Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis misteri sang kapten

Pn padang memvonis joko sugiarto namura 5 tahun penjara. ia dituduh membunuh kapten kapal mv kutai frizt yulianus, 41. sampai kini korban tak bisa di pastikan masih hidup atau tewas.

14 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR setahun Frizt Yulianus lenyap di Lautan Hindia. Kapten kapal MV Kutai milik Djakarta Lloyd itu sampai kini tak bisa dipastikan entah sudah meninggal atau masih hidup. Perusahaan tempat ia bekerja, Djakarta Lloyd, sampai sekarang pun kabarnya tak pernah mengeluarkan pernyataan apakah Frizt hilang atau meninggal. Toh majelis hakim Pengadilan Negeri Padang yakin bahwa Frizt telah tewas terbunuh. Pembunuhnya, Joko Sugiarto Namura, bekas anak buah kapal barang itu, dua pekan lalu dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Meskipun begitu, sidang pengadilan tak mampu menjawab tekateki hilangnya Frizt. Frizt diduga lenyap pada 6 April tahun lalu ketika kapalnya berada di tengah Lautan Hindia di jalur Kolombo-Jakarta dalam perjalan dari Genoa, Italia, ke Tanjungpriok, Jakarta. Dakwaan jaksa, hilangnya Fritz baru disadari esoknya, ketika koki kapal Utjen Sudrajat akan mengantar sarapan pagi. Kamar kapten, tak seperti biasanya, terkunci dari dalam. Karena tak ada jawaban meski digedor-gedor dari luar, akhirnya kamar itu dibongkar. Ketika itu semua anak buah kapal telah berkumpul, hanya Joko dan Frizt yang tak ada. Ternyata, Joko ada di dalam kamar, telentang pingsan di atas tempat tidur kapten dengan perut penuh luka menganga. Di tangannya tergenggam sebilah pisau dapur. Menurut saksi, ketika siuman Joko mengaku bahwa ia telah merampok, membunuh kapten, dan mebuangnya ke laut. Sebab, ia butuh uang untuk membayar pinjaman di sekolahnya, Koperasi Akademi Ilmu Pelayaran, Jakarta. Mejelis hakim yang diketuai Djamil Surasa memang tak menerima seluruh dakwaan perampokan dan pembunuhan disengaja dan berencana itu. Sebab, tak ada bukti terdakwa telah merencanakan pembunuhan dan tak ada pula barang yang hilang. Tapi majelis yakin, korban dilenyapkan terdakwa. Pertimbangannya, ada saksi yang melihat terdakwa naik ke arah kamar kapten di tengah malam itu. Juga, ditemukan ceceran darah golongan O (sesuai dengan darah korban) di jalan yang diperkirakan dilewati tubuh korban ketika dibuang ke laut. "Maka, kesimpulan hakim, ya seperti pengakuan terdakwa ketika ditemukan terluka," kata Djamil. Tapi Joko, yang taat beribadah itu, membantah. Joko mengaku bahwa pada malam itu ia merasa dipukul pada bagian belakang kepalanya dan baru tersadar dalam keadaan luka di dalam kamar kapten. Ketika itu, katanya, ia mengaku membunuh karena takut dimusuhi dan tidak dirawat setelah terluka tadi. "Ketika itu perut saya luka dan ususnya keluar," katanya. Tentang pisau di tangannya, ia mengaku baru mengetahui ketika diperlihatkan kepadanya. "Saya tidak tahu dari mana pisau itu dan bagaimana saya sampai di kamar itu," ujarnya. Karena itu, pengacaranya, Sjaukani Kamal, menilai keputusan hakim sangat tidak masuk akal. "Keputusan itu menyalahi prinsip hukum pidana yang mengacu kepada kebenaran materiil," kata Sjaukani, yang segera mengajukan banding. Hakim dinilainya tak mampu memastikan kapan persisnya pembunuhan terjadi, dengan apa, dan bagaimana terdakwa menghabisi korbannya. "Di mana korban sekarang, apakah memang sudah tewas atau masih hidup pun tak ada kepastian," kata Sjaukani. Sementara itu, 26 saksi yang ditampilkan jaksa tak ada yang melihat terdakwa melakukan pembunuhan itu. Selain itu, tak ada pula bukti yang mendukung tuduhan jaksa. Ceceran darah yang ditemukan di beberapa tempat yang diperkirakan dilewati korban ketika diseret ternyata golongan O, sementara darah Joko bergolongan A. "Mengapa darah Joko cuma ada di tempat tidur dan pintu kamar?" tanyanya. Padahal Joko dalam keadaan luka parah. Ia juga curiga melihat buku laporan harian pada tanggal 3, 4, dan 5 April 1991 yang ditandatangani mualim I, bukan oleh kapten. Padahal, itu tidak boleh terjadi selama kapten masih ada. Berdasarkan itu, ia curiga ada skenario yang mengatur seolah Joko membunuh Frizt. Keluarga Frizt pun curiga. "Janggal sekali rasanya Frizt yang bertubuh tinggi besar bisa dikalahkan Joko yang lebih kecil," kata adik Frizt, Coanrad Soumokil. Apalagi Frizt, 41 tahun, yang tingginya 1,8 meter dan berat 95 kilo itu, adalah karateka pemegang sabuk hitam yang terlatih sejak masih SMP. G. Sugrahetty Dyan K., Fachrul Rasyid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus