Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Dari Pinggan Naik ke Panggung

Ada pergeseran fungsi di sejumlah restoran di Jakarta, yang lebih tampil sebagai tempat mendengarkan musik ketimbang tempat menyantap makanan. Trend baru?

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA tamu, yang jumlahnya lebih dari 200 orang, bertepuk menghangatkan suasana malam di pengujung pekan, akhir Agustus silam. Tepuk tangan panjang bergema setelah kelompok musik Grasella memainkan melodi terakhir dari Sweet Loraine dan July Morning—dua nomor Uriah Heep, kelompok musik beraliran art rock yang tersohor pada era 1970-an. Konser musik? Sama sekali bukan. Pergelaran itu bukanlah pertunjukan musik-musik nostalgia, melainkan bagian dari acara makan malam di Waroeng Kemang, sebuah kedai makan kelas atas di Jakarta Selatan.

Restoran dengan 400 lebih tempat duduk ini padat dengan ingar-bingar musik setiap malam, sepanjang pekan. Di sini, dari pukul 21.00 hingga 01.00, orang bisa bersantap sembari bermusik ria. Segala corak dan warna musik hampir berpadu di Kemang, kawasan permukiman elite di Jakarta Selatan, yang penuh dengan deretan kafe dan restoran. Sejak awal hingga akhir pekan, orang bisa memilih berjenis-jenis musik: Latin, top 40, sixties, pop-rock, reggae, cha-cha, a cappella, dan piano klasik. Suguhan makanan tersisih atau terlupakan di tengah ingar-bingar musik yang dimainkan band-band kafe ataupun kelompok musik kelas atas semacam Gigi dan Java Jive.

Waroeng Kemang, Pasir Putih, Jimbani, dan Padi-Padi adalah beberapa restoran di bilangan Kemang yang menyajikan panggung musik hidup. Di luar Kemang, jenis restoran serupa bisa ditemukan, seperti Hard Rock Cafe dan Fashion Cafe di kawasan Jalan Thamrin dan Sudirman, Jakarta Pusat. Alhasil, di sela-sela denting gelas dan piring, musik mengalun dalam berbagai irama. Suatu kali pelan mendayu-dayu, lain kali keras berdentam, memecahkan udara malam. Sulit dibedakan, tempat itu restoran bermusik ataukah pertunjukan musik yang mengambil tempat di restoran. Masalahnya, apakah ini jenis hiburan yang cocok untuk dinikmati di restoran? Bisa ya, bisa tidak.

Seorang pengunjung tetap, Derry, 43 tahun, terus terang mengakui kerap berkunjung ke Waroeng Kemang, Jimbani, atau Pasir Putih karena makanannya. ''Tapi lama-lama kok terlalu berisik. Mau makan, eh, jantung berdenyut-denyut karena entakan musik yang terlalu keras," katanya. Namun, bagi Bambang, seorang karyawan bank di kawasan Sudirman, ''musik yang pas dan makanan yang lumayan" ibarat bagian dari rutinitas hidup yang ia temukan di kawasan Kemang.

Mereka yang tampil di Kemang bukan hanya band ''spesialis kafe", tapi juga kelompok pemusik nasional ataupun penyanyi yang sudah punya nama besar, antara lain kelompok Gigi, Java Jive, Reza, Krisdayanti, Titi D.J., dan Atiek CB. Gilang Ramadhan, penabuh drum dari Java Jive, mengaku tidak merasa ''kurang" karena main di kafe. Java Jive bisa berpentas di kafe lima kali dalam sebulan. ''Main di depan 50 atau 1.000 orang sama saja, sejauh mereka punya apresiasi terhadap musik," Gilang menjelaskan alasannya.

Apakah restoran-restoran Jakarta kini tengah bergeser menjadi tempat pertunjukan? Dugaan ini tak sepenuhnya benar. Hanya, tak bisa dimungkiri bahwa masuknya musik ke dalam restoran membuat kocek pemilik rumah makan bergemerincing lebih nyaring. Menurut Vaik Novel, Manajer Umum Waroeng Kemang, jumlah pengunjung meningkat setelah ada pertunjukan musik—tanpa merinci angka. Pemasukannya sekitar Rp 350 juta per bulan. ''Bahkan, pernah, pengunjung meninggalkan restoran setelah 30 menit tidak ada musik di panggung," ujarnya. Sementara itu, Max Sasia, Manajer Pasir Putih, menyebutkan musik hidup menaikkan jumlah pengunjung hingga 20 persen—sejak konsep ini diterapkan pada 1994.

Tak pelak lagi, trend baru tengah melanda sebagian restoran di Ibu Kota. Musik bukan lagi sekadar latar, melainkan menu utama. Orang datang ke restoran bukan hanya untuk makan atau minum satu-dua gelas bir dingin. Pengunjung, sebaliknya, akan menyesuaikan jadwal makan dengan menu-menu musik yang ada, termasuk acara musik bulanan yang heboh, seperti Legend of the Month di Waroeng Kemang, tempat band-band lokal menampilkan musik para legenda rock dunia.

Pengamat restoran, Frans Tumbuan, berpendapat bahwa apa yang melanda Jakarta sekarang sebetulnya sudah keluar dari pakem restoran yang sesungguhnya—bahkan di Eropa, tempat restoran telah menjadi sebuah tradisi yang kaya nuansa. Frans tidak menafikan pentingnya musik. Namun, ''Musik di restoran adalah latar, suasana," tuturnya.

Dalam pandangan Frans, yang terjadi saat ini sudah tidak jelas, apakah orang pergi ke kafe untuk makan atau untuk menonton pertunjukan. Ini bisa terjadi karena banyak pengusaha restoran yang membuat kedai makan sekadar sebagai hobi. Lalu, terjadilah jorjoran plus kenaifan dalam mengelola bisnis restoran. Akibatnya, tamu menjadi manja. Kalau tidak ada band, orang segan pergi ke restoran. Sebab, dengan membeli segelas bir seharga Rp 15 ribu saja, tamu sudah bisa menyaksikan musik-musik pilihan yang disajikan musisi ternama.

Sebetulnya, pergelaran musik hidup di restoran bukan hal baru untuk Jakarta. Le Bistro, restoran Prancis di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, sudah mulai menyertakan piano dengan lagu-lagu Prancis dan vokalis jazz sejak 1975. Dan selama 24 tahun belakangan, niat menampilkan musik di restoran tidak pernah berubah, yakni memberikan sentuhan suasana.

Namun, trend itu bergeser. Musik kini ''naik pangkat" dan menjadi sajian utama di sebagian restoran di Jakarta. Catatan Dinas Pariwisata DKI Jakarta memperlihatkan, per Maret 1999, restoran di Jakarta yang menyajikan musik hidup mencapai 224—dari jumlah total 1.430 rumah makan. Jumlah terbesar berlokasi di Jakarta Selatan, tak kurang dari 72 restoran.

Sebagai bagian dari dunia hiburan, musik yang mendominasi sejumlah restoran di Kemang mungkin ibarat mode yang tidak lepas dari trend. Ia tidak lagi semata-mata didengar tatkala orang bersantap, tapi lebih dari itu: diutamakan. Maka, daya tarik restoran bergeser drastis, dari pinggan naik ke panggung.

Hermien Y. Kleden, Hendriko L. Wiremmer, Mustafa Ismail

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus