SEMULA kematian Bharatu Sulaiman, anggota Brimob Bekasi, dianggap wajar: akibat kecelakaan lalu lintas biasa. Tapi, hampir tiga tahun kemudian setelah mayatnya digali kembali, karena kecurigaan ayahnya, dokter memastikan korban meninggal karena luka-luka yang tidak mungkin akibat kecelakaan lalu lintas. Tegasnya: Sulaiman mati terbunuh. Makanya, Kepala Polres Bekasi, ketika itu Letkol Haryono Santoso, membuang berita acara tentang kecelakaan lalu lintas, dan mengusut kasus itu. Hasilnya, tiga orang teman Sulaiman, yang bersama-sama Almarhum ketika "kecelakaan" terjadi, ditangkap polisi. Proses selanjutnya lebih meyakinkan: salah seorang di antaranya, Chotib Azis, 36, divonis dengan hukuman 11 tahun penjara karena membunuh. Tapi semua keyakinan itulah yang kini dibatalkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Majelis banding menganggap Chotib tidak terbukti membunuh dan karena itu, sejak pekan lalu, ia dibebaskan kembali. "Tidak ditemukan bukti kuat untuk membawa Chotib ke penjara," kata salah seorang hakim banding yang memutus perkara itu. Menurut hakim, dalam perkara Chotib itu terdapat dua visum dokter. Pada visum yang dibuat dr. Janius Emra disimpulkan bahwa Sulaiman meninggal akibat benturan benda keras dan tumpul. Tapi pada visum kedua yang dibuat dr. Agus Purwadianto, disebutkan kemungkinan Sulaiman mati karena pembunuhan. Hakim banding juga tidak mendapat kepastian dari keterangan Saksi Rohili dan Harun -- keduanya teman Sulaiman -- dan Chotib yang melihat langsung kejadian. Pada pemeriksaan polisi, kedua orang itu mengaku, korban memang dibunuh Chotib. Tapi di dalam sidang pengadilan mereka berbalik membela terdakwa. "Jadi daripada kami menghukum orang yang belum tentu bersalah, lebih baik kami membebaskannya," kata hakim yang tidak bersedia disebut namanya itu. Kematian Sulaiman memang penuh misteri. Pada suatu malam, 31 Maret 1983 Chotib, yang sehari-harinya bekerja sebagai calo tanah di Bekasi, mengajak Sulaiman pergi ke Jati Waringin, Pondok Gede, untuk menggarap obyek tanah. Bersama mereka, dengan kendaraan jip tua yang dikemudikan Chotib, ikut pula Rohili dan Harun. Tetapi sesampainya di Kelurahan Jaka Sempurna, mobil dihentikan Chotib untuk memperbaiki lampunya yang agak suram. Ternyata, kata Chotib, ada kabel yang lepas. Ia kemudian membetulkannya, sementara Sulaiman menjauh beberapa meter untuk memperingatkan mobil-mobil lain agar hati-hati. Tiba-tiba, begitu cerita Chotib setelah dibebaskan, ia mendengar suara "jegger". Bersamaan dengan itu ia melihat sebuah truk lewat dengan kecepatan tinggi. Ternyata, Sulaiman sudah terkapar di pinggir jalan dengan tubuh berlumuran darah. Temannya itu, tewas ketika itu juga. Cerita itu semula dipercayai polisi. Apalagi pemeriksaan mayat meyakinkan: tulang dahi korban hancur dahinya robek sepanjang 16 cm, pelipis kanan pun robek sehingga tulangnya patah dan otak keluar. Selain itu, dada kiri dan selangkang korban patah, serta lututnya lecet. Berdasarkan semua itu, tanpa perkara (pembunuhan) Sulaiman dikuburkan. Tapi ayah korban, Abbas Abdul Hamid, curiga anaknya dibunuh. Sebab, sebelum peristiwa itu, ia pernah mendapat surat kaleng yang mengancam Sulaiman akan dibunuh. Ancaman itu, katanya, gara-gara ketika itu ia lagi bersengketa tanah dan anaknya membelanya. Karena itu, diamdiam ia mengusut kasus kematian anak kandungnya itu. Ia, belakangan mendapat petunjuk dari seseorang yang mengaku melihat peristiwa pengeroyokan pada malam anaknya tewas, tidak beberapa jauh dari tempat "kecelakaan" terjadi (TEMPO, Kriminalitas, 16 November 1985). Abbas kemudian meminta Polres Bekasi mengulangi penyidikan kematian Sulaiman. Kapolres Bekasi, Letkol Haryono -- yang baru-baru ini mengundurkan diri dari dinas polisi -- memerintahkan mayat Sulaiman dibongkar kembali. Dokter Agus dari LK UI, yang memeriksa mayat itu, menguatkan kemungkinan Sulaiman mati terbunuh. Sebab, benturan yang dialami korban sebelum ajalnya terutama pada kepala lebih dari tiga kali. "Pada kecelakaan lalu lintas yang biasa benturan demikian hanya terjadi dua kali," kata Agus, di sidang. Berdasarkan visum Agus itu polisi menangkap Chotib, Harun, dan Rohili. Polres Bekasi berhasil mengungkapkan kasus itu sebagai kasus pembunuhan. Sebab, di berita acara pemeriksaan, Harun dan Rohili yang anehnya justru belakangan dilepaskan polisi dari tahanan -- menyatakan bahwa, Sulaiman dibunuh. Algojonya, kata mereka, tidak lain dari Chotib, yang malam itu dengan sepotong besi sepanjang 30 cm memukuli kepala Sulaiman ketika ia berpura-pura mobilnya mogok. Di sidang ternyata semua pengakuan itu diingkari oleh Harun dan Rohili. Menurut Harun, pengakuannya itu diberikannya karena tidak tahan dipukuli oleh Haryono. Tapi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi tidak mempercayai bantahan Harun dan Rohili. Sebab itu, majelis yang diketuai Hakim Raphian Rusli memvonis Chotib dengan hukuman 11 tahun penjara. Pihak Chotib bersama pengacaranya, O.C. Kaligis, bukan saja naik banding tapi terang-terangan melaporkan kasus itu ke berbagai instansi -- termasuk ke Hankam. MAJELIS banding memang berpihak kepada Chotib. "Saya tidak mengira sedikit pun hukuman 11 tahun penjara menjadi bebas. Sungguh putusan itu membuat saya terharu dan bahagia. Putusan itu benar-benar adil," kata Chotib, yang mengaku teman sepermainan dengan Sulaiman sejak kecilnya. Salahkah polisi karena itu? Seorang pejabat di Polda membantahnya. "Perkara itu bisa disidangkan karena jaksa sudah menganggap berkas polisi sempurna. Kalau polisi salah, jaksa juga salah," kata pejabat itu. Ia menganggap bebasnya Chotib itu sebagai kejadian biasa saja. "Sebab, pengadilan bebas berpegang kepada keyakinannya," kata pejabat itu, yang membantah Haryono berhenti gara-gara kasus Chotib. Vonis Pengadilan Tinggi Jawa Barat memang belum suatu kebenaran mutlak bahwa Sulaiman mati tertabrak. Masih ada peradilan lebih tinggi: Mahkamah Agung. Kejaksaan Negeri Bekasi sudah berniat menuntut keadilan ke peradilan tertinggi itu. Apalagi Ketua Pengadilan Negeri Bekasi, A. Dardiri, masih berkeyakinan bahwa Chotib bersalah membunuh Sulaiman. "Kami berkeyakinan Chotib bersalah. Tapi keputusan Pengadilan Tinggi tetap kami hormati sebagai keputusan atasan," kata Dardiri. Karni Ilyas, Lapran Biro Jakarta & Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini