Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Di balik terbunuhnya seorang ...

Letda pol. novi herawadi, kapolsek wara, sulawesi, tewas terbunuh. diduga dibunuh rekan-rekannya sesama anggota polisi yang tak suka dengan tindakan novi memberantas kejahatan. polisi menyidik kasus itu.

17 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA Palopo, Kabupaten Luwu -- sekitar 400 km sebelah utara Ujungpandang -- gempar ketika mayat Kapolsek Wara, Letnan Dua Polisi Novi Herawadi, 27 tahun, ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Lehernya terbelit ikat pinggang. Desas-desus pun beredar bahwa Novi bunuh diri, konon, menurut kabar burung, karena sering cekcok dengan istrinya. Tapi Kapolda Sulawesi Selatan & Tenggara Brigjen. Putera Astaman tak percaya anak buahnya itu bunuh diri. Sebab, selama ini Novi dikenal sebagai perwira muda yang berdedikasi tinggl dan tak mudah putus asa. Sebab itu. Putera Astaman memerintahkan mayat itu diotopsi sebelum dikirim ke Jakarta untuk dikuburkan. Selain itu, Putera Astaman membentuk tim khusus yang dipimpin Kepala Direktorat Intel Pampol Kolonel Polisi Soetikno Manan untuk menyidik kematian itu. Hasilnya pekan lalu diumumkan: kematian Novi empat bulan lalu itu akibat pembunuhan. "Ditemukan luka memar karena pukulan benda tumpul di bagian kepala korban," bunyi visum dokter. Dan yang lebih mengagetkan, pelaku pembunuhan itu diduga tak lain dari rekan-rekan Novi sesama anggota Polri, yang tak suka dengan sepak terjang Almarhum memberantas kejahatan karena mereka sendiri terlibat dalam berbagai tindak kriminal itu. Bahkan di antara pembunuh itu terdapat anak buahnya sendiri. Novi, perwira muda lulusan Akademi Kepolisian tahun 1985, tercatat sebagai polisi yang gigih menyikat kejahatan. Bulan-bulan terakhir sebelum kematiannya, Novi telah bertekad akan membersihkan berbagai kasus kejahatan di wilayahnya, khususnya kasus pencurian yang mendadak naik setahun belakangan itu. Dalam tahun itu, misalnya, terjadi pencurian kayu hitam dan hewan di tiga kecamatan yang termasuk dalam wilayahnya. Selain itu, maling juga berhasil menyikat tujuh ton beras milik koperasi unit desa. Bahkan, terakhir sebuah jip hardtop milik karyawan Kantor Departemen Agama Luwu juga raib dibawa maling. Novi, yang mencoba mengusut kasus-kasus itu, anehnya, selalu menemui jalan buntu. Anak buahnya seakan "menenggelamkan" persoalan. Ketika ia meminta bantuan ke satuan polisi di atasnya, jawaban juga sepi. Malah sewaktu mau menjaring kelompok pencuri kayu hitam -- jenis kayu langka yang mahal harganya, Februari lalu, Novi dihadang rekan-rekannya dari Polres Luwu, Letnan Satu S. Koppang dan Pembantu Letnan Dua Sumule. Pada waktu itu sempat terjadi pertengkaran antara sesama anggota Polri yang berbeda kepentingan itu. "Rupanya, mereka itu para oknum yang terlibat dalam jaringan sindikat kejahatan," tuduh Putera Astaman. Sebab itu pula katanya, sepak terjang Novi dianggap mereka sebagai ancaman bagi "penghasilan" komplotan mereka tersebut. Akhirnya, komplotan itu memutuskan Novi harus "dibereskan". Untuk melaksanakan pembunuhan itu komplotan tersebut justru menyewa pembunuh bayaran, yang terdiri atas orang-orang sipil yaitu Haji Harmanto, 35 tahun Nurdin, 29 tahun dan Latahang, 30 tahun. Mereka dijanjikan upah oleh komplotan oknum Polri tersebut sebesar Rp 1,5 juta. Pada bulan Ramadan, 8 Mei lalu, sehabis makan sahur di rumah tetangganya, Novi pulang kembali ke rumahnya yang ketika itu lagi kosong -- karena istri Novi dan anaknya, yang baru berusia setahun, berada di Jakarta. Tapi begitu ia masuk ke dalam rumah, kepalanya disambut ayunan gagang pistol. Novi roboh. Dengan sebuah selendang, pembunuh bayaran itu menjerat leher Novi sekuat tenaga. Ia tewas karena cekikan selendang itu. Tubuh yang sudah tak bernyawa itu kemudian diberi kesan oleh komplotan itu seakan-akan bunuh diri. Lampu rumah dipadamkan dan pintu dikunci. Menjelang magrib, tetangga Novi, Nyonya Tukijan, datang ke rumah Novi untuk mengajak perwira muda itu berbuka puasa di rumahnya. Nyonya Tukijan heran karena dari dalam rumah tak ada sahutan, walau pintu rumah sudah diketuk berkali-kali. Padahal, seharian itu Novi tak menampakkan batang hidungnya. Masa tidur sehari penuh? Pintu pun didobrak. Nyonya itu terperanjat ketika menyaksikan tubuh Novi terkapar, tak bernyawa lagi. "Pembunuhan itu begitu cermat dilakukan," kata Putera Astaman pada TEMPO. Di tempat kejadian perkara (TKP) tidak ditemukan bukti-bukti pembunuhan. Sebuah tim penyidik, yang terdiri atas para letnan, yang semula diturunkan, tak berhasil mengungkapkan pembunuhan itu. Kasus itu baru terbongkar Juli lalu, kata Putera Astaman, setelah ia membentuk tim gabungan yang terdiri atas para reserse berpangkat mayor, provos, dan intelijen polisi. "Berdasarkan teknik interogasi maraton, pelan-pelan terlihat jalan terang," kata Putera Astaman. Akhirnya, para pembunuh bayaran itu mengaku. Dari situ bisa diseret empat oknum polisi, yaitu dua anggota Polres Luwu Lettu. Koppang, 50 tahun, Pelda. Sumule, 45 tahun, serta Sersan Satu Burhanuddin, 31 tahun, dan Sersan Dua Hermanto, 22 tahun, menantu Koppang. Dua nama terakhir adalah anak buah Novi sendiri di Polsek Wara. Semua anggota komplotan itu kini ditahan. Sejumlah barang bukti juga disita, berupa dua buah rumah milik Lettu. S. Koppang yang diduga dibeli dari hasil pencurian. Juga jip hardtop yang sehari-hari dipakai sebagai mobil "dinas" para oknum polisi itu. Pelat nomornya diganti. Mobil itu, konon, pernah digunakan kawanan oknum Polri itu untuk mengangkut motor hasil curian. Hanya saja sampai pekan lalu, Kapolda Putera Astaman masih belum bisa menyembunyikan perasaan harunya atas kematian Novi. Ia merasa kehilangan karena Novi selama ini dikenal sebagai perwira polisi yang berprestasi baik. "Tapi sayangnya ia dihabisi rekan-rekannya sendiri," ujar Putera Astaman. Rupanya, benar juga ungkapan, yang sering dilontarkan polisi, "Pekerjaan polisi itu satu kaki di kuburan, dan satunya di penjara." Novi rupanya menanggung yang pertama. Dan tentu saja para oknum pembunuh itu, kalau saja semua tuduhan di atas benar, tak termasuk kategori kedua. Sebab, mereka masuk penjara bukan karena menjalankan tugas. Bunga Surawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus