REKTOR pun tak lagi sembarangan membuat surat keputusan (SK). Pada Selasa pekan lalu, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang, Nyonya H. Gusmaini Ridwan, membatalkan SK Rektor Universitas Bengkulu, yang memecat seorang dosen dan seorang pegawai bawahannya dari jabatan mereka. Nasib serupa dialami SK yang dibuat Rektor IKIP Medan Prof. Sukarna, M.A., dua bulan sebelumnya. Gugatan bermula dari terbitnya dua SK Rektor Universitas Bengkulu (Unib) Dr. Natza Arbi, M.Sc., 8 Mei 1991. Isi SK pertama memecat seorang dosen, Boerhandra, dari jabatan struktural sebagai Ketua Jurusan Hukum Dasar Negara Hukum pada Fakultas Hukum Unib. Boerhandra juga tidak diperkenankan membimbing skripsi dan tidak diizinkan mencalonkan diri sebagai dekan. SK satunya memberhentikan istri Boerhandra, Mastaty, dari jabatan sebagai penjabat Kepala Biro Administrasi Umum Unib. Turunnya SK pemecatan bermula dari masuknya pengaduan ke Rektor yang menuduh Boerhandra suka "main mata" dengan para mahasiswinya dalam urusan nilai ujian. Di samping itu, ia juga dituduh sering menjual soal-soal ujian. Sebelum SK dikeluarkan, berbagai upaya dilakukan Natza Arbi untuk menelusuri kebenaran pengaduan itu. Ia, antara lain, menyurati rektor Universitas Sriwijaya tempat Boerhandra mengajar sebelum dipindah ke Unib untuk minta data yang menyangkut konduite Boerhandra. Ternyata jawabannya mengejutkan. Di Unsri itu, Boerhandra pernah dijatuhi hukuman disiplin karena menjual soal. Berdasar data itulah, Boerhandra dijatuhi hukuman disiplin. Sementara itu, istri Boerhandra, Mastaty, dinilai rektor telah melawan atasan dan tidak loyal karena selalu membela suaminya. Di persidangan, Boerhandra membantah keras tuduhan suka pacaran dengan mahasiswinya. "Itu fitnah dari orang yang iri pada jabatan saya," kata Boer. Tentang penjualan soal juga dibantahnya. "Yang saya lakukan bukan menjual, tapi mententirkan soal," katanya. Mastaty juga mengaku tidak pernah menentang atasannya. "Saya hanya menyatakan bahwa yang berhak memeriksa Boer adalah dekan fakultas hukum, bukan rektor. Apa ini salah?" katanya. Hakim Nyonya Gusmaini dalam putusannya tidak menyinggung masalah yang disengketakan itu. "Yang kami lihat SK itu mengandung cacat hukum, jadi tidak sah," katanya. Cacat itu antara lain, menurut ketentuan, SK pemecatan seharusnya ditandatangani Menteri P dan K, bukan rektor. Cacat lain, SK itu tidak merinci kesalahan penggugat dan pasal yang dilanggarnya seperti yang disyaratkan dalam Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 (tentang disiplin pegawai negeri). Natza tak puas dengan vonis hakim dan banding. "Dari Unsri ia dilempar ke Bengkulu karena menjual soal. Eh, di Bengkulu perbuatan itu diulang. Apa dosen begini layak dipertahankan?" kata Natza. Tindakan serupa dilakukan Rektor IKIP Medan, Prof. Sukarna. Hanya dalam tempo kurang dari setengah tahun, Sukarna mengeluarkan delapan buah SK, dan semuanya digugat bawahannya sendiri ke PTUN. Pertama, SK tentang pengangkatan anggota senat IKIP Medan. Dalam SK tertanggal 25 Maret 1991 itu, nama Jaspar Pasaribu, dosen senior di situ, tidak tercantum sebagai anggota. Padahal, sesuai dengan hasil pemungutan suara, ia memperoleh suara terbanyak. Dalam vonisnya pada November 1991, Hakim Abdullah dari PTUN Medan membatalkan SK rektor tersebut. Pertimbangannya, SK itu bertentangan dengan SK rektor sebelumnya yang mengatur pengangkatan anggota senat. Di situ disebutkan, pemilihan mesti dilakukan berdasarkan peringkat suara terbanyak. Kasus Jaspar selesai, muncul gugatan baru. Kali ini, tak tanggung-tanggung, melibatkan tujuh kepala subbagian (kasubag) di lingkungan IKIP Medan: Rosty Nurlan, Saut Manullang, Tambas Siregar, Dinar Siagian, Mangantar Situmorang, Rumintang Tampubolon, dan Magdalena Pangaribuan. Melalui pengacara Januari Siregar mereka mempersoalkan SK Rektor Sukarna tertanggal 20 April 1991, yang intinya memutasikan tujuh kasubag itu ke jabatan yang lebih rendah. Mereka keberatan karena demosi itu sebelumnya tidak diberitahukan kepada penggugat. "Serah terima jabatan pun dilakukan secara in absentia," kata Januari. Caracara seperti itu, menurut Januari, tidak pantas dilakukan seorang rektor. Terbitnya SK itu, katanya, melangkahi asas fair play, dan sewenang-wenang. Alasannya, kliennya itu ditempatkan pada jajaran pelaksana biasa, tanpa eselon. Padahal, mereka selama memegang jabatan kasubag tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Di persidangan, melalui kuasa hukumnya, Mahyoedanil, Prof. Sukarna menolak tuduhan telah melakukan perbuatan sewenang-wenang. Pemutasian pegawai, katanya, adalah hal yang wajar. Sebagai rektor, Sukarna berhak melakukan mutasi. "Tujuannya semata-mata untuk penyegaran tugas," katanya. Ketua majelis hakim, Lintong Siahaan, pada vonisnya Desember lalu membatalkan SK rektor itu dan mewajibkan rektor merehabilitasi kedudukan penggugat. Secara materiil, kata hakim, SK itu kabur. Sebab, tidak ada kejelasan, apakah SK itu berupa pemutasian atau penurunan jabatan. Jika disebut pemutasian untuk penyegaran, itu tidak terbukti. "Tak ada satu pun fakta yang menunjukkan pemutasian tu sebagai langkah penyegaran, karena laporan atasan menunjukkan penggugat berprestasi baik," ujarnya. Mahyoedanil langsung banding. "Putusan hakim sewenang-wenang," katanya berkomentar. Sampai pekan lalu, putusan banding belum turun. Sebaliknya, Januari menilai putusan hakim sangat tepat. "Dampaknya positif, agar pejabat lebih hati-hati kalau mau mengeluarkan SK." Aries Margono, Sarluhut Napitupulu (Medan), Aina Rumiyati Azis (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini