CALON undang-undang yang satu ini tampaknya paling "dimusuhi" oleh masyarakat sipil. Sampai pekan lalu, Rancangan Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara—belakangan namanya diubah menjadi RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB)—yang sedang dibahas DPR, tak henti-henti diterpa gelombang unjuk rasa. Bukan cuma di Jakarta, di daerah pun para mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dan kaum akademisi menolak kehadiran cikal bakal perangkat hukum untuk keadaan bahaya itu.
Sejak mula, RUU PKB memang sudah diwaspadai oleh masyarakat luas. Di pihak lain, para wakil rakyat yang membedah RUU tersebut tidak cukup peka dan tidak menyosialkannya dengan baik. Sinyalemen yang dilontarkan mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono—yang pada intinya menyatakan keheranannya mengapa RUU yang sangat represif dan bertahun-tahun disimpannya untuk tidak diserahkan ke DPR—kian memicu kecurigaan orang. Bahwa kemudian ada perubahan dalam materi dan redaksi RUU, juga rencana penundaan pemberlakuannya, kesemua itu tidak mempengaruhi sikap dan penilaian publik terhadap produk hukum yang dikhawatirkan akan jadi alat penindas di tangan penguasa itu. Rakyat menghendaki reformasi, bukan represi. Maka, terjadilah aksi protes yang massa pengikutnya mencapai ribuan orang.
Ironisnya, cara aparat keamanan mengatasi demonstran ternyata semakin represif. Tak terhitung lagi jumlah pengunjuk rasa yang ditangkapi. Belum termasuk yang digebuk sedemikian keras, sehingga beberapa orang mengalami gegar otak. Bahkan ada pengunjuk rasa yang tertembak. Wilayah gedung wakil rakyat di Senayan pun dijadikan daerah "haram" bagi pengunjuk rasa.
Namun, buat sebagian mahasiswa, tindakan keras itu tak sedikit pun menyurutkan hasrat mereka untuk menolak kehadiran RUU PKB. Alasan untuk bersikap tangguh juga cukup kuat. Sarbini dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta, misalnya, berpendapat bahwa perangkat hukum serba darurat yang menonjolkan dominasi militer itu akan menghambat proses demokratisasi.
Sikap senada juga diutarakan Iin, mahasiswa dari Forum Kota. Dengan undang-undang tadi, tak mustahil militer bisa semakin leluasa melibas aksi protes masyarakat. "Undang-undang itu akan melegitimasi militer memberangus segala macam gerakan mahasiswa," ujarnya.
Perangkat peraturan yang dianggap akan menghambat pembentukan masyarakat madani (civil society) itu, dan terang-terangan ditolak masyarakat, tampaknya tidak diacuhkan oleh para wakil rakyat. Baik Ketua Komisi I DPR, Aisyah Amini, maupun Ketua Panitia Khusus pembahas rancangan undang-undang itu di DPR, Agus Muchyidin, mengaku bahwa DPR sama sekali tak menutup mata terhadap aspirasi masyarakat.
Masalahnya, kata kedua anggota DPR itu, masyarakat tak menyimak jerih payah DPR yang telah "membedah" kekuasaan militer dalam rancangan undang-undang tersebut. Perubahan yang dilakukan DPR antara lain memperhalus judul rancangan undang-undang, dari Keselamatan dan Keamanan Negara menjadi Penanggulangan Keadaan Bahaya.
Lantas tingkat keadaan bahaya, yang semula terdiri dari biasa, darurat militer, dan darurat perang, diubah menjadi khusus, darurat, dan perang. Mekanisme penentuan keadaan bahaya juga tak lagi didominasi presiden, tapi ditambah dengan adanya wewenang persetujuan DPRD dan konsultasi DPR. Dalam keadaan khusus, penguasanya pun bukan lagi militer, melainkan gubernur.
Bahkan, dalam keadaan perang, kebebasan menyatakan pendapat dan fungsi pers tetap dijamin. Dalam rancangan sebelumnya, jaminan itu dimatikan. Nah, itu semua, menurut Agus Muchyidin, menunjukkan bukti bahwa DPR juga berusaha mempersempit kekuasaan militer. Dengan kalimat lain, "Militer dikembalikan ke posisi semula sebagai penjaga keamanan negara," ujar Aisyah Amini.
Berbagai "pembelaan" itu tidak mengubah pendapat Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto, yang menyimpulkan bahwa tak ada perbedaan signifikan antara rancangan semula dan rancangan yang telah dipermak DPR. Soalnya, judul yang diubah tadi, juga beberapa materi rancangan tersebut, tetap menimbulkan berbagai penafsiran yang bisa menjadi pintu masuk bagi kepentingan militer.
Contohnya, rumusan keadaan bahaya bertingkat khusus yang bisa diberlakukan bila aparat negara dianggap tak mampu mengatasinya. Kriteria ketidaksanggupan itu tak dijelaskan dalam rancangan. Begitu pula kriteria adanya kerusuhan lain dalam keadaan khusus, sehingga ketentuan ini memungkinkan timbulnya pasal-pasal karet yang mirip produk hukum zaman Hindia Belanda dulu.
Pertanggungjawaban atas keputusan menyatakan suatu daerah dalam keadaan darurat juga tak diatur. Selain itu, sanksi pidana hanya diberlakukan terhadap warga sipil yang melanggar aturan keadaan bahaya. Namun, bila aparat yang melanggar, tak ada sanksinya.
Bagi Bambang, dalam keadaan darurat pun mestinya tetap gubernur yang berwenang, bukannya Panglima TNI atau Panglima Kodam. Walhasil, Bambang menganggap calon undang-undang keadaan bahaya tersebut merupakan bagian dari upaya pihak militer untuk masuk kembali ke dalam kehidupan masyarakat sipil.
Berdasarkan hal itu, menurut Bambang, sebaiknya DPR menolak rancangan undang-undang tersebut. Setidaknya DPR sekarang, yang masa tugasnya tinggal beberapa hari lagi, berani menyerahkan pembahasan rancangan itu ke DPR periode berikutnya. Memang, preseden penolakan rancangan undang-undang dari pemerintah selama Orde Baru tak pernah terjadi. Tapi sikap DPR yang menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, pada Senin pekan ini, agaknya bisa dijadikan acuan.
Ternyata, DPR tetap bersikukuh mengegolkan RUU PKB sebelum masa akhir tugasnya pada Jumat pekan ini. "Bila rancangan ini tak disahkan, justru militer bisa semakin berkuasa," kata Agus Muchyidin. Aisyah Amini malah wanti-wanti, bila rancangan itu digugurkan, berarti undang-undang keadaan bahaya tahun 1959 yang berlaku. Padahal, katanya, undang-undang lama itu lebih represif ketimbang rancangan tadi.
Kalau disimak pendapat kedua wakil rakyat itu, terkesan sekali bahwa titik tengah permasalahannya sudah bergeser. Soalnya bukan lagi bahwa perangkat peraturan itu sudah lebih lunak dari perangkat terdahulu (UU No. 23/Prp/1959), tapi bahwa rakyat, atau tepatnya masyarakat sipil, menolaknya. Secara proporsional, sebagai wakil rakyat seharusnya penolakan rakyat itulah yang disambut dan didukung, bukan RUU yang memberikan legitimasi untuk dominasi militer. Dengan kata lain, sebuah undang-undang tentu sangat kehilangan arti dan manfaat bila ternyata masyarakat tak menerimanya. Itu pula yang pernah terjadi pada Undang-Undang Lalu Lintas Tahun 1991 dan Undang-Undang Unjuk Rasa Tahun 1998.
Menghadapi kemungkinan itu, Aisyah Amini hanya berujar, "Kalau rakyat (maksudnya melalui DPR atau DPRD) tidak mau atau tidak terjadi bahaya, ya, undang-undang ini tak dipakai."
Happy Sulistyadi, Andari Karina Anom dan Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini