APA kabar, Cipluk? Bayi yang dikembalikan Kartini ke puskesmas Cilandak itu kini lagi lucu-lucunya. Ulahnya macam-macam. Hidung dan mulutnya digerakkan ke atas. mengerut, begitu suster atau bidan mengajaknya bercanda, "Hidung pesek, mana?" Bukan hanya itu, bayi perempuan yang kini berusia 10 bulan itu juga sudah pandai bergoyang dan berjoget. Ketika dikunjungi TEMPO pekan lalu, Cipluk - kadang dipanggil juga dengan nama Noni atau Nona - masih nyenyak di tempat tidurnya, sebuah kamar jaga berukuran 3 x 3 m di ruang bersalin puskesmas Cilandak. Anak yang tidak diakui Nuraini dan Kartini itu - salah satu bisa dipastikan ibu kandungnya - kelihatan gemuk dan berkulit putih bersih. Berat badannya kini mendekati 10 kg, dengan tinggi sekitar 60 cm. Rambutnya hitam tebal, dipotong agak pendek, tergerai merata di kening. Tidak lama kemudian suara tangis terdengar. Rupanya, Cipluk terbangun. Dua orang perawat mendekatinya, membersihkan badan dan mengganti pakaiannya. Cipluk diturunkan ke lantai. Ia mengenakan baju merah, bersepatu dan berkaus kaki. Sejenak ia memperhatikan sekelilingnya. Bola matanya hitam, memancar tajam pada tiap orang yang melihatnya. Wajahnya yang lucu dan bulat tampak menggemaskan. Ia mengangkat tangan kanan, mengusap kepala. Agaknya, rasa kantuk belum lagi usai. Ia menguap. Empat gigi putih mengintai di balik bibirnya. Gigi serinya memang telah tumbuh sejak ia berusia 6 bulan. Dan sejak usia sembilan bulan Cipluk pun sudah pandai berjalan. Beberapa saat kemudian Cipluk sudah menghambur di ruangan bersalin itu. Kendati tubuhnya kadang goyah, langkah kakinya cepat. "Kadang kami repot mengejar," ucap Suster Titik, yang saat itu menjaganya. Dengan lincahnya, Cipluk berjalan di sekitar taman ruang bersalin itu. Anak berbintang Aries itu memang bergerak terus. Kadang ia bermain kertas di dekat meja kerja suster jaga. Di waktu lain ia menghampiri dr. Mursiamsih, yang tengah memeriksa pengunjung di ruang poliklinik. Pernah pula di suatu siang Cipluk menghilang. Para suster dan bidan bingung mencarinya. Tak tahunya, si Noni ada di pinggir jalan di depan puskesmas. Bocah itu asyik memperhatikan bajaj. Cipluk tak hanya bercengkerama dengan karyawan. Kadang ia berjalan-jalan sampai ke ruang tunggu para pengunjung puskesmas. Di situ, dengan siapa saja ia mau diajak bercanda. Misalnya pada pekan lalu, setelah bergerak kian kemari. Cipluk mendekati bayi yang sedang dipegang seorang ibu pengunjung puskesmas. Ia memegangi tangan dan badan bayi perempuan yang lebih tua dari usianya itu. "Noni, sayang Kakak, dong," kata suster-suster di situ. "Cup, cup," Cipluk menciumi bayi tadi. Ia memang jadi pusat perhatian tiap orang di puskesmas itu. Apalagi setiap pengunjung puskesmas yang sudah mendengar cerita anak malang itu selalu memperhatikannya. Cipluk juga tak pilih-pilih, senang pada siapa saja. Ia juga tak rewel dalam soal makanan. Sampai umur empat bulan, si Noni kecil ini minum susu kaleng ditambah buah-buahan. Setelah itu, makanannya diganti dengan bubur kasar dan biskuit. Ia agaknya juga tak pernah kekurangan kasih sayang dan perhatian di situ. Apalagi makanan dan pakaian. Setidaknya enam puluh pasang celana-baju tersedia di lemari dekat boksnya. Semua karyawan di rumah bersalin dan puskesmas itu, termasuk kepala puskesmasnya, dr. Indrawati, dan kepala unit rumah bersalinnya, Nyonya Mursiamsih, memang selalu membawakan makanan buat Cipluk. Begitu juga pakaian. Pengunjung puskesmas juga banyak yang prihatin mendengar nasib bayi itu, kemudian menyumbangkan makanan dan uang ala kadarnya. "Karena itu, kami sering sakit hati kalau ada yang memberitakan Cipluk telantar. Kami begitu memperhatikannya, ia terurus baik," kata Nyonya Mursiamsih kepada Diah Purnomowati dari TEMPO. Pernyataan itu tak berlebihan. Setiap saat, Nyonya Mursiamsih atau salah satu dari bidan dan suster di tempat itu selalu menyisihkan kesempatan untuk menimang dan mengasuh Cipluk. "Perkembangan Noni amat pesat dibandingkan anak-anak sebayanya," tutur salah seorang bidan. Perbendaharaan kata dan ulahnya setiap hari semakin bertambah banyak. Ketika Titik mengganti bajunya karena ia pipis, Cipluk terus berceloteh. Bila pegangan Titik merenggang, ia segera berlari, sehingga Titik terpaksa mengejarnya. "Yaa . . . ," katanya, ketika tertangkap kembali. Jika melihat orang lelaki, Cipluk memanggilnya, "Bapak, bapak." Hanya saja, Cipluk kurang hafal kata "mama". Tapi begitu Titik membawa makanannya ia menghampiri sembari berkata, "Mamam." Sewaktu Titik menyuapinya, Cipluk berdiri sambil tangannya menggapai apa saja di dekatnya, layaknya anak-anak bersama orangtuanya. Goresan merah memanjang sekitar 2,5 cm di kening kirinya sama sekali tak mengganggu kelincahannya. Menurut Mursiamsih, kelainan itu sewaktu Cipluk lahir hanya tampak seperti goresan kuku, yang kemudian membesar. "Tapi, sekarang tak membesar lagi. Kelainan itu bisa dioperasi setelah anak berusia di atas 10 bulan," kata Mursiamsih. Satu-satunya yang membuat Nyonya Mursiamsih prihatin hanyalah soal masa depan Cipluk. Kedua orang wanita yang diduga melahirkannya justru kini bertarung di pengadilan untuk memperebutkan bayi lain. Sementara itu, ia tidak bisa diangkat anak oleh siapa pun - karena perkara lagi berjalan -- kendati begitu banyak keluarga yang berminat merawatnya. "Kami berharap agar Cipluk bisa kembali pada orangtuanya sendiri. Mudah-mudahan saja, orangtuanya sadar dan mau menerimanya," ujar ibu tiga orang anak ini. Sementara itu, Cipluk, yang tak berdosa ini, jauh dari persoalan itu. Ia seakan tak pernah lelah, berjalan di depan deretan kamar pasien dan kamar bayi. Berhenti sebentar, dikerumuni suster dan bidan. Ketika wartawan TEMPO akan meninggalkan puskesmas itu, Cipluk melekatkan tangan ke bibirnya dan kemudian melambai. "Kiss bye," ujarnya sambil tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini