Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ben Hood tersentak. Putrinya, Wendy, yang baru berusia 14 tahun itu, tengah "ditindih" oleh tubuh teman lelakinya di basement di rumah keluarga Carver. Untung saja mereka belum tahu "caranya". Ben menghardik putrinya yang gerabak-gerubuk membenahi bajunya. Selama perjalanan pulang, di bawah runtuhnya serpihan salju, sang ayah luluh hatinya. Kaki putrinya basah menggigil. Dia menggendong sang ananda. Keduanya, ayah dan anak, meneteskan air mata. Mereka baru saja mengalami sebuah peristiwa seks yang "gagal". Kenapa hati ini terasa begitu kosong? Itulah sepotong adegan kritis dalam film Ice Storm karya sutradara Ang Lee, seorang Cina Taiwan yang namanya sudah mendunia berkat film Wedding Banquet.
Tidak seperti rekan-rekan sutradara Cina lainnya, Chen Kaige, Zhang Yimou, Wang Karwai, Ang Lee cukup nyaman membuat film non-Cina yang dimulai beberapa tahun silam dengan Sense and Sensibility, sebuah film tentang keluarga aristokrat Inggris berdasarkan novel abad ke-19 karya Jane Austen, hingga kisah "revolusi seks" di kawasan suburban Amerika pada 1970-an berjudul Ice Storm.
Namun, Cina atau Barat, film-film Ang Lee memiliki satu benang merah. Temanya selalu berputar tentang kerumitan hubungan manusia yang getir. Dari Pushing Hands (1992), yang berkisah tentang hubungan yang sulit antara seorang lelaki Cina (Taiwan) dan menantunya, seorang Amerika kulit putih; Wedding Banquet (1993), satu-satunya film Ang Lee yang pernah ditayangkan di bioskop komersial Jakarta (wow, mulai berbudayakah kita?); Eat Drink Man Woman (1994), yang bercerita tentang hubungan antara ayah (seorang koki) dan ketiga putrinya; hingga kedua film Ang Lee yang berbau "internasional"karena diproduksi secara kolaborasiberjudul Sense and Sensibility dan Ice Storm itu, kesemuanya adalah cerita (dari Timur dan Barat) yang mengetengahkan relasi antarmanusia.
Adalah Ang Lee yang seolah membuktikan bahwa persoalan cinta (antara wanita dan lelaki; orangtua dan anak) pada akhirnya adalah sebuah masalah universal, tanpa memandang warna kulit.
Wedding Banquet, meski sebuah roman komedi, bercerita tentang pasangan gay (Cina dan Amerika) yang terpaksa bersandiwara di hadapan orang tuadengan sebuah pernikahan palsu antara sang lelaki Cina dan gadis Cina lainnyaagar tidak mengecewakan para hati tua. Tetapi orang tua, karena tempaan pengalaman dan hidup, tentu segera memahami dari gerak tubuh dan sorot mata, bahwa hubungan putranya dengan "kawannya" adalah sesuatu yang istimewa. Dan orang tua, sekolot apa pun dan "se-Timur" apa pun, pada akhirnya ingin mencoba menyelami perasaan sang anak yang mencintai sesama lelaki itu.
Film inilah yang kemudian membawa Ang Lee kepada sebuah julukan sutradara multikultur; seorang sutradara yang bisa diletakkan di kutub mana saja, dengan kultur dan seting apa pun, dandengan kameradia akan mampu menghasilkan karya yang gemilang.
Itu dibuktikan melalui film Sense and Sensibility, yang meraih Academy Awards untuk skenario terbaik yang ditulis aktris Emma Thompson. Persoalan remeh-temeh yang selalu diributkan oleh masyarakat aristokrat abad ke-19jodoh, harta, dan darah birulengkap dengan gaya bergosip dan berkuda pada masa itu, ditampilkan dengan kemampuan artistik yang luar biasa. Dahswood bersaudara (Elinor, diperankan oleh Emma Thompson, dan Marriane, diperankan oleh Kate Winslett), yang merepresentasikan si gadis yang rasional (mewakili sense) dan gadis yang emosional dan perasa (mewakili sensibility) disajikan sebagai pameran akting yang cemerlang di bawah arahan yang membutuhkan ketelitian prima dari tangan Ang Lee. Meski Ang Lee cenderung mengakhiri film-filmnya dengan hal yang melegakankecuali film Ice Storm, yang berakhir dengan kematiania selalu menekankan bahwa kesulitan dalam setiap hubungan adalah karena sering kejujuran berarti menoreh sebuah luka. Dilema antara mencungkil luka dan bersikap jujur itu menjadi sebuah etika moral yang terus-menerus digugat oleh Ang Lee. Seperti yang dilakukan tokoh Ferrars (diperankan dengan baik oleh Hugh Grant), yang telanjur mengikat pertunangan dengan Lucy Steele yang tak dicintainya, pada awalnya mencoba memalingkan hatinya dari Elinor yang sungguh dicintainya. Adegan Elinor, yang dengan santun memahami keputusan itu dan menawarkan persahabatan dengan Ferrars, adalah sebuah rangkaian adegan yang perih sekaligus penuh gugatan. Meski secara moral yang dilakukan Ferrars ada di jalan yang benar, apakah ia perlu hidup dalam kebohongan sepanjang masa?
Ang Lee percaya pada cinta.
Film Ice Storm adalah kisah orang-orang yang terus-menerus mencari identitas dan cinta. Suami yang berselingkuh, istri yang dengan bosan meringkuk di atas kasur air yang bergelombang, putri puber yang terus-menerus ingin tahu bentuk penis kawannya, dan seorang anak lelaki akil balik yang menghadapi ayah yang gugup saat berbicara tentang masturbasi. Kenapa seks jadi terasa begitu kosong? Ang Lee menyajikan bahwa sekumpulan orang yang kebingungan, putus asa, dan sia-sia itu tak kunjung mampu menemukan dirinya, karena mereka tak merawat cinta.
Dan cinta, bagi Angledan bagi kita semuaadalah persoalan manusia yang tak kunjung mengenal jeda.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo