MENGAPA grup lawak Srimulat bubar? Jawabnya, karena kalah lucu dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, tetangganya di Senayan, Jakarta. Humor ini dilontarkan Dr. Ichlasul Amal, salah seorang penguji pada promosi doktor yang berlangsung dalam sidang senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu, pekan lalu. Inilah ironi yang menggambarkan tidak berfungsinya lembaga legislatif, DPR. Mungkin Ichlasul Amal melebihlebihkan. Tapi kesimpulan yang diajukan oleh promovendus memang menunjukkan kemandulan lembaga terhormat itu karena banyak fungsi-fungsinya yang tak jalan. Menariknya, kesimpulan ini dilontarkan salah satu penghuni gedung lonjong itu, Albert Hasibuan, anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan. Albert, alumni Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, hari itu mempertahankan disertasi doktornya di bidang hukum tata negara dengan tesis Pelaksanaan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat RI Periode 1977-1982. Promovendus yang dikenal sebagai ketua tim pengacara Pertamina dalam "kasus Kartika" ini mencoba menganalisa fungsi DPR periode tersebut dalam sistem pemerintahan negara RI yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat, di mana hubungan antara lembaga eksekutif (presiden) dan legislatif, ekuilibrium alias seimbang. Namun, dalam pengamatan Albert, fungsi-fungsi DPR yang tertuang dalam perundang-undangan, khususnya yang menyangkut hak-hak DPR, banyak yang tak jalan. Sebagai contoh, dari 35 undang-undang yang dihasilkan, semuanya berasal dari Pemerintah. "Artinya, DPR tidak melaksanakan hak inisiatifnya untuk mengajukan undang-undang," kata Albert. Dalam pengaturan fungsi penganggaran, seperti pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan Pemerintah, selalu disetujui DPR tanpa pembahasan yang cukup. Fraksifraksi di DPR hanya mampu menyampaikan catatan-catatan kecil. Meskipun dalam fungsi pengawasannya DPR periode ini "nyaris" menggunakan hak interpelasi dan hak angketnya (hak mengadakan penyelidikan) ketika masalah normalisasi kehidupan kampus (NKK) dan korupsi di Pertamina hangat dibicarakan, toh hak itu tak jadi digunakan karena alasan "tertentu". Semua kenyataan tersebut menunjukkan superioritas Pemerintah terhadap DPR. Di manakah letak kesalahnnya? Dari jawaban Albert, kesalahan tersebut ternyata berada dalam tubuh DPR sendiri. Yakni, pada pasal-pasal yang tertuang dalam Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR. Menurut bekas fungsionaris DPP Golkar itu, pasal-pasal dalam Tatib telah mengekang si pembuatnya sendiri. Misalnya, tata tertib yang menentukan pelaksanaan hak angket, hak interpelasi, serta hak inisiatif hanya bisa dilakukan jika didukung anggota-anggota DPR minimal dari dua fraksi. "Karena itu, saya mengusulkan agar peraturan ini diubah, yakni cukup dengan satu fraksi saja," kata Albert. Kendala lain, menurut bekas dosen UKI itu, adanya ancaman recall dari organisasi induk para anggota. Akibatnya, anggota DPR lebih bertanggung jawab pada organisasinya dari pada rakyat pemilihnya. Dengan disertasinya itu, bapak tiga anak ini berhasil meraih gelar doktor dalam bidang hukum tata negara dengan predikat sangat memuaskan. Jika ukuran berfungsinya DPR diukur dari pelaksanaan hak-hak DPR, adakah periode sekarang lebih baik dari periode yang diteliti Albert? "Sama saja," jawab Pemimpin Umum Suara Pembaruan itu. Rustam F. Mandayun dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini