanganan perkaranya. “Jadi, sekarang sudah ada rumahnya ini. Awalnya masalah perburuhan ini diklasifikasikan tergantung perkaranya. Misal ekonomi khusus, tindak pidana korupsi, bahkan tindak pidana umum,” tuturnya.
Andi juga mengakui bahwa polisi sebenarnya bisa saja mengusut maupun menyelesaikan masalah perburuhan tanpa kehadiran desk ini. Namun, menurut dia, desk ini bisa memperkuat peran Polri dalam menangani semua laporan yang masuk. “Desk ini menjadi penguat. Orang melapor jadi tidak bingung,” ujarnya.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga menyatakan bahwa pembentukan desk ini penting untuk melindungi hak-hak buruh. Dalam sambutannya pada acara peluncuran desk ketenagakerjaan dan pelatihan penyidik pada Selasa, 21 Januari 2025, Listyo menyatakan penyidik nantinya memiliki kewenangan untuk memilah apakah laporan dari para pekerja masuk ke ranah administrasi atau pidana. Jika masuk ke ranah pidana, kata Listyo, penyidik juga harus mengedepankan mediasi antara pekerja dan pemberi kerja. “Jika mediasi tidak berhasil, tentunya Polri menjunjung proses hukum menjadi alternatif terakhir,” kata Listyo.
Pengajar hukum perburuhan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, menyambut baik kehadiran desk ketenagakerjaan ini. Sebab, menurut dia, terjadi kenaikan jumlah kasus pidana ketenagakerjaan belakangan ini. Hal itu tak lepas dari maraknya aksi pemutusan hubungan kerja yang dilakukan berbagai perusahaan di Tanah Air.
Nabiyla mengaku pernah mendengar dari perwakilan serikat pekerja soal tidak efektif dan tak efisiennya pelaporan melalui dinas ketenagakerjaan. Para buruh mengeluh karena pelaporan melalui dinas ketenagakerjaan memakan banyak waktu dan sulit untuk mendapatkan hasil sesuai dengan keinginan mereka. Karena itu, Nabiyla berharap desk ketenagakerjaan Polri ini bisa bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Namun Nabiyla agak skeptis soal kemampuan para penyidik Polri memahami isu perburuhan yang sangat kompleks dan butuh penanganan khusus. Pandangan ini muncul karena dia pernah mendapat aduan ihwal polisi menolak laporan para pekerja. Padahal sudah jelas laporan ini memuat unsur pidana. “Hukum ketenagakerjaan berbeda dengan yang lain. Penyelesaian perselisihannya agak rumit. Kalau polisi yang ditugaskan tidak mampu memahaminya, desk ini akan menjadi bumerang untuk polisi sendiri,” ujar Nabiyla, yang kini sedang melanjutkan studi di London, Inggris.
Nabiyla menilai keuntungan desk ini bagi para pekerja terdapat dalam aspek penanganan hukumnya. Dia menyatakan mayoritas pengusaha dan perusahaan nakal agak ketakutan bila berhadapan dengan kepolisian. Jika bukti unsur pidana sudah cukup dikantongi para pekerja, pengusaha akan mendapat masalah karena polisi bisa menjatuhkan hukuman penjara terhadap mereka.
Asisten profesor bidang ketenagakerjaan ini juga menyarankan agar penyidik memahami prinsip-prinsip dalam hukum ketenagakerjaan. Dalam hukum ketenagakerjaan, menurut dia, terdapat hubungan yang tak seimbang antara pengusaha dan pekerja. Nabiyla berharap polisi bisa lebih bijaksana dan adil dalam melihat sebuah perselisihan dalam konteks hubungan yang tak seimbang itu.
Dia mencontohkan sebuah perusahaan yang membayar upah tenaga kerjanya di bawah upah minimum atau tidak memberikan tunjangan hari raya. Pihak pengusaha biasanya akan beralasan bahwa tindakan tersebut sudah dengan persetujuan para pekerja agar perusahaan tidak merugi ataupun gulung tikar. “Statement-statement dan fakta-fakta seperti itu harus melalui eksaminasi dalam konteks hubungan yang tidak seimbang antara pekerja dan pengusaha itu tadi,” kata Nabiyla.
Dia pun mengapresiasi pernyataan Kapolri yang menyatakan akan mengedepankan proses mediasi dalam penanganan perkara ketenagakerjaan. Pasalnya, menurut Nabiyla, para pekerja lebih mengharapkan pemenuhan hak-haknya ketimbang memenjarakan pemberi kerja. Dia mencontohkan jika seorang pekerja tak dibayar oleh pemberi kerja. “Yang dibutuhkan pekerja kan sebenarnya bukan pengusahanya dipidana, melainkan lebih ke upahnya dibayar,” tutur Nabiyla.
Pekerja pabrik kue kering di Bandung, Jawa Barat, 27 Maret 2024. TEMPO/Prima mulia
Guru besar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga, Hadi Subhan, juga mengapresiasi pembentukan desk ketenagakerjaan ini, meskipun menilainya terlambat muncul. Dia menilai pembentukan desk ini terlambat karena Undang-Undang Ketenagakerjaan sendiri telah mengatur soal pidana sejak dulu. “Meskipun terlambat, itu sangat bermanfaat. Ya daripada tidak ada sama sekali,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.
Sama seperti Nabiyla, Hadi juga menganggap masalah ketenagakerjaan sebagai urusan yang rumit. Karena itu, dia menilai Polri memang perlu memiliki penyidik yang berkompeten dalam hal pidana perburuhan. Bukan hanya soal substansi pidananya, menurut Hadi, masalah ketenagakerjaan memiliki perlakuan yang berbeda dengan pidana umumnya.
Dia mencontohkan seseorang yang mencuri sesuatu tetap akan diproses secara hukum meskipun telah mengembalikan barang curiannya. Hal tersebut, menurut Hadi, berbeda dengan pidana ketenagakerjaan. “Kalau hak buruhnya sudah dibayarkan, ya, berarti sudah selesai tindak pidana itu,” kata dia.
Kehadiran desk ketenagakerjaan, menurut Hadi, menjadikan para buruh mempunyai wadah untuk menyampaikan lebih banyak aspirasinya. Ia berharap kehadiran desk ini bukan hanya sebagai pemoles citra Polri, tapi juga bisa bekerja semaksimal mungkin untuk membantu pekerja yang tengah bersengketa. Hadi menganalogikan desk ini seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Walau sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur masalah itu, pembentukan komisi khusus yang mengurusi rasuah tetap harus diperkuat. ●
Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo