Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Dewi dan cipluk di silang pendapat

Kasus bayi Dewi & Cipluk yang tertukar. Membuat sejarah peradilan pidana indonesia, berbuntut ke pengadilan. Silang pendapat para ahli hukum tentang kasus itu. Diharapkan keputusan pengadilan: adil & tepat.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Dewi dan cipluk di silang pendapat
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DERITA Dewi dan Cipluk, tidak disangka, melahirkan hikmah yang sangat berharga untuk ilmu hukum, khususnya hukum pidana. Sebab, dalam sejarah peradilan pidana Indonesia, bahkan mungkin di dunia, baru kali ini rupanya ada kasus bayi tertukar yang akhirnya berbuntut ke sidang pengadilan - dan terdakwanya dituntut berdasarkan pasal perggelapan asal-usul orang lain (pasal 277 KUHP). "Belum ditemukan yurisprudensi yang bisa diikuti untuk mengadili kasus itu," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Ismoedjoko, yang membawa perkara itu ke pengadilan. Sejak dilahirkan seabad yang lalu, memang baru kali inilah pasal 277 KUHP digunakan di sidang pengadilan. Polri kelihatan agak bingung ketika mengusut kasus itu. Polsek Cilandak misalnya, ketika pertama kali menerima pengaduan Kartini, sekitar Mei lalu, mengusut Nuraini berdasarkan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan (pasal 335 KUHP). Tapi, selain hanya mengancam pelakunya 1 tahun penjara atau denda Rp 4.500,00, pasal itu tidak gampang dipakai untuk menjerat Nuraini. Kalaupun Nuraini dituduh tidak menyenangkan Kartini, sebaliknya ia juga bisa menganggap Kartini tidak menyenangkannya. Mungkin karena itu, ketika Polda Metro Jaya mengambil alih pengusutan kasus itu, Nuraini selain dituduh melanggar pasal di atas juga disidik sebagai orang yang melakukan penggelapan asal-usul orang lain (pasal 277 KUHP) dan membiarkan anaknya sendiri - Cipluk -- sengsara (pasal 304 KUHP). Sementara itu, suaminya, Ambam Hidayat, juga diusut dengan tuduhan mengakui anak orang lain sebagai anaknya sendiri (pasal 278 KUHP). Anehnya, menurut pengacara Nuraini, Furqon W. Authon, dari LBH Jakarta, ketika Polda memanggil terdakwa, November lalu, di surat panggilan itu tidak jelas apakah Nuraini dipanggil sebagai terd-akwa atau saksi. Lebih lucu lagi, selain Ambam dan Nuraini, juga ada panggilan khusus untuk Nona Dewi. "Lho, apa-apaan itu, kok bayi dipanggil ke kantor polisi?" ujar Furqon. Ternyata, di Kejaksaan, kebingungan itu berakhir. Jaksa Nyonya Tiangsa Beru Karo, Rabu pekan lalu memastikan hanya Nuraini satu-satunya terdakwa - tidak Ambam, apalagi Nona Dewi. Menariknya, Tiangsa hanya memakai pasal 277, yang berbunyi: "Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menggelapkan asal-usul orang, diancam karena penggelapan asal-usul, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun". Artinya, dengan memakai pasal itu, Tiangsa berkeyakinan bahwa Cipluk dan Dewi telah tertukar. Dan lebih dari itu, Jaksa juga yakin bahwa Nuraini tahu persis Dewi bukan anaknya, tapi dengan sengaja ia menukar bayinya serta mengakui Dewi sebagai anaknya. Unsur kesengajaan ini sangat penting. Sebab, bila Nuraini hanya terbukti keliru, ia harus dilepaskan dari tuntutan menggelapkan asal-usul orang. Kejaksaan rupanya memang sangat yakin bahwa Nuraini telah berlaku curang, dan karena itu yakin pula pasal itu tepat diterapkan dalam kasus bayi tertukar tersebut. "Hanya pasal itu yang paling dekat dengan kasus ini," ujar Ismoedjoko. Kepala kejaksaan itu mengaku kesulitan menggunakan pasal penculikan atau perampasan kemerdekaan orang lain, karena tidak ditemukan unsur pemaksaan atau kekerasan dalam kasus itu. "Kalau dituntut dengan pasal pencurian, bayi itu jelas bukan barang salah satu syarat untuk membuktikan kasus pencurian," tambah Ismoedjoko. Seorang jaksa yang berperan besar membawa perkara itu ke sidang mengatakan, Nuraini jelas menukarkan bayi yang baru saja dilahirkannya dengan bayi kepunyaan Kartini. Sebab, wanita itu, katanya, dengan diam-diam masuk ke ruang bayi dan mengambil bayi orang lain, tanpa izin perawat di rumah bersalin tersebut. Padahal, di kamar bayi sudah tertulis kata-kata "dilarang masuk", tapi tidak dipedulikannya, dengan alasan tidak bisa tulis-baca. "Seharusnya, ia bertanya dahulu kepada petugas. Bukannya masuk begitu saja dan kemudian menukar bayi," kata jaksa itu berapi-api. Jaksa itu menduga, Nuraini tergoda menukar bayinya dengan bayi Kartini, karena bayinya sendiri kurang bagus. "Mungkin ia tahu bayi di boks nomor I itu bagus, sedangkan bayinya sendiri punya cacat di kening," kata jaksa itu. Selain itu, katanya, Nuraini tidak mau dengan sukarela mengecek darahnya. Baru setelah diperintahkan polisi, ia melakukan tes darah. "Hasilnya, jelas Dewi dilahirkan Kartini, ini 'kan alat bukti yang kuat dari saksi ahli," kata jaksa yang tak mau disebut namanya itu. Tapi agaknya tidak mudah bagi Jaksa membuktikan Nuraini sengaja menukarkan anaknya. Nuraini memang, misalnya, masuk ke kamar bayi tanpa izin perawat puskesmas Cilandak itu. Tapi, seperti kata Furqon, kliennya itu buta huruf, sehingga tidah bisa membaca larangan masuk di pintu kamar bayi itu. "Ia masuk ke kamar itu karena nalurinya sebagai ibu, memastikan bayinya menangis. Dan ia mengambil bayi di boks nomor I karena ia melihat sendiri perawat memindahkan bayinya dari inkubator ke boks nomor 1," tutur Furqon lagi. Furqon, selain menganggap kasus itu tidak mungkin terjadi akibat kesengajaan Nuraini, juga meragukan kliennya itu lalai, sehingga bayinya tertukar. Menurut Furqon, jika ada yang bisa dituduh lalai, itu tldak lain dari perawat puskesmas sendiri. "Buktinya, sampai kini bayi Nuraini tidak ada labelnya, padahal label itu 'kan standar untuk semua rumah bersalin," tambah Furqon. Apalagi ketika terjadi sengketa antara Nuraini dan Kartini, pihak puskesmas memutuskan Dewi sebagai anak Nuraini, dan Cipluk anak Kartini. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ketua Perhimpunan Hukum Kesehatan, Drs. Fred Ameln, S.H. "Hati kecil saya mengatakan, tidak mungkin jaksa bisa membuktikan Nuraini sengaja menukarkan bayinya," kata Fred. Sebab, katanya, ketika meninggalkan rumah sakit dan membawa Dewi, wanita itu sudah seizin dokter rumah sakit. "Dia pergi dengan izin dokter dan mendapat surat keterangan. Kecuali ia pergi tanpa izin," tambah Fred, yang yakin bayi itu telah tertukar. Tidak kurang dari Hakim Agung Bismar Siregar juga meragukan bahwa Nuraini sengaja menukarkan bayinya dengan bayi Kartini. "Ini soal manusia, anak. Bukan barang. Siapa pun orangnya tidak ada yang mau mengganti anaknya sendiri dengan anak orang lain. Sejelek apa pun anaknya dan secantik apa pun anak orang lain. Sampai ada ungkapan, walaupun anak itu setengah ular ia tetap anak saya," kata hakim terkenal itu. Selain itu, Bismar melihat pasal 277 KUHP itu lebih tepat digunakan untuk orang-orang yang memalsukan kelahiran anak orang lain, seperti anak angkat menjadi anaknya sendiri. "Jadi harus dibuktikan itikad tidak baik dari si pelaku," katanya. Padahal, sampai saat ini meman Nuraini yakin seyakin-yakinnya bahwa Dewi anak kandungnya, dan bertekad akan mempertaruhkan apa pun untuk mempertahankan anak itu. "Mati pun saya mau daripada berpisah dengan Dewi,' kata wanita lugu itu. Ketika duduk sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu, Nuraini spontan nyeletuk. "Saya nggak nukar," katanya, menginterupsi Jaksa, yang mengatakan ia sengaja menukar anaknya. Karena rapuhnya unsur kesengajaan Nuraini dalam kasus itu. Bismar lebih condong perkara itu diselesaikan secara perdata ketimbang pidana. Begitu juga Fred Ameln. Sebab, dengan pasal pidana itu kemungkinannya Nuraini harus dihukum dan Dewi dikembalikan ke Kartini, atau bebas dan Dewi tetap padanya. "Padahal, kalau melihat kasus itu, seharusnya vonis hakim membebaskannya, tapi Dewi, sesuai dengan tes darah, dikembalikan ke Kartini. Tapi kalau hakim memutuskan begitu, 'kan kontroversial?" ujar Amein. Sebab itu, menurut Ameln, seharusnya perkara itu memakai jalan perdata, yaitu Kartini menggugat pihak puskesmas, karena merasa dirugikan aklbat tertukarnya bayi itu. Setelah di sidang perdata terbukti bahwa Dewi adalah bayi Kartini, dan Nuraini tetap ngotot mempertahankan bayinya, barulah ia bisa dituntut secara pidana. Seorang ahli hukum pidana, Dr. Andi Hamzah, juga beranggapan bahwa sebaiknya perkara itu diselesaikan secara perdata lebih dahulu, sebelum diajukan secara pidana. Sebab, dengan persidangan perdata, akan jelas Dewi itu milik siapa. Kalau dengan perdata persoalan sudah selesai, katanya, pidananya tidak perlu dilakukan. "Karena sekarang pidananya sudah jalan, sebaiknya persidangan ditunda untuk mengajukan kasus perdata lebih dahulu," kata Andi Hamzah. Dosen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Dr. Bambang Purnomo, sebaliknya menganggap, tindakan jaksa mengajukan perkara itu ke pengadilan pidana tepat sekali. "Dengan persidangan pidana, perkara itu bisa lebih tuntas," ujarnya. Dengan cara pidana itu, menurut Bambang, keputusan hakim tentang siapa yang berhak atas bayi itu akan lebih murni dari vonis perdata. "Sebab, di sidang perdata - tanpa jaksa baik pihak beperkara maupun saksi-saksi gampang dipengaruhi pihak lain. Atau mungkin juga melakukan perdamaian tanpa menuntaskan perkara, padahal perkara itu perlu dituntaskan" katanya. Rekannya, Dekan FH Universitas Diponegoro, Dr. Muladi, juga senada. Perkara itu, katanya, memang bisa diselesaikan secara perdata. Tapi itu tentu untuk kepentingan Nuraini dan Kartini saja. Padahal, kasus itu menyangkut kepentingan umum, karena itu perlu dituntaskan. "Kalau dapat sampai ke tingkat kasasi agar menjadi yurisprudensi," kata Muladi. Tapi terlepas dari hukum dan pasal mana yang tepat dipakai untuk menyelesaikan kasus Dewi dan Cipluk, hampir semua pakar hukum sepakat bahwa kasus semacam itu baru pertama kali ada di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. "Kasus itu memang pertama kali diangkat sebagai kasus hukum sebelum ini saya tidak menemukannya di yurisprudensi Indonesia, juga di negara-negara lain," ujar Muladi. Ucapannya itu dibenarkan juga oleh Bismar Siregar, Bambang Purnomo, dan Andi Hamzah. Karena itu pula para pakar hukum itu berharap agar majelis hakim benar-benar memutuskan perkara itu dengan cermat. "Hakim dalam kasus itu tidak hanya harus berpegang kepada matematika hukum," kata Bismar Siregar. Dosen Hukum Pidana Universitas Airlangga, Dr. J.E. Sahetapy, pun berpendapat demikian. "Yang penting dalam kasus itu bukan soal pasalnya, tapi bagaimana hakim bisa memutuskan perkara itu dengan seadil-adilnya, dan mempertimbangkan semua aspek yang ada," katanya. Atau seperti kata Muladi, "Perkara itu tidak semata-mata menyangkut hukum, tapi juga melibatkan soal agama dan moral. Jadi, hakim jangan sampai gegabah memutuskan perkara itu." Sebab itu, ia menyarankan agar hakim benar-benar menggunakan saksi ahli di bidang kedokteran, kalau perlu mendatangkannya dari luar negeri. "Pertimbangan hakim dalam menentukan Dewi itu anak siapa sangat penting bagi yurisprudensi," tambah Muladi. Memang berat beban yang dipikul majelis, diketuai Nyonya Reni Retnowati. Hakim itu tak banyak komentar. "Wah, perkaranya baru saja disidangkan, saya 'kan harus mempelajarinya. Tapi selama 25 tahun menjadi hakim, rasanya baru kali ini ada kasus seperti ini," kata hakim yang palunya kini ditunggu banyak orang. Karni Ilyas dan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus