Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Di balik penculikan joni wijaya

Ada keanehan pada sidang kasus penculikan joni wijaya. tersangka, agus samalo menyodorkan surat yang telah ditandatangai joni. hakim menolak, agus dituntut 5 tahun penjara.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri. Jakarta Utara sempat geleng-geleng kepala ketika terdakwa penculik, Agus Samalo, menyodorkan sepucuk surat yang ditandatangani korbannya. Surat itu menyebutkan bahwa si korban, Joni Wijaya, tak ingin menuntut Agus. "Joni mengatakan, masalah ini dian~ggap selesai." kata hakim ketua P. Sijabat Sihotang di sidang Selasa dua pekan lalu. Surat korban itu tentu saja mengundang tanda tanya. Sebab, Joni Wijaya adalah seorang korban penculikan dan pemerasan secara berencana yang dilakukan komplotan Agus Samalo, 1 Mei tahun lalu. Malah ketika itu Joni menderita kerugian Rp 68 juta, dan sempat disekap selama dua hari (TEMPO, 1 September 1990). Walaupun pihak korban menganggap kasus itu selesai, hakim menolak surat yang disodorkan Agus dalam acara pledoi itu. Alasan hakim, masalah ini bukan delik aduan. Diadukan atau tidak, majelis hakim akan tetap jalan terus. "Hukum ini bukan milik Joni," kata Sijabat Sihotang. Sejak awal, memang banyak keanehan menyelubungi kasus penculikan itu. Terbongkarnya kasus itu, misalnya, bukan karena laporan korban, tapi karena seorang anggota komplotan Agus "bernyanyi" ketika teler. Ketika Joni ditanyai petugas, ia punya alasan sendiri mengapa tak segera melapor atas kejadian itu: "saya diancam dan tak mau repot". Lalu, selama perkara itu disidangkan, para penculik tampak akrab dengan Joni. Mereka berte~ur sapa dan sama-sama mengerlingkan mata jika bertatap muka. Tanpa mempersoalkan keanehan hubungan antara terdakwa dan korban, Jaksa Suryadi menuntut Agus Samalo 5 tahun penjara. Terdakwa yang tak mau didampingi penasihat hukum itu merasa heran dengan tuntutan terhadap dirinya yang begitu tinggi. "Saya ini kan tak melakukan kejahatan berat," kata Agus, yang sekarang meringkuk di Rutan Salemba itu. Ternyata, dalam acara pledoi, Agus Samalo membikin rasa heran majelis semakin menjadi-jadi dengan surat Joni terse~but. "Ada hubungan apa antara Joni dan Agus?" tanya sumber TEMPO. Joni, yang dicurigai, mengaku menandatangani surat itu karena diancam istri Agus yang datang bersama dua orang lelaki ke kantornya. "Pak Joni, Agus minta maaf dan tak akan mengulangi lagi. Tapi kalau Bapak tak memenuhi itu, Bapak tahu sendiri," kata Joni, menirukan ancaman istri Agus. Kenapa takut pada Agus yang ada dalam tahanan? "Karena dia sewaktu-waktu bisa pegang senjata," kata Joni kepada TEMPO -- beberapa waktu lalu ia mengaku tak kenal Agus. Dalam pengakuan Agus, sebenarnya motif penculikan itu balas dendam setelah dikalahkan Joni dalam sebuah bisnis "gelap". Pada 1977-1978, ia mengaku mempunyai perusahaan oil bunker. Yaitu, perusahaan yang mengisi bahan bakar kapal-kapal luar negeri yang berlabuh di Tanjungpriok. Bisnisnya itu kemudian terdesak oleh perusahaan Joni Wijaya, yang bergerak dalam bidang yang sama. Lama-lama bisnis Agus tergusur dan gulung tikar. Usaha pengisian minyak itu sebenarnya tak resmi karena bunker terhadap kapal asing hanya boleh dilakukan oleh Pertamina. Tapi berkat permainan dengan "oknum" Pertamina, Agus atau Joni bisa membeli minyak dalam negeri kemudian menjualnya ke kapal asing dengan harga jual luar negeri. Untuk setiap kapal, kata Agus, omset Joni bisa Rp 30 juta. Setiap hari rata-rata ada tiga sampai lima kapal luar negeri berlabuh. Perkiraan Agus, selama dua tahun (1976-1978) Joni berusaha minyak itu, uang yang dihasilkan sekitar Rp 8 milyar. Pada awal tahun lalu, kata Agus dalam berita acara pemeriksaan, dia mendengar kabar bahwa Joni kebobolan uang US$ 3,4 juta yang didepositokannya di Bank of America (BOA) Jakarta. "Menurut saya, Joni memiliki uang sebanyak itu dari hasil mainnya dengan minyak," katanya. Ia merasa uang sebanyak itu miliknya bila tak "digusur" Joni. Itulah, katanya, yang mendorongnya menculik Joni. Setelah Joni disekap, Agus minta uang tebusan Rp 150 juta. "Ketika itu, Joni bilang jangan ramai-ramai. Kemudian Joni menyetujui permintaan itu, setelah menghitung uang kontannya di BCA, BBD. BDN." katanya. Tapi, menurut sebuah sumber, bukan hanya main minyak itu "dosa" Joni. Seorang tak dikenal, awal tahun lalu, mengirim surat kaleng ke Kotak Pos 5000. Surat itu menyebutkan Joni punya dosa setumpuk. Ia, antara lain, pada 1971 terlibat sindikat memasukkan uang ribuan rupiah palsu dari Singapura ke Indonesia. Akibatnya, dia diadili dan ditahan 10 bulan. Setelah itu, tulis pengirim surat tadi, Joni bergerak di bidang bisnis "haram" lainnya, di antaranya usaha oil bunker, lalu usaha pemalsuan minyak pelumas. Tapi ia tak diadili dalam kasus itu. Sekarang usahanya mengerjakan macam-macam bubut untuk onderdil mobil, di Jalan Sungai Bambu, Jakarta Utara. Setelah itu, pada awal 1988, nama Joni Wijaya disebut-sebut karena depositonya US$ 3,4 juta di BOA Jakarta dibobol seseorang yang bernama Ongky Wijaya,~ den~an memalsu tanda tangan Joni Wijaya. Joni pun menggugat BOA. Dan sekarang kasusnya sedang digelar di pengadilan Singapura. Tapi pengirim surat kaleng tersebut menduga kasus itu hanya bikinan Joni sendiri. Sebuah sumber TEMPO menuduh Joni Wijaya asli berkomplot dengan Ongky Wijaya. Cerita itu dibantah Joni. "Ongky itu tak saya kenal. Dan orang yang mengaku Joni pun saya tak tahu. Yang membuat saya heran, kenapa Ongky tak disidangkan, dan malah bebas," kata Joni, membantah tuduhan itu. Ongky pun, kata Joni, sekarang bebas sebagai pengusaha restoran di Cirebon. Adanya berbagai tuduhan yang dilayangkan lewat Kotak Pos 5000 tentang berbagai dosanya, Joni tak banyak memberikan komentar. "Itu saya tak bisa jawab. Biar petugas yang mengusut. Dan sampai sekarang saya belum pernah diusut," kata Joni menantang. Gatot~ ~Triyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus